Oleh : Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.

Kedekatan seorang anak dengan ibunya bisa terbangun sejak ia berada dalam kandungan. Selama kurang-lebih sembilan bulan lamanya anak menjadi bagian tak terpisahkan dari kedirian ibu. Setelah lahir pun, anak dan ibunya kembali terhubung melalui proses pemberian ASI selama kurang-lebih dua tahun. Sementara itu, meskipun anak juga berasal dari sperma ayah, namun secara alami anak dan ayah tidak mengalami proses yang menyatukan mereka dalam kedirian yang sama. Setelah anak lahir pun tidak ada proses alami yang mendekatkan keduanya.

Proses tersebut menyebabkan perbedaan secara biologis maupun emosional pada hubungan antara anak dan ibu dengan hubungan antara anak dan ayah. Secara keterkaitan anak dengan ibu secara biologis lebih mudah diidentifikasi daripada dengan ayah. Kedekatan secara emosional anak dengan ibunya pun dapat berjalan secara alami, sementara dengan ayahnya mesti diupayakan. Dari ibu, seorang anak belajar tentang cinta tanpa pamrih dan dari ayah anak belajar tentang cinta yang diperjuangan.[1] Perbedaaan dampak biologis dan emosional ini menunjukkan bahwa ayah memerlukan upaya tertentu untuk bisa dekat dengan anaknya.

Sayangnya, banyak masyarakat yang berpandangan bahwa kewajiban ayah adalah mencari nafkah kemudian juga berpandangan bahwa mengasuh anak adalah kewajiban ibu semata. Ayah kemudian dipandang wajar jika jarang berinteraksi dengan anak. Banyak kegiatan yang sebetulnya bisa mendekatkan anak dengan ayahnya justru dipandang tabu oleh budaya tertentu. Misalnya memandikan anak, mengganti popoknya, menyiapkan makanan dan susunya, menyuapkan makanan, dan aktifitas lainnya. Tak jarang wibawa seorang ayah dibangun dengan cara mendidik anak untuk takut padanya sehingga ayah pun tidak terampil mengungkapkan kasih sayang dengan memuji atau menunjukkannya dengan cara mengusap-usap kepala, mencium, memeluk atau lainnya.

Pandangan bahwa ayah wajar jauh dari anaknya juga terefleksikan dalam respon masyarakat pada perempuan yang bekerja menafkahi keluarga. Perempuan diwanti-wanti agar tidak melupakan kodratnya sebagai istri dan ibu. Setelah pulang ke rumah, mereka mesti melakukan tugas-tugas sebagai istri dan ibu sebagaimana perempuan yang tidak bekerja. Pesan ini tentu saja sangat baik. Masalahnya adalah mengapa pesan yang sama tidak ditujukan pada lelaki. Bukankah bekerja menafkahi keluarga juga tidak boleh menjadi alasan bagi mereka untuk melupakan kodrat sebagai suami dan ayah? Bukankah laki-laki juga mesti menjalankan tugas sebagai suami dan ayah dengan baik?

Ketika ayah telah dipandang wajar jauh dari anak-anak, atau melupakan kodratnya sebagai ayah, maka sesungguhnya kita sedang membangun negeri tanpa ayah (fatherless country), sebuah negeri yang membiarkan anak-anak punya anak tetapi tumbuh kembang tanpa figur ayah atau yatim sosial. Akibatnya, karakter dan potensi anak terhambat untuk berkembang secara seimbang dan maksimal. Padahal keseimbangan (tawazun) adalah hal penting dalam proses pembentukan karakter seorang anak agar mereka tidak terjebak pada sikap ekstrim. Perpaduan kasih-sayang ayah dan ibu memungkinkan anak belajar secara terpadu sehingga mampu bersikap tegas tanpa kasar, rendah hati tanpa minder, percaya diri tanpa sombong, hemat tanpa pelit, dermawan tanpa boros, dan sikap-sikap moderat lainnya, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi.

Baca Juga
Tafsir 1 : Ayah, Mari Mengasuh Anak Bersama Ibu
Tafsir 2 : Ayah dan Pengasuhan Anak
Tafsir 3 : Keseimbangan Peran Ayah dan Ibu
Tafsir 4 : Community Parenting

Foot Notes
[1] Erich Fromm, The Art of Loving, penerjemah Syafi’ Alielha, Jakarta, Fresh Book, 2002, h, 65-71.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here