Sekilas, judul di atas mungkin terkesan nyinyir, mengingat sebenarnya ada banyak laki-laki yang sangat suportif mendukung gerakan pembelaan hak-hak perempuan. Dalam konteks Indonesia, sebutlah nama Arief Budiman, Mansour Fakih, Nasaruddin Umar, dan lain-lain. Nama-nama tersebut yang membuat istilah ‘gender’ menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia.

Penerimaan konsep kesetaraan gender di Indonesia, juga dibantu oleh hadirnya tokoh-tokoh feminis muslim dunia seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Asghar Ali Engineer, Abudllah An-Naim, dan Nasr Jamid Abu Zaid. Gerakan perempuan Indonesia memang perlu sangat bersyukur dengan situasi ini. Namun di sisi lain, kadang-kadang kembali terpaksa menelan pil pahit saat beberapa nama aktivisnya justru menjadi pelaku kekerasan berbasis gender.

Situasi tersebut membuat gerakan perempuan seperti terbelah sikapnya. Menurut Jackie Viemilawati (anggota dewan pengurus Yayasan Pulih) sebagian yang setuju menerima kehadiran laki-laki karena berpandangan bahwa sesungguhnya kesetaraan gender adalah tujuan bersama, dan harus diperjuangkan bersama pula. Sementara, yang tidak setuju mengedepankan argumen bahwa laki-laki tidak bisa menjadi feminis karena pengalaman terkait ketubuhan yang berbeda antara perempuan dengan laki-laki—di samping adanya pandangan bahwa laki-laki yang dibesarkan dalam kultur patriarki akan sangat sulit untuk melepaskan hak istimewa mereka—sehingga masih besar terjadi kemungkinan menghadirkan persaingan baru bahkan pengkhianatan.

Oleh karenanya, mereka yang tidak setuju telah membuat semacam ‘rambu-rambu’ atau menjadi ‘pembela setan’ terhadap laki-laki yang terlibat dalam gerakan perempuan.

Senada dengan penjelasan Jackie, Nur Iman Subono menyatakan, “saya termasuk orang yang berkeberatan dengan penggunaan istilah ‘laki-laki feminis’. Hal tersebut dikarenakan banyak pengalaman pribadi perempuan maupun eksistensinya yang tidak bisa diadopsi oleh laki-laki. Misalnya seperti menstruasi, mengandung, menyusui, meskipun secara sadar dapat dinalar oleh laki-laki, namun mereka tidak akan pernah bisa mengalaminya sendiri. Selain itu karena berbagai bentuk tindakan penindasan yang dialami oleh perempuan, sering kali tidak bisa dihayati oleh laki-laki.”

Oleh karenanya, ia memperkenalkan istilah ‘laki-laki pro feminis’ yang menghayati bahwa sesungguhnya kekerasan bukanlah anugerah dari Allah tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari sehingga mereka bisa berubah.

Untuk itu diperlukan empati, keyakinan kuat bahwa laki-laki bisa berubah, serta komitmen yang kuat untuk memegang teguh nilai-nilai setara dan adil gender. Selain konsep-konsep tersebut, menurut Nur Iman Subono, ada juga yang menggunakan istilah ‘meninist’.

Fokus 1: Pelibatan Laki-laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
Fokus 2: Feminis Laki-laki: Adakah?
Fokus 3: Urgensi Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan
Fokus 4: Revitalisasi Peran Ayah dan Membangun Maskulinitas Positif
Fokus 5: Islam dan Pesan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here