Terletak tak jauh dari jalan raya antara Bandung-Majalengka, pondok pesantren Kebon Jambu Al Islamy didirikan. Pondok pesantren ini cukup menarik karena pesantren tersebut kini dipimpin oleh seorang perempuan, Nyai Hj. Masriyah Amva. Pada 26-27 April lalu, pesantren yang asri tersebut dijadikan tempat untuk perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Sejarah dan Pendidikan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy
Pondok pesantren Kebon Jambu Al-Islamy didirikan oleh K.H Muhammad dan istrinya Nyai Hj. Masriyah Amva pada 20 November 1993 di atas tanah wakaf di Babakan Ciwaringin Cirebon yang diberikan sang mertua, KH. Amrin Hanan. Dalam sejarahnya, daerah Babakan sering disebut sebagai babak awal perkembangan pendidikan Islam di Cirebon pada abad XVI, dengan tokoh pertamanya Kyai Jatira.
Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dengan metode bandongan. Pesantren tersebut menyelenggarakan pendidikan agama dengan metode madrasah dengan mendirikan Madrasah Tahsinul Akhlak Salafiyah (MTAS) pada 1987. Metode ini diperuntukkan bagi santri yang mengkhususkan diri belajar keilmuan pendidikan Islam dan melestarikan kebiasaan musyawarah bagi santri tingkat 1 sampai dengan 6. Beragam bentuk pembelajaran di pesantren dimotivasi oleh tanggung jawab pesantren untuk memfasilitasi santri-santri yang tidak mengikuti sekolah formal. Namun, dalam perkembangannya kini pondok pesantren Kebon Jambu Al Islamy dilengkapi dengan hadirnya pendidikan formal melalui pendirian SMPTP, MATP dan Ma’had Aly di bawah naungan Yayasan Tunas Pertiwi.
Program pendidikan formal di pesantren yang disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional ini ditujukan untuk menjawab kebutuhan tindak lanjut pendidikan para santri kelak. Pesantren juga memperbolehkan santrinya untuk melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di wilayah Cirebon, baik di perguruan tinggi agama seperti IAIN Cirebon, ISIF, STAI Al Biruni, maupun di perguruan tinggi umum seperti UNSWAGATI dan lain-lain.
Kini Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy menjadi lembaga untuk mendalami ilmu-ilmu agama, serta mengembangkan berbagai ketrampilan dan pengabdian untuk mencetak generasi yang benar dengan cara wekel (rajin dan bersungguh-sungguh) dalam mengaji supaya pandai dan tidak mudah dibodohi. Santri di sana juga dibiasakan melaksanakan salat berjama’ah, harapannya supaya mereka selalu berkelakuan baik dan benar agar menjadi santri paripurna. Mereka juga harus ingat pada “Sembilan Larangan” yang diterapkan di pesantren tersebut, yaitu: 1) tidak boleh banyak jajan, 2) tidak boleh banyak tidur, 3) tidak boleh banyak keluyuran, 4) tidak boleh melihat tontonan, 5) tidak boleh ikut permainan, 6) tidak boleh jambulan, 7) tidak boleh sering pulang, 8) tidak boleh pindah sebelum tujuh tahun, dan 9) tidak boleh boyong sebelum pandai.
Pengasuh pertama pondok pesantren Kebon Jambu Al-Islamy adalah KH. Muhammad. Kepemimpinan beliau berjalan sampai beliau wafat pada 1 November 2006 (9 Syawal 1437 H). Kemudian kepemimpinan digantikan oleh istri beliau yaitu Nyai Hj. Masriyah Amva dan putranya yaitu KH. Asror Muhammad, yang akrab dipanggil “Aang”. Ia meninggal dunia pada Jumat 9 Juni 2017, Aang (41 tahun), lalu istri beliau, Nyai Hj. Awani Amva, menggantikan posisinya dan bersama-sama dengan Nyai Hj. Masriyah Amva, melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren Kebon Jambu yang kini memiliki 950 santri putra dan 450 santri putri.
Pesantren Cinta Kesenian dan Pendukung Kesetaraan
Meskipun berbagai tata kelola penyelenggaraan pendidikan pesantren pondok pesantren Kebon Jambu Al-Islamy mengalami perubahan secara berangsur-angsur, namun tidak menjadikan pergeseran nilai-nilai pada dasarnya. Di sini berbagai program unggulan ekstrakurikuler dikembangkan, seperti seni Qiraatul Quran, seni dakwah, kaligrafi, shalawat, rebana, Lingkar Budaya Jambu dan seni bela diri Panca Tunggal Serba Guna (PTSG).
Menggantikan posisi suami untuk mengelola pesantren, secara tidak langsung, membuat para srikandi pesantren ini mempraktikkan langsung kesetaraan gender dan menolak berbagai diskriminasi yang berkembang di dalam masyarakat. Mereka membuktikan kesetaraan kiprah perempuan dan laki-laki dalam memimpin maupun mengelola pesantren.
Upaya membangun kesetaraan gender juga dilakukan dengan menggabungkan pengajian santri laki-laki dan perempuan dengan membahas kitab yang sama. Ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa para santri tersebut memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pengajaran. Tidak hanya dalam forum pengajian, dalam berbagai kegiatan kompetisi pun laki-laki dan perempuan digabungkan. Hal ini penting untuk menanamkan kesadaran bahwa potensi mereka sama dan bisa bersaing sehat dalam semangat yang positif.
Kekhasan lain dari pondok pesantren tersebut adalah mengaji kitab “Adab” selama satu tahun bagi para santri baru untuk menanamkan nilai akhlak mulia sebagai fondasi dan membentuk karakter yang bertanggung jawab, ikhlas dalam pengabdian, dan bertakwa. Akhlak penting untuk pertama kali ditanamkan agar mereka mampu menghayati nilai-nilai akidah dan selanjutnya dapat merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu pelajaran terpenting akhlak adalah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dalam memperlakukan perempuan. Beliau memuliakan dan tidak membeda-bedakan perempuan maupun membatasi ruang geraknya. Bahkan istrinya Siti Aisyah binti Abu Bakar diakui kecerdasan dan kepiawaiannya dalam meriwayatkan hadis sebagaimana perawi laki-laki lainnya.
Di antara kegiatan di pesantren tersebut setiap setelah salat subuh diadakan pengajian untuk kelas akhir. Materi yang diajarkan adalah tentang kehidupan, aji rasa, dan motivasi yang berisi kisah para tokoh perempuan yang mandiri, cerdas, dan berwawasan luas sehingga tidak terjebak menjadi pribadi yang fanatik. Wawasan yang banyak ditanamkan kepada para santri adalah bahwa kaum perempuan bisa berada pada posisi yang selama ini didominasi laki-laki, dengan keilmuan dan kemampuan mereka. Mental mereka juga disiapkan agar tidak menjadi sosok yang lemah dalam kondisi dan situasi apa pun.
Pengembangan pondok pesantren Kebon Jambu Al-Islamy diharapkan lebih berhasil dengan hadirnya perguruan tinggi keagamaan berbasis pesantren (Ma’had Aly) di pondok pesantren Jambu Al-Islamy. Hal tersebut secara simbolis telah dikukuhkan dengan penandatanganan prasasti oleh Nyai Hj. Mariyah Amva dan penyerahan kitab kuning kepada Mudir Ma’had Aly, Dr. KH. Marzuki Wahid.
Similar Posts:
- Nyai Halimatus Sadya: Penguatan Ekonomi Melalui Literasi di Komunitas yang Beragam
- Jelang Kongres yang Kedua, KUPI Adakan Halaqah Pra-Kongres
- “MENEGASKAN EKSISTENSI ULAMA PEREMPUAN UNTUK KEMASLAHATAN MANUSIA”
- Part Of Struggle: Nyai Hindun Anisah dan Perlawanan Budaya Patriarki di Lingkungan Pesantren
- KUPI: Momen Tepat di Tengah Kuatnya Interpretasi Maskulinitas