Apa yang dibayangkan orang ketika mendengar kata ’aqil baligh? Apa dampaknya bagi seorang yang belum dan telah menyandang kata itu? Pada umumnya seorang membayangkan kata ’aqil baligh sebagai petanda awal mula seorang berkewajiban melakukan perintah agama seperti shalat, zakat, haji, jihad, menikah dan meninggalkan larangan agama seperti mencuri, berzina, berbuat zhalim, memperbudak orang lain, menelantarkan orang yang lemah, menindas, menghinakan kemanusiaan dan larangan-larangan agama yang lain. Sebelum memasuki kajian ini, ada baiknya mengungkap apa makna kata ini, sebab kekeliruan memahaminya berdampak pada kekacauan pemahaman konsep-konsep turunannya.
Secara bahasa kata ’aqil bermakna “seseorang yang berakal”, sedang baligh berarti “seorang yang telah sampai”. Jika digabung kedua kata itu, maka bermakna “orang berakal yang telah sampai”, yang tentu saja makna ini sulit dipahami. Sesungguhnya di dalam kitab-kitab fiqh lebih dikenal istilah “balighan ’aqilan”, yang berarti “orang yang telah sampai dan berakal”, artinya seorang yang telah sampai pada usia berakal. Sebagian kitab fiqh justru menyebut dengan “baalighan- ’aaqilan-rasyiidan” yang bermakna seorang yang telah sampai, berakal, dan dewasa. Di dalam kitab-kitab fiqh kata-kata baalighan, ’aaqilan, rasyiidan pada umumnya digunakan untuk menjelaskan kata “mukallaf”. Mukallaf secara bahasa bermakna “orang yang dibebani”. Sedang secara terminologis mukallaf adalah orang yang dibebani untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum yang disyariatkan Allah dan Rasulnya, artinya orang yang telah mendapatkan beban kewajiban dan larangan syariah, atau dalam bahasa lain orang yang telah menerima beban hukum syariah yaitu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh, khilafu al-aula, makruh tanzih, makruh tahrim, shihhah (shahih), buthlan (bathil) dan lain-lain. Kapan seseorang telah sampai pada usia mukallaf? Ulama fiqh menjawab, yaitu bila seorang telah sampai pada usia mukalllaf (sinnu at-taklif) yaitu bila ia telah baligh, berakal dan dewasa.
Ketiga kata [1] baalighan, [2] ’aaqilan dan [3] rasyiidan adalah sifat yang selalu melekat pada seorang mukallaf. Artinya tidak bisa disebut mukallaf jika seseorang tidak baligh, seseorang yang baligh juga tidak disebut mukallaf jika ia tidak berakal, dan seseorang tidak disebut mukallaf jika ia hanya baligh, berakal tetapi tidak dewasa. Jadi mukallaf adalah orang yang sekaligus telah baligh, berakal dan dewasa. Inilah konsep dasar apa yang disebut dengan mukallaf atau sinnu at-taklief. Sekalipun dalam belantara kajian fiqh konsep sinnu at-taklief ini mengalami perubahan-perubahan makna. Seperti apakah haji yang dilakukan anak kecil hukumnya sah? Ulama fiqh umumnya menjawab sah, padahal ia belum sampai pada usia taklief. Contoh lain apakah pernikahan anak kecil sah secara agama? Ulama fiqh pada umumnya juga menjawab sah, padahal ia belum memasuki usia taklif, sekalipun ada sebagian ulama yang menyatakan batal.
Sinnu at-taklief (usia mukallaf) menjadi titik awal perjalanan manusia untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, dalam arti ia telah memiliki hak-hak sebagai manusia dan sekaligus mendapatkan beban kewajiban melakukan atau larangan meninggalkan ketentuan hukum syariah. Sepanjang perjalanannya, manusia menapaki 5 periode kehidupan, yaitu, [1] periode janin, [2] periode anak-anak, [3] periode tamyiz (periode kemampuan untuk membedakan), [4] periode baligh, [5] periode ar-rusydu (dewasa). Periode janin dimulai sejak kehamilan sampai dilahirkan, periode anak-anak dimulai dari sejak terlahir sampai usia tamyiz yaitu kurang lebih usia 7 tahun, usia tamyiz dimulai sejak usia 7 tahun sampai usia baligh, dan terahir usia ar-rusdu dimulai sejak dari usia baligh sampai pada dewasa, sekalipun seringkali usia ar-rusydu bisa saja bersamaan dengan usia baligh bahkan bisa terjadi sejak usia tamyiz.
Pertanyaannya, kapan seseorang diyakini telah sampai usia baligh, berakal dan dewasa? Ulama fiqh sepakat bahwa bermimpi basah adalah awal dari usia baligh. Namun mereka berbeda pendapat ketika sesorang belum mimpi basah dan belum haid, pada usia berapakah mereka baligh? Menurut kitab fiqh, usia baligh lebih dikaitkan dengan tanda-tanda fisik dan usia seseorang. Menurut Abu Hanifah, seorang diyatakan baligh bilamana ia telah berusia 18 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan, walaupun di dalam riwayat lain Abu Hanifah membedakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan. Madzhab Imam Malik berpendapat sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan sebagian riwayat menyatakan bahwa Imam Malik menetapkan usia baligh 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Sementara itu, madzhab Syafi’i, salah satu madzhab yang dijalani oleh mayoritas muslim Indonesia, menyatakan bahwa usia baligh adalah bila seorang telah sampai pada usia 15 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pandangan yang terakhir inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama.
Perbedaan pendapat di atas, antara lain, disebabkan perbedaan mereka dalam memahami hadis Nabi:
” Catatan dosa-dosa dihapus dari tiga kelompok ini, yaitu anak-anak, sampai ia bermimpi basah, orang yang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia sembuh dari gilanya. ”(HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Hadis ini menginformasikan bahwa seseorang tidak dapat dicatat dosa-dosanya akibat ia melakukan kemaksiatan kecuali ia telah ihtilam yang oleh ulama dimaknai dengan keluar sperma saat mimpi. Ini berarti keharusan melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan (sinnu at-taklief) dikaitkan dengan ihtilam. Pena Tuhan telah siap mencatat pahala dan dosa bagi setiap orang yang telah sampai usia ihtilam. Ihtilam dalam arti keluarnya mani saat tidur dengan demikian sebagai petunjuk kematangan biolgis seseorang, yaitu kematangan kemampuan untuk menggunakan fungsi dari seluruh anggota-anggota tubuhnya, termasuk kemampuan ereksi, keluar mani dan menghamili. Menurut Syafi’i kemampuan ereksi, keluar mani, menghamili dan kemampuan-kemampuan yang lain terjadi bila seseorang telah berusia 15 tahun. Sebab dalam usia itulah seseorang mampu memanfaatkan fungsi anggota tubuhnya dengan baik. Pandangan Syafi’i ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi saw., yaitu Nabi pernah menolak 17 sahabat untuk mengikuti perang karena ketika itu mereka berusia di bawah 15 tahun. Menjelang tahun berikutnya mereka kembali meminta izin kepada Nabi untuk mengikuti peperangan dan nabi pun memberikan izin sebab saat ini mereka telah berusia 15 tahun. Atas dasar hadis ini Syafi’iyyah berpendapat bahwa kematangan biologis tercapai setelah seorang berusia 15 tahun. Sementara pandangan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa usia baligh adalah 18 tahun didasarkan pada pandangan Tafsir Ibnu Abbas terhadap potongan ayat “janganlah kamu dekati harta anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia matang (asyuddah)”. Kata asyuddah menurut Ibnu Abbas adalah usia 18 tahun, sebab di usia itu ia menjadi matang.
Pada umumnya pandangan ahli fiqh mengenai usia baligh lebih didasarkan pada kematangan biologis, yaitu kemampuan mengeluarkan sperma, menghamili, menstruasi dan kehamilan. Kecuali Abu Hanifah yang menakar usia baligh lebih pada kematangan psikologis, yaitu usia syiddah, usia keras, usia matang. Sesungguhnya beberapa pendapat tentang usia baligh bertemu dalam satu titik yaitu kemampuan dan keahlian menjalankan kewajiban dan larangan syariah. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam usia berapakah seorang diyakini atau diduga memiliki kemampuan dan kecakapan itu.
Dalam konteks perkawinan, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia menetapkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 15 poin 1, menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Pasal 15 poin 2 menyatakan: “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 tahun 1974”.
Sekedar perbandingan, negara-negara berlatar belakang mayoritas muslim yang lain juga memiliki aturan yang berbeda terkait usia minimum untuk menikah karena beragamnya interpretasi soal Baligh ini. Beberapa negara muslim telah melakukan pengaturan usia perkawinan. Misalnya:
- Turki, Undang-Undang Turki menetapkan usia perkawinan, bagi laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Namun dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan atas izin dan restu orang tua atau wali.
- Iran, Undang-undang perkawinan Iran menetapkan usia perkawinan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi wanita. Bagi seorang yang mengawinkan seorang yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara enam bulan sampai satu tahun. Jika perempuan dikawinkan dibawah usia 13 tahun maka yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua hingga tiga tahun.
- Yaman Selatan Undang-Undang perkawinan Yaman menetapkan usia perkawinan 18 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi perempuan. Namun batasan usia ini tidak menjadi syarat keabsahan perkawinan, hanya menjadi suatu syarat yang harus perlu diperhatikan. Jarak antara usia calon pengantin tidak boleh lebih dari 20 tahun, kecuali calon perempuannya telah berusia 35 tahun. Jadi perempuan yang telah berusia 35 tahun boleh menikah denngan laki-laki usi 75 tahun, misalnya.
- Republik Tunisia Undang-Undang Tunisia menetapkan usia perkawinan 20 tahun bagi laki-laki dan perempuan, yang mengubah undang-undang sebelumnya yaitu pasal 5 UU 1956 yang menetapkan usia nikah 20 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
- Maroko, Undang-Undang keluarga Maroko menetapkan usia perkawinan, 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Namun perkawinan di bawah usia 21 tahun disyaratkan ijin wali.
- Aljazair Pasal (7) Hukum Keluarga Aljazair menetapkan usia nikah, 21 tahun bagi mempelai laki-laki dan 18 tahun bagi mempelai 18 tahun.
- Afghanistan, Hukum Sipil 1977 menetapkan usia nikah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Hukum Sipil Afganistan juga berupaya menghapus perkawian anak di bawah umur.
- Somalia, menetapkan umur minimal 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Hanya saja dalam kondisi tertentu pengadilan bisa memberi izin untuk menikah bagi laki-laki dan wanita di bawah usia minimal perkawinan.
Baca Juga Artikel Terkait
Tafsir 2: Kematangan Biologis, Psikologis, dan Sosial: Usia Mukallaf Menurut Al-Quran
Sumber Rujukan :
al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ Li Ahkami Alquran, 1994, Dar al-fikr, Beirut, Libanon.
ar-Razi, Muhammad ar-Razi, Fahruddin, Tafsir al-Fahru ar-Razi, Mafatihu al-Ghaib, 1994, Dar al-fikr, Beirut Libanon.
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Ihya’ at-Turast al-Arabiy, Beirut Libanon.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Tafsir al-Qasimi Mahasin at-Ta’wil, 1997, dar al-kutub al-‘Ilmiyah, Beirut Libanon.
Abu Hayyan al-Andalusi, Tarsir al-Bahru al-Muhith, 2001, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon.
Syihabuddin, as-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’aniy fi Tafsiri Alqurani al-Adhim wa as-Sab’i al-Mastaniy, 2001, dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut , Libanon.
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi, 1995, Tafsir al-Nasafi, Madzariku at-Tanzil wa Haqa’iqi at-Tanzil, dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut Libanon.
Sa’id Hawwa, Al-Asas Fi At-Tafsir, 2003, Dar As-Salam, Al-Qahirah, Mesir.