Oleh : Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.

Di Masyarakat terdapat anak yang beruntung memiliki ayah dan ibu kandung, namun karena sesuatu hal terhalang untuk menjalankan peran sebagai orang tua. Misalnya mereka yang karena tuntutan kerja atau bisnis mesti sering bepergian sehingga jarang bertemu dengan anak. Ketika di rumah dan bersama anak pun terus disibukkan dengan urusan bisnis atau lainnya melalui telfon. Sebagian orangtua mesti merantau keluar kota atau keluar negeri berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian lagi bercerai dengan cara yang buruk sehingga anak kesulitan bertemu dengan salah satu orang tuanya. Bahkan tidak sedikit orang tua, terutama ayah, yang secara sengaja menelantarkan anak dan istrinya. Mereka adalah anak-anak yang mempunyai ayah namun kehilangan figur ayah.

Sebaliknya ada anak yang tidak beruntung mempunyai ayah dan ibu karena wafat saat mereka sedang dalam masa tumbuh kembang, bahkan sebelum mereka dilahirkan. Namun mereka mempunyai figur-figur ayah dan ibu dalam kehidupannya. Mereka bisa jadi adalah kerabat seperti kakak laki-laki dan perempuan, paman dan bibi, kakek dan nenek, atau lainnya, bisa pula orang lain seperti bapak dan ibu guru di sekolah, tokoh masyarakat, maupun lainnya.

Rasulullah Saw sendiri melewati masa kanak-kanak tanpa ayah karena wafat saat beliau masih dalam kandungan. Ibunda kemudian menyusul wafat saat beliau berusia enam tahun. Namun demikian, Rasulullah Saw mempunyai figur orang tua yang mengasuh beliau saat masih kanak-kanak yaitu paman dan bibi, kemudian kakek dan neneknya. Setelah dewasa, Rasulullah Saw dan keluarga besarnya juga bahu-membahu menjalankan peran sebagai orang tua bagi anak-anak  sendiri, maupun menjadi figur orang tua bagi anak yatim yang ayahnya gugur di medan perang, maupun anak-anak keluarga miskin dan terlantar atau yatim secara sosial, sebagaimana diceritakan oleh riwayat yang cukup panjang ini:

Pada suatu hari Rasulullah Saw keluar untuk shalat Idul Fitri. Kemudian beliau melihat anak-anak kecil bermain riang gembira dan melihat satu anak kecil yang menangis tersedu-sedu di sudut lain. Rasulullah Saw pun segera menghampiri dan bertanya: “Kenapa menangis?”. Anak yang tidak tahu bahwa beliau Rasulullah Saw itu pun menjawab: “Ayahku gugur di perang bersama Rasulullah. Kemudian ibu menikah dengan laki-laki lain. Ayah tiri kemudian mengusirku dan memakan hartaku sehingga aku pun terlantar. Hari ini aku melihat teman-temanku bermain bergembira, aku pun semakin sedih.” Rasulullah Saw pun menggenggam tangannya dan bertanya: “Maukah kamu aku menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai abangmu, dan Fatimah sebagai kakak perempuanmu?.” Anak itu pun kaget menyadari bahwa orang yang bertanya adalah Rasulullah Saw kemudian menjawab: “Bagaimana mungkin saya tidak mau ya Rasulullah?.” Maka Rasulullah Saw pun mengajaknya ke rumah beliau, mengganti pakaiannya dengan pakaian terbaik, memberinya makan hingga kenyang. Setelah selesai, anak itu pun keluar rumah dengan riang gembira bergabung dengan anak-anak kecil lainnya. Anak-anak merasa heran dan bertanya: “Ada apa kamu tadi menangis sekarang tertawa riang?.” Ia pun menjawab: “Tadi aku lapar sekarang kenyang. Tadi aku pakai baju lusuh, sekarang bagus. Tadi aku yatim, sekarang aku punya Rasulullah SAW sebagai ayahku, Aisyah sebagai ibuku, Ali sebagai pamanku, Hasan dan Husein sebagai kakak lelakiku, dan Fatimah sebagai kakak perempuanku”. [1]

Kisah di atas meneladankan bahwa setiap orang dapat menjadi figur orang tua atau saudara kandung bagi selain anak atau saudara kandungnya sendiri dan setiap komunitas seperti keluarga juga dapat berfungsi sebagai keluarga bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau keluarga. Petunjuk ini cukup menjawab kebutuhan setiap anak pada orang dewasa yang membantu dirinya memenuhi kebutuhan fisik seperti sandang, pangan, dan papan, kebutuhan emosional seperti dicintai, dihargai, diterima apa adanya, dan kebutuhan spiritual seperti bimbingan untuk bisa dekat dengan Allah. Sementara kebutuhan ini kadang sulit dipenuhi orang tua biologis, baik karena alasan sosial, maupun karena kematian yang bisa menjemput kapan saja.

Community Parenting (pengasuhan anak oleh komunitas) adalah pola pengasuhan orang tua yang dipikul bersama oleh sebuah komunitas. Para lelaki dewasa dalam komunitas ini membuka diri untuk menjadi fugur ayah dan para perempuan dewasa menjadi figur ibu bagi semua anak-anak dalam komunitas tersebut. Laki-laki dan perempuan dewasa bersama-sama menjadi figur yang menjalankan peran sebagai orang tua. Pola asuh anak berbasis komunitas ini sebetulnya bisa dijalankan oleh komunitas pesantren. Beberapa pesantren bahkan telah secara sengaja dikelola dengan kesadaran semacam ini.

Setiap santri selama di pesantren terpisah dari orang tua masing-masing sehingga tidak memiliki orang tua kandung yang mengasuh secara langsung. Pesantren yang dikelola layaknya keluarga besar mengambil alih peran keluarga ini. Ibu Nyai dan para ustadzah berperan sebagai ibu, pak Kiai dan para ustadz berperan sebagai ayah, semua kakak kelas menjadi kakak, dan semua adik kelas menjadi adik. Pesantren yang mampu bahu-membahu membangun ikatan emosional, intelektual, sosial, dan spiritual yang kuat di antara seluruh anggota keluarga besarnya dapat melahirkan santri-santri yang terampil dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawinya pada masa dewasanya kelak. Para santri mungkin tidak diasuh orang tua secara langsung, namun mereka tidak kehilangan bahkan memiliki banyak figur-figur orang tua di pesantren.

Di luar pesantren, Komunitas Tanoker Ledokombo Jember menjadi contoh penting Community Parenting semacam ini. Penduduk Desa Ledokombo banyak merantau keluar negeri sebagai pekerja migran sehingga banyak anak hanya tinggal bersama kakek-nenek, paman-bibi, kakak atau kerabat lainnya. Anak-anak lalu tumbuh dan kembang tanpa kehadiran orang tua di dekat mereka. Komunitas Tanoker melakukan strategi budaya berupa Egrang (alat permainan dari bambu dan batok kelapa) menggerakkan aneka kegiatan masyarakat sehingga terjalin ikatan emosional yang kuat antara orang dewasa dengan anak-anak. Kedekatan ini mendorong laki-laki dewasa untuk menjadi figur ayah dan perempuan dewasa menjadi figur ibu bagi seluruh anak-anak di komunitas tersebut.

Egrang kemudian juga menjadi trade mark pengembangan ekonomi kreatif yang menghidupkan ekonomi komunitas. Kebutuhan fisik, emosi, intelektual, dan spiritual anak-anak dipenuhi secara bersama-sama sehingga anak tetap dapat tumbuh kembang secara maksimal. Kini, Tanoker sedang mengembangkan sistem pengasuhan terpadu dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang melibatkan orang tua, sekolah atau madrasah atau pesantren atau tempat mengaji, pemerintah daerah, dan pengasuh pengganti dalam pengasuhan anak buruh migran (ABM) sehingga memungkinkan orang tua kandung tetap berperan aktif dalam pengasuhan anak meskipun dari jarak jauh (Distance Parenting).

Community Parenting menjawab kebutuhan anak atas keseimbangan peran orang tua dalam pengasuhan anak yang meniscayakan keterlibatan ayah sekaligus ibu atau figur mereka secara langsung dalam pengasuhan anak. Al-Qur’an menegaskan bahwa seorang anak adalah anak ayah dan ibunya. Pembagian peran keduanya tidak semestinya melunturkan tanggungjawab bersama untuk mengasuh anak. Rasulullah Saw bahkan telah meneladankan bagaimana bisa menjadi pribadi berkualitas meskipun yatim piatu sejak kecil karena adanya figur-figur orang tua dalam hidup beliau, juga meneladankan bagaimana bisa menjadi figur orang tua khususnya ayah bagi selain anaknya.

Jadi, jika sejak 1400 tahun lalu al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya keterlibatan ayah dalam mengasuh dan mendidik anaknya, dan sejak itu pula Rasulullah Saw sendiri telah memberi teladan untuk menjadi ayah yang terlibat langsung mengasuh dan mendidik anak-anak beliau, bahkan juga menjadi figur ayah bagi selain anak-anak beliau sendiri, maka sedang meneladani siapakah sesungguhnya ayah-ayah masa kini yang masih menolak terlibat langsung dalam pengasuhan dan pendidikan anak sendiri? Yang masih memandang tabu ikut mengurus langsung keperluan anak-anak sendiri? Yang masih memandang bahwa tugas ayah hanyalah mencari nafkah tanpa perlu dekat di hati anak? Bahkan yang masih menelantarkan anak kandungnya sendiri? Yang pasti bukan meneladani Rasulullah Saw. Wallahu A’lam.

 

Baca Juga
Tafsir 1 : Ayah, Mari Mengasuh Anak Bersama Ibu
Tafsir 2 : Ayah dan Pengasuhan Anak
Tafsir 3 : Keseimbangan Peran Ayah dan Ibu
Tafsir 4 : Community Parenting

Foot Notes
[1]Kisah selengkapnya dapat dibaca di Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawi. Durratun Nashihin, Surabaya, Syirkah Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, h. 264-265. Kisah ini telah digubah menjadi sebuah lagu yang dinyanyikan dengan sangat merdu oleh penyanyi perempuan dari Tunisia bernama Dorsaf Hamdani di https://www.youtube.com/watch?v=3EYoiiaNF0Q

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here