Pernikahan adalah sebuah ikatan yang teguh dan kokoh, dimana kedua insan merajut hubungan suci untuk membina mahligai keluarga sakinah. Perjalanan itu pastilah penuh warna dan dinamika. Bahkan tidak jarang terjadi gejolak yang memicu berbagai kekerasan bentuk dalam rumah tangga;  baik secara fisik, verbal, ekonomi, psikologis,  sebagaimana sering terlontar dan terdengar dalam sidang-sidang perceraian di berbagai pengadilan agama.

Dalam mencapai tujuan keluarga sakinah yang mawaddah warahmah tanpa adanya kekerasan, fase awal menjelang dua insan merajut ikatan dan mengucap janji suci menjadi krusial dan penting. Tak kalah pentingnya adalah fase Balita Manten, yakni masa pernikahan di bawah lima tahun. Kedua fase krusial tadi akan segera mengingatkan kita pada sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, yakni Kantor Urusan Agama (KUA); dimana kedua fase tersebut masuk dalam jangkauan tugas kerja KUA di wilayah kecamatan. Oleh karenanya, Rahima berupaya mendorong peran penting kepala KUA untuk terlibat dalam pencegahan kekerasan berbasis gender dalam kehidupan rumah tangga sehingga terwujud keluarga sakinah tanpa kekerasan sebagai fondasi masyarakat yang kuat dan berkualitas. Salah satu sosok penting itu adalah Zudi Rahmanto, Kepala KUA Kec. Wonosari, Kab. Gunung Kidul, Provinsi DIY.

 

Dari Pesantren ke KUA

Zudi Rahmanto, terlahir sebagai anak pertama dari pasangan Haji Ngadiran dan Hj. Musirah pada Ahad Pahing 17 Juni 1973 silam, di sebuah dusun di Desa Menggoran Kecamatan Playen Kab.Gunung Kidul. Pesantren adalah narasi penting yang mewarnai perjalanan kehidupannya sejak usia remaja. Sejak belajar di Madrasah Tsanawiyah hingga Pasca Sarjana-nya, Zudi menetap di pesantren. Pesantren Al-Mahally Brajan Wonokromo Plered Bantul saat menempuh pendidikan MTs. Berlanjut ke tingkat SLTA di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang. Dan terakhir pesantren Nurul Ummah Kota Gede Yogyakarta semasa menjadi mahasiswa S1 dan S2 di IAIN Sunan Kalijaga.

Begitulah Zudi. Akrab dengan dunia pesantren sedari kecil. Boleh jadi pengalaman belajarnya sebagai seorang penuntut ilmu agama turut andil mendorong minatnya untuk mengambil konsentrasi Hukum Keluarga di Program Studi Hukum Islam Pascasarjana IAIN hingga tahun 2000. Pada tahun yang sama, Zudi diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Gunung Kidul.

Jabatan pertamanya adalah staf administrasi di KUA Kecamatan Tepus. Lalu tahun 2001 bertugas sebagai staf di Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kemenag. Kab. Gunung Kidul. Tahun 2003 menjadi wakil Petugas Pencatat Pernikahan (PPN) atau penghulu di KUA Kecamatan Playen. Lalu ditugaskan di Kecamatan Wonosari pada tahun 2005.

Hingga akhirnya Zudi dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala KUA Karangmojo pada Maret 2006. Setelah lima tahun lamanya memimpin KUA Kecamatan Karang Mojo, Zudi pindah tugas ke KUA Kecamatan Tepus. Disini ia bertugas selama setahun sebelum akhirnya dimutasi ke KUA Kecamatan Wonosari Gunung Kidul. Jabatan yang diembannya sejak 2016 hingga saat ini.

Praktis, duabelas tahun sudah lamanya Zudi menjabat sebagai kepala KUA. Pikiran, tenaga, dan waktunya ia dedikasikan untuk memimpin dan memajukan institusinya. Ia bukan tak pernah ditawari untuk promosi ke jabatan yang lebih tinggi. Tapi tampaknya ia masih memilih untuk berjuang di KUA Kecamatan.

Padahal dari segi prestasi dan kualitas, dirinya layak untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Antara lain yang terbaru adalah dia terpilih untuk menjadi Fasilitator Bimbingan Perkawinan (Bimwin) di seluruh kabupaten Gunung Kidul. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Ketua Satgas Pembina Desa Binaan Keluarga Sakinah (DBKS) di Desa Kepek Kecamatan Wonosari. “Alhamdulilah pada tahun 2017 Desa Kepek Kecamatan Wonosari berhasil meraih juara pertama Evaluasi  Desa Bina Keluarga Sakinah (DBKS) Tingkat DI Yogyakarta,” ucap Zudi penuh syukur atas keberhasilan tersebut.

 

Menolak Bias Gender

Zudi adalah salah peserta program Pelibatan Kepala KUA untuk Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender yang dilakukan oleh Rahima di wilayah kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo. Terbangunnya sensitivitas dan kesadaran adil gender di kalangan kepala KUA menjadi faktor penting mengingat tugas dan peran mereka dalam menyampaikan bimbingan kepada calon pengantin. Wawasan mengenai ruang lingkup kekerasan berbasis gender juga tak kalah penting dimiliki oleh para kepala KUA. Begitu juga wawasan mengenai kajian Islam adil gender, khususnya fikih keluarga dengan menggunakan perspektif adil gender dan metode mubaadalah.

“Saya menjadi benar-benar memahami terkait kekerasan berbasis gender dan konsep keluarga sakinah perspektif kesetaraan tanpa kekerasan, didukung dengan pendekatan Mubaadalah (resiprokal) untuk memahami teks Alquran dan Hadis untuk membangun relasi yang adil dan seimbang. Salah satu kajian (dalam program) yang sangat bermanfaat berkaitan dengan tugas dan peran saya di KUA adalah soal relasi gender dan kajian Islam adil gender dan konseling partisipatif,” kisah Zudi Rahmanto.

Sejak ikut berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Rahima, Zudi mengutarakan terjadi perubahan terkait kesadarannnya dalam melihat status, peran, dan tugas-tugas terkait relasi laki-laki dan perempuan atau suami-istri. “Paling tidak saya rasakan itu dalam praktik kehidupan di rumah tangga saya. Kesadaran menyiapkan keperluan sehari-hari seperti belanja bahan makanan, menyiapkan menu makanan bagi keluarga secara spontan dilakukan oleh siapa saja yang bisa. Tanpa menunggu bahwa penyiapan hal terkait itu urusan siapa.”

Sensitivitas gendernya semakin tajam. Dia menjadi semakin peka pada berbagai persoalan dan ketimpangan maupun berbagai pernyataan yang dianggapnya tidak adil dan terkesan memojokkan salah satu pihak tanpa alasan yang dapat diterima. “Dalam situasi sehari-hari, kesadaran gender saya secara spontan muncul apabila ada pembicaraan yang terasa bias gender. Seperti saat ada yang meledek seseorang karena dia perempuan atau sebaliknya, menjadikan perempuan sebagai objek gurauan, serta pembicaraan tentang pembagian tugas dan peran yang tidak adil gender.”

Terkait itu Zudi punya banyak cerita. Di antaranya peristiwa yang terjadi dalam proses Bimwin di Kecamatan Semanu di ujung tahun 2017 lalu. Saat itu, seorang calon pengantin laki-laki berkata: “Perilaku boros dan mata duitan hanya dilakukan oleh seorang perempuan atau istri. Tugas isteri adalah mengurus rumah tangga seperti urusan dapur, sumur dan kasur.“ Dengan ungkapan berbahasa Jawa, lelaki itu menyebut tugas perempuan  dengan istilah “Tiga Ah” , yakni Olah-olah, Umbah-umbah, dan Mlumah.

“Asumsi saya, perspektif tersebut lahir dari tradisi dan konstruksi sosial yang diyakini oleh sebagian peserta. Spontan saya menanggapinya, dengan menyampaikan bahwa siapapun baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk berbuat baik, demikian pula berbuat salah. Kewajiban kita adalah menjaga bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan itu saling memupuk kebaikan, menebarkan kedamaian dan kenyamanan secara bersama. Bukan mencari kambing hitam siapa yang salah dan menganggap ‘aku’ yang selalu benar”, terangnya.   Dalam keseharian, ia mengaku bahwa perspektif adil gender dan metode mafhum mubaadalah telah terintegrasi secara otomatis dan menjadi bagian dari pendekatannya dalam bekerja, baik dalam kegiatan di kantor, bimbingan perkawinan, pengajian, bahkan juga di perkuliahan dan aktivitas sosialnya.

Oleh karenanya, sosok kepala KUA seperti Zudi Rahmanto yang telah memiliki kesadaran dan sensitivitas serta wawasan mengenai ruang lingkup kekerasan berbasis gender, serta menguasai wacana kajian Islam adil gender serta berbagai metode pendukungnya menjadi hal penting dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender, KDRT. Dengan demikian, melalui Bimwin maupun penyampaian nasihat perkawinan diharapkan para calon pengantin sejak awal telah mendapatkan bekal nilai-nilai dan prinsip yang adil gender sehingga ke depannya dapat membina keluarga sakinah secara adil.

Meskipun kini telah ada buku modul Fondasi Keluarga Sakinah untuk kegiatan Bimbingan Perkawinan di KUA yang isinya sangat bagus dari segi perspektif adil gender, tetapi selama kesadaran dan sensitivitas gender di kalangan kepala KUA belum terbangun rasanya akan sulit bagi calon pengantin mendapatkan hasil yang efektif. Oleh karena itulah upaya membangun kesadaran gender dan memperkuat wawasan pencegahan KDRT melalui kajian Islam bagi kepala kepala KUA menjadi sangat penting. Harapannya, saat calon pengantin hendak merajut ikatan suci pernikahan, mereka telah mendapatkan pemahaman dan pandangan yang tepat untuk membangun relasi keluarga sakinah, yang adil, setara, dan nir kekerasan. {} Mawardi

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here