Kyai Nahe’i MHI lahir di Malang, 12 Februari 1970, adalah penulis, peneliti dan pengajar pada lembaga kader ahli fiqih, Ma’had Aly Situbondo Jawa Timur dan Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Situbondo. Lulusan IAII (S1), Unisma Malang (S2) konsentrasi Hukum Islam saat ini tengah menekuni program Doktor Di UIN Surabaya, dengan konsentrasi bidang yang sama. Alumni  pendidikan kader ulama Majelis Ulama Indonesia (PKU-MUI) Angkatan 1997 yang telah menerbitkan beberapa buku seperti Fiqih Anti Trafficking (penerbit Fahmina), Fiqih Keseharian Buruh Migran (penerbit Fahmina), Fiqih Pluralis (penerbit puslitbang Kemenag RI), Qawa’id Fiqih (penerbit Ibrahimy Press) ini adalah Komisioner Komnas Perempuan 2014-2019. Bersama istrinya, beliau mengasuh dan mendidik kelima orang putra-putrinya.  Berikut wawancara Swara Rahima dengan Pak Kyai Nakhei di sela-sela kesibukan aktivitas beliau di Komnas Perempuan.

 

Dalam pandangan Islam, sejak kapan proses pendidikan anak  dimulai dan oleh siapa?

Yang saya ketahui,  di dalam Islam proses pendidikan sudah dimulai sebelum kedua orang tua menikah. Yaitu dengan cara bagaimana kedua calon mempelai melakukan pilihan yang tepat terhadap pasangannya, bagaimana calon ayah memilih calon Ibu yang baik dan sebaliknya. Oleh karenanya, sebelum menikah seseorang dianjurkan melakukan proses memilih atau mencari. Sesungguhnya ini untuk mempersiapkan wadah bagi pendidikan anak yang akan dilahirkan. Wadah keluarga yang religius, yang memiliki kesepahaman-kesepahaman dalam ideologi, cita-cita, visi misi keluarga dan seterusnya yang disimpulkan dengan istilah kafa’ah,  yang bermakna kedua orang tua telah siap untuk mendidik anaknya.

Kedua, ketika masuk dalam kehidupan perkawinan, ketika pasangan suami istri ingin melakukan hubungan seksual, mereka dianjurkan untuk membaca doa: “Ya Tuhan, bahwa apa yang kami lakukan adalah berkah darimu dan rahmat darimu, maka jauhkankanlah rahmat yang Engkau berikan ini dari sentuhan tangan-tangan setan.” Maksudnya, dengan     membaca doa maka hubungan seksual tersebut adalah rahmat, dan sperma yang dimuntahkan menghasilkan benih yang baik.

Ketiga, setelah menjadi embrio,  Islam mengajarkan Ibu hamil berhak mendapatkan kasih sayang tambahan (itu secara psikologis), dan secara fisik ia berhak mendapatkan nutrisi yang lebih daripada sebelum hamil. Ini merupakan upaya mempersiapkan kehadiran anak yang baik.

Tahap berikutnya ketika anak ini lahir, bahwa kewajiban mendidik bukanlah kewajiban ayah, dan juga bukan kewajiban Ibu, melainkan kewajiban keduanya. Dalam hadis disebutkan “Kullu mauluudin yuuladu ‘ala al-fitrah” dan seterusnya. Jadi tanggung jawab mendidik ada pada kedua orang tuanya baik laki-laki maupun perempuan.

 

Bila kewajiban mendidik anak ada pada kedua orang tuanya, adakah perbedaan peran tanggung jawab antara Ibu dan Ayah yang ditanamkan oleh Islam?

Pada umumnya laki-laki (suami) dan perempuan (istri) memiliki peran sosial yang berbeda. Jadi mendidik anak itu sesungguhnya sangat terkait dengan peran-peran sosial kedua orang tuanya. Jadi, tidak bisa dikatakan karena peran ayah lebih banyak di luar rumah, ia tidak bisa memberikan pendidikan, atau karena ibu berada di rumah maka ibulah yang memberikan peran pendidikan yang terbesar pada anak.

Bila kemudian muncul pernyataan bahwa “ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya”, saya pikir pernyataan ini muncul dalam konteks sosial tertentu dimana pada umumnya laki-laki memiliki beban kerja yang lebih besar di luar rumah, sehingga ruang kebersamaan dengan anak lebih banyak dimiliki oleh ibu. Ruang yang besar inilah yang diduga mampu memberikan pendidikan yang lebih luas pada anak sehingga peran ibu sangat ditekankan. Jadi  ungkapan “al-umm madrasatun kubraa”, ini bukan kodrat  tetapi  merupakan  peran gender. Sehingga bila suatu saat ada konteks dimana ayah waktunya lebih luas daripada ibu, ruang mendidik yang dimiliki ayah lebih luas daripada ibu, maka ayah bisa menjadi madrasah bagi anak-anaknya.

Di dalam Alquran selalu disebut “wa bil waalidaini ihsaanaa”. Ada juga ungkapan “wa li waalidayya”, “wa li waalidaihi”, ini menunjukkan bahwa pelibatan kedua orang tua  penting dalam seluruh proses pendidikan anak. Jadi menurut saya,  peran-peran sosial orang tua tidak menjadi menghambat orang tua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Misalnya orang tua kembali bekerja di sore hari, maka dia bisa mengambil peran bagi pendidikan anaknya setelah kembali ke rumah. Yang paling penting itu bukan kuantitas pertemuannya, tetapi kualitas pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua. Jadi menurut saya, tidak ada perbedaan tanggung jawab. Kedua belah pihak memiliki tanggung jawab, akan tetapi mungkin ada hal yang berbeda baik dalam kuantitas ataupun kualitas. Namun suami maupun istri harus saling melengkapi.

 

Adakah rujukan dalam khasanah Islam yang secara spesifik  menekankan pentingnya peran Ayah dalam pendidikan anak?

Saya tidak menemukan teks Alquran maupun Hadis yang menekankan sisi laki-laki atau ayah sebagai pendidik utama anak-anaknya. Atau perempuan atau Ibu sebagai pendidik utama anak-anaknyaMaka, jarang kita temukan dalam Alquran, tentang peran pendidikan, pengawasan, keimanan, aqidah yang hanya menggunakan istilah waalid (ayah kandung) atau waalidah (ibu kandung). Karena memang “al ashlu fii wujuubi tarbiyatil aulaad ‘alaa al- abawain” (hukum asal dalam kewajiban memelihara anak, terletak pada kedua orang tua kandungnya atau ayah ibu kandungnya).

Kalau nafaqah atau pemberian nafkah disebutkan di Alquran wa ‘alaa al-mauluud (yang menyebabkan seorang perempuan mengandung) itu Bapak, wal waalidatu (yang mengandung) itu Ibu, karena nafaqah bukan peran pendidikan tetapi peran tanggung jawab: peran menyusui, peran mengemban nafkah menggunakan bahasa spesifik ayah atau ibu.

Jadi, yang ada justru kebersalingan, bahwa kewajiban mendidik, tanggung jawab mendidik ada pada kedua belah pihak atau kedua orang tua. Kalaupun ada perbedaan-perbedaan itu semata-mata karena konteks sosial ekonomi.

Dalam kaidah Fiqh disebutkan “al ashlu fii wujuubi at-tarbiyyah ‘ala al-abawain” (pada dasarnya kewajiban mendidik anak adalah kewajiban kedua belah pihak atau kedua orang tua). Oleh karenanya, pemenuhan kebutuhan keluarga dan pengasuhan anak sehingga bertumbuh kembang dengan baik, itu merupakan kewajiban orang tua yang harus dilakukan dengan saling bekerja sama.

 

Nilai-nilai apakah yang perlu ditanamkan oleh kedua orang tua pada anak dalam proses pendidikan itu?

Yang paling mendasar adalah kenapa pendidikan itu harus dibebankan tanggung jawabnya kepada orang tua,  pertama sekali, nilai yang bisa ditangkap adalah anak sejak dini bisa menyadari bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan, relasi antara suami dan istri sesungguhnya adalah setara. Mereka sama-sama memiliki tanggung jawab. Ini merupakan salah satu poin penting bagi anak. Akan jauh berbeda apabila dia melihat yang mendidik selalu  ayah atau selalu ibu, dia akan melihat kenapa keluarga ini kok timpang, yang menyupplay pengetahuan ibu, yang bekerja ayah atau sebaliknya. Ini pendidikan yang sangat tidak baik bagi anak.

Kalau orang tua mendidik secara bersama-sama, anak sejak awal akan menangkap bahwa relasi ayah ibunya secara spesifik dan relasi laki-laki dan perempuan pada umumnya adalah setara. Dan itu akan tertanam pada jiwa-jiwa anak ini dan di kemudian hari apabila dia berkeluarga,  dia akan menerapkan hal yang sama nilai-nilai seperti apa yang sejak kecil ditanamkan di keluarga kecilnya.

 

Bagaimana dengan pola pendidikan yang diterapkan di keluarga Ustadz?

Kalau saya di rumah, pekerjaan rumah tangga saya lakukan berdua bersama istri. Sejak bangun pagi, kami lalu shalat bareng-bareng. Sesudah itu ada yang membuat kopi (saya membuat kopi sendiri), kemudian istri memasak, saya mencuci, lalu pakaian kami jemur bersama-sama. Setelah itu kami makan bareng-bareng. Itu semua sesungguhnya adalah cara mendidik. Saya dengan istri jarang sekali mendidik dengan kata-kata, tetapi dengan teladan. Karena ada ungkapan bahwa “Teladan 1 orang, bisa mempengaruhi 1000 orang. Namun 1000 kata-kata sulit untuk mempengaruhi 1 orang.” Itu artinya teladan jauh lebih penting dibandingkan dengan kata-kata.

Akan tetapi harus ada nilai-nilai yang dimunculkan dalam memberikan teladan itu. Misalnya, beginilah kehidupan berkeluarga itu. Harus saling tolong menolong, harus saling bantu membantu. Anak laki-laki dan anak perempuan, kami perlakukan secara sama. Jadi tidak ada jenis pekerjaan untuk laki-laki dan tidak ada jenis pekerjaan untuk perempuan. Anak kami ada 5 orang, yang pertama laki-laki, kedua perempuan, ketiga perempuan, keempat laki-laki, dan yang kelima perempuan. Jadi dalam rumah tangga kami, kami tidak mengenal ada pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Semuanya adalah pekerjaan bersama, kami lakukan bersama-sama, kami nikmati bersama-sama dan kami belajar bersama. Itulah beberapa hal kecil yang kami terapkan dalam rumah tangga kami. Walaupun tentu saja itu tidak sempurna seperti yang dicontohkan Nabi. Tetapi kami berusaha bagaimana agar nilai-nilai dalam prinsip perkawinan tentang kesalingan, musyawarah, saling membuka hati, membuka diri, husnut-tafaahum (saling memahami) itu muncul dalam kehidupan rumah tangga.

 

Ketika istri sedang berkonsentrasi pada tugas reproduksi (melahirkan, menyusui, dan mengasuh bayi/anak kecil) dan membutuhkan perhatian yang lebih, apa yang Pak Kyai lakukan?

Di dalam rumah tangga yang kami jalani, ketika istri sedang menjalankan fungsi-fungsi reproduksi, kami sudah memahami bahwa pada saat itu istri sedang mengalami hambatan-hambatan yang bersifat biologis maupun bersifat psikologis. Misalnya pada saat istri mengalami haid, ketika perempuan haid terjadi perubahan hormon-hormon yang mempengaruhi perubahan psikologis, dimana perempuan menjadi sering emosi dan sebagainya. Itu bukan karena wataknya, namun karena perubahan hormon. Nah, dalam situasi seperti itu memang suami harus lebih membuka hati agar tidak terjadi pertengkaran dalam rumah tangga bila istri sedang kesal, karena memang dia sedang mengalami perubahan hormon sehingga mengalami perubahan psikologis, yang ada kalanya membuat istri menjadi lebih emosional..

Menurut saya, itu merupakan nilai penting. Karena banyak orang yang marah menghadapi kemarahan dari salah satu pihak, karena tidak memahami situasi dan kondisi pasangannya. Itu sama dengan situasi ketika seorang suami baru pulang dari kerja, capek apalagi di jalan macet dan sebagainya. Jadi ada situasi dan kondisi yang mempengaruhi psikologi suami. Seharusnya pada saat itu, istri juga membuka ruang hati secara lebih luas. Alam nasyrah laka shadrak, dilapangkan dadanya sedikit untuk menerima beberapa kemungkinan keadaan yang tidak menyamankan salah satu pasangan.

Selanjutnya di dalam proses menyusui, saya tidak bisa banyak mengambil peran, kecuali hanya menemani. Menyusui itu sesungguhnya proses yang sangat berat. Terutama bila istri payudaranya sampai terluka karena begitu kencangnya anak menyusu.  Istri saya mengalami itu saat menyusui beberapa anak kami. Dan sekarang juga masih mengalami hal itu karena anak kelima kami masih menyusu. Jadi, yang bisa saya lakukan hanyalah menemani di samping istri berharap bisamengurangi sedikit rasa sakitnya, . Di samping ada sedikit hiburan atau dukungan psikologis. Beberapa waktu yang lalu, saat istri  merasa sakit saya bilang, “Jangan-jangan, rasa sakit itu justru bisa menghilangkan penyakit kanker yang berpotensi tumbuh.” Hiburan-hiburan di saat dia mengalami proses reproduksi itu mesti dilakukan.

Untuk menggendong anak, memandikan anak, dan memakaikan baju anak, tidak ada masalah bagi kami. Karena itu adalah konsekuensi yang harus kami lakukan sebagai orang tua, dan kami mengajarkan hal tersebut sebagai tugas bersama.

 

Poin penting apa yang Pak Kyai dapatkan dari proses keterlibatan itu?

Mengajarkan kepada anak-anak bahwa laki-laki dan perempuan, suami dan istri itu adalah setara. Itu yang paling penting. Kemudian saling menghormati antara istri dan suami, juga sebaliknya antara suami dan istri, jadi penghormatan kemanusiaan itu sangat penting. Jadi, kesetaraan, penghormatan kemanusiaan, dan pengakuan bahwa perempuan sebagai istri punya hak dan kewajiban, dan laki-laki sebagai suami juga mempunyai hak dan kewajiban. Hal-hal ini yang seharusnya sejak awal diperkenalkan kepada anak-anak, bukan dengan kata-kata akan tetapi dengan teladan.

Biasanya, saya merasa senang bila anak-anak meminta sesuatu kepada saya dan tidak merasa takut. Tidak hanya meminta sesuatu pada ibunya, tetapi mintanya kepada saya serta bilang ,”Abi kan baik.” Saya kira itu merupakan sesuatu yang membanggakan bagi kedua orang tua, ketika anak-anak bilang bahwa kedua orang tuanya baik dan mereka tidak takut.

Poin penting lain yang menarik bagi saya adalah bahwa tidak boleh mengajarkan anak untuk takut kepada orang tua, akan tetapi menghormati orang tua karena perlakuan orang tua kepada anak itu. Jadi dia menghormati bukan karena mereka sebagai orang tuanya, akan tetapi bagaimana perlakuan mereka kepada anak. Ada nilai lain lagi yang menurut saya penting, soal penghormatan kemanusiaan, wujudnya adalah penghargaan terhadap pikiran dan gagasan dari kedua orang tua. Jadi, suami menghormati pikiran istri, dan istri menghormati pikiran suami. Dan ini dimulai dari hal-hal kecil misalnya memindahkan lemari. Hal yang kecil jika dibicarakan dengan baik misal ini akan dipindah kemana, ditaruh dimana, baiknya bagaimana, maka  akan terjadi diskusi. Dan kemudian akan melibatkan/dibantu oleh anak-anak. Kemudian anak-anak akan menangkap bahwa urusan sekecil apapun harus dibicarakan dalam rumah tangga. Itulah saya kira nilai-nilai yang bisa saya tangkap dari kehidupan rumah tangga yang kami jalani.

 

Apa dampak yang bisa Pak Kyai amati dari proses keterlibatan tersebut pada anak laki-laki dan anak perempuan?

Saya mungkin belum terlalu dalam mengamati.  Tetapi saya amati, anak yang laki-laki jarang sekali menyudutkan adiknya pada saat dia emosi misalnya pada sesuatu yang basisnya adalah gender, seperti, “Dikit dikit nangis. Dasar perempuan!” Saya jarang menemukan pernyataan-pernyataan bullying yang atau ejekan yang basisnya adalah gender dalam keluarga kami karena kami mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara. Sesekali memang masih ada pernyataan, “anak perempuan nggak boleh ini, nggak boleh itu”. Itu selalu ada. Mungkin juga hal ini karena pengaruh-pengaruh dari pergaulan di luar. Namun, bila mereka mengacu atau meneladani dari bimbingan kedua orang tuanya, seharusnya tidak ada hal seperti itu.

Nah, bagi anak perempuan menjadi lebih percaya dirinya bahwa dia adalah orang atau anak yang bisa melakukan peran yang sama seperti anak laki-laki.  Jadi pada anak laki-laki dia tidak melakukan perendahan pada pihak lain yang basisnya adalah gender, dan pada anak perempuan bisa meningkatkan kepercayaan diri.  Dia merasa bahwa menjadi perempuan bukanlah suatu aib, karena dia bisa melakukan berbagai hal seperti halnya anak laki-laki.

 

Apa yang bisa Pak Kyai bagikan kepada para orang tua terutama para ayah pada saat masa keemasan tumbuh kembang anak-anak mereka?

Ada kaidah yang sangat umum berkembang di kalangan pesantren dan umat Islam. “La’ib sab’an, wa shaahib sab’an”. Ajaklah anak-anak bermain pada saat tujuh tahun pertama, dan sertailah anak-anak pada saat tujuh tahun kedua. Jadi pada tujuh tahun kedua itu istilahnya “sertai”. Jadi saya pikir ini bukan saja kewajiban orang tua, akan tetapi juga merupakan hak anak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang (haqqul hubbi wal intifa’) dari kedua orang tuanya. Sehingga hal yang paling penting diberikan oleh kedua orang tua adalah cinta dan kasih sayang. Ini dua hal yang berbeda, dalam bahasa Arab adalah hubb dan rahmah. Atau rahman dan rahim harus diberikan secara seimbang kepada anak-anak. Itu tugas kedua orang tua.

Bedanya hubb dengan rahmah. Cinta atau hubb itu misalnya karena saya terlalu cinta kepada anak saya, maka apapun yang dilakukan oleh anak saya, membahayakan dirinya seperti apa pun di masa sekarang  maupun di masa yang akan datang, saya biarkan dia melakukan apa saja karena saya sangat mencintai dia. Itu namanya hubb, tapi tidak rahmah, karena  rahmah itu sesungguhnya untuk kepentingan anak.

Hubb itu tadi merupakan  kepentingan orang tua. Karena rasa cinta sekali, maka mau mengingatkan, mau mendidik dan seterusnya, bahkan mau menyekolahkan anaknya, karena rasa cintanya yang terlalu tinggi karena nggak mau berpisah dengan anaknya, takut kehilangan anaknya jadi tidak mau melepaskan. Ini membahayakan sesungguhnya. Sehingga harus ada rahmah.

Kalau rahmah itu cinta yang didasarkan untuk kepentingan anak itu. Jadi memberi tahukan kepada anak belajarlah yang rajin, berpuasalah, itu bagian dari rahmah. Karena pada umumnya orang kasihan ketika menyuruh anaknya berpuasa. Anak kok disiksa. Pemikiran seperti itu adalah karena rasa cintanya. Akan tetapi rahmah adalah untuk kepentingan anak. Dan itu harus seimbang.

Kembali ke pokok pembicaraan awal, bahwa kewajiban mendidik dan merawat anak yang dilahirkan itu adalah kewajiban orang tua baik laki-laki dan perempuan. Jadi bapak tidak boleh merasa bahwa dialah satu-satunya sumber pengetahuan bagi anak, akan tetapi bila suatu saat anak melakukan kesalahan maka yang disalahkan adalah ibunya. Kewajiban mendidik adalah kewajiban kedua orang tua. Dan dampak dari sebuah didikan ataupun kurangnya didikan itu, juga merupakan tanggung jawab kedua orang tua.

Para ayah harus menyadari bahwa pentingnya nilai-nilai kesalingan, kesetaraan, penghormatan kemanusiaan (menghormati pikiran, menghormati pilihan) menjadi bagian dari nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam rumah tangga. Jadi kita memberikn bukan semata-mata dengan kata-kata, akan tetapi harus dengan teladan. Kata-kata cukup disampaikan satu kali, akan tetapi teladan harus dilakukan bahkan beribu-ribu kali. {} AD. Kusumaningtyas

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here