Islam sesungguhnya mempunyai tuntunan tentang keseimbangan peran ayah dan ibu sebagai orang tua dalam pengasuhan anak. Dominasi dialog anak dengan ayah sebagai orang tua dalam Alquran memang menunjukkan pentingnya peran ayah untuk terlibat langsung dalam pengasuhan anak. Namun demikian, hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak tidaklah penting.
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sangat patriarkhi. Laki-laki dipandang sangat tinggi, sebaliknya perempuan direndahkan hingga mereka pun diwariskan layaknya harta.[1] Seorang anak laki-laki bisa menerima warisan berupa ibu kandungnya sendiri ketika ayah meninggal. Sebagai ahli waris, ia bisa menikahkan ibunya dengan laki-laki lain dan menerima mahar dari pernikahan itu, atau melarangnya menikah seumur hidup, atau bahkan menikahinya atau menjadikan ibu kandung sebagai istri. Dalam tradisi seperti ini, ibu tidak mendapatkan tempat yang layak untuk dihargai sebagai orang tua. Seorang anak hanya ingin diketahui sebagai anak ayahnya sebagaimana tertera dalam nasab. Sebaliknya mereka malu disebut sebagai anak ibunya. Bahkan sebutan anak ibu mempunyai konotasi negatif sebagai anak yang lahir akibat zina.
Islam secara tegas melarang keras tradisi mewariskan perempuan (Qs. An-Nisa/4:19) dan perkawinan sedarah termasuk menikahi ibu kandung yang menjadi efek langsungnya (an-Nisa/4:23). Larangan ini diiringi dengan peringatan berkali-kali dalam Alquran maupun hadis bahwa orang tua seorang anak itu ada dua yaitu ayah dan ibu. Oleh karena itu, setiap penyebutan kata walidan atau walidain dalam Alquran maupun hadis mempunyai arti khusus secara sosial, yaitu perintah untuk mengakui ibu sebagai orang tua. Kisah Luqman di atas juga memberikan perhatian khusus pada posisi ibu sebagai orang tua yang juga berhak atas bakti anak karena telah mengalami kepayahan bertingkat selama hamil dan menyusui.
Beberapa hadis juga turut menekankan pentingnya seorang anak berbakti tidak hanya kepada ayah melainkan juga kepada ibu. Misalnya hadis berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Artinyaa:
Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi saw. menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari No. 5971)
Dominasi ayat tentang dialog antara anak dan ayah daripada anak dengan ibu dan kedua orang tua dalam Alquran sama sekali tidak menunjukkan sepelenya peran ibu dalam mengasuh langsung anaknya karena peran ibu adalah sebuah keniscayaan. Demikian pula halnya penekanan perintah bakti anak pada ibu tiga kali dibandingkan pada ayah pada hadis di atas juga tidak menunjukkan sepelenya bakti anak pada ayah karena bakti anak pada ayah adalah sebuah keniscayaan.
Dominasi dialog anak dan ayah dan penekanan berbakti pada ibu keduanya mempunyai spirit sama yaitu keseimbangan kedua orangtua untuk menjalankan fungsi sebagai orangtua, dan kesimbangan anak dalam berbakti pada keduanya.
Baca Juga
Tafsir 1 : Ayah, Mari Mengasuh Anak Bersama Ibu
Tafsir 2 : Ayah dan Pengasuhan Anak
Tafsir 3 : Keseimbangan Peran Ayah dan Ibu
Tafsir 4 : Community Parenting
Foot Notes
[1] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, penerjemah Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta, LSPPA, 1994, h. 29-34.