Berharap kepada agama untuk menjadi pembebas bagi kaum perempuan, bisa jadi saat ini masih diragukan oleh sementara kalangan. Bagaimana tidak, hampir sebagian besar tindak kekerasan yang melibatkan kaum laki-laki terjadi karena didasari oleh adanya sebuah interpretasi yang bias jender terhadap posisi perempuan dalam pandangan agama. Katakanlah, sebagai contoh, pandangan sebagian besar ulama terhadap seorang isteri yang dianggap melawan suami. Syeikh Nawawi al Bantani (w. 1314 H/1897 M) menyebut  beberapa alasan sehingga suami wajib memukul sang isteri; menolak berhias, menolak berhubungan intim, keluar rumah tanpa izin, memukul anak kecil, merobek baju suami, menghardik suami, menghina suami, menampakkan muka kepada orang lain, berbicara dengan orang yang bukan mahram-nya atau berbicara dengan suami dengan suara lantang agar terdengar orang lain dan jika isteri memberikan sesuatu yang diberikan suami yang seharusnya disimpan dan dirawat-kepada orang lain. (Faqihuddin Abdul Qodir:2006).

Tapi apakah benar, agama (baca: Islam) hampir selalu memiliki tendensi memperlakukan perempuan dalam sikap yang keras dan sama sekali tak bersahabat ? Jauh ribuan tahun yang lalu, Islam justru mengajarkan kepada umatnya untuk memperlakukan perempuan secara baik. Dari puncak Gunung Arafah, saat berhaji untuk terakhir kalinya (haji wada), dengan suara lantang, Rasulullah mengingatkan kaum Muslimin untuk berhubungan secara adil terhadap sesamanya, menghindari pertikaian berdarah dan memperlakukan perempuan sebaik mungkin. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Rasulullah juga mengecam para laki-laki yang memukuli isterinya secara semena-mena, ”Mereka yang suka memukul isterinya, bukanlah laki-laki terbaik “ (Riwayat Abu Daud).

Fatimah Mernisi dalam Women and Islam, mensinyalir terpuruknya posisi perempuan kelembah kekerasan disebabkan oleh adanya proses pembalikan status yang didukung oleh bahasa agama. Segala ajaran yang berkenaan dengan perempuan berubah maknanya dan diterapkan sejalan dengan proses kepentingan politik tertentu. Tafsir ayat Al Qur’an atau Hadits yang cenderung mendudukkan perempuan ke masa pra Islam muncul sebagai ideologi yang mengesahkan praktek penguasa. Sementara itu, ayat yang mengandung semangat reformasi, pelan namun pasti, semakin tidak terdengar gaungnya. Kecenderungan lain yang menurut Mernisi turut memparahkan situasi adalah cara memahami teks agama secara literal.  Mernisi mengambil contoh Imam Bukhari sebagai perawi hadits yang memiliki tradisi literal tersebut. Menurutnya, kendati susunan hadits Imam Bukhari diakui kesahihannya oleh umat Islam, namun dalam memaknai beberapa hadits tentang perempuan, ia dinilai kurang tepat. Imam Bukhari cenderung mengartikan sebuah hadits dalam konteksnya yang sangat terbatas. Padahal munculnya suatu hadits tidak pernah terlepas dari kejadian sekelilingnya.

Lalu bagaimana caranya supaya agama bisa kembali menjadi pembebas bagi perempuan serta kembali menjadi rahmat bagi semesta alam? Jika Fatimah Mernisi memiliki jawaban tegas atas pertanyaan tersebut: rekonstruksi sejarah Islam secara menyeluruh, Wardah Hafidz – salah seorang aktivis gerakan perempuan Indonesia – memutlakan perlunya kembali menafsirkan Al Qur’an dan Hadits secara kontekstual, “Jadi ketika Al Qur’an berbicara tentang poligami dengan persyaratan agama laki-laki berlaku adil, pesan inti yang dikemukakan  sebenarna adalah keadilan..”tulisnya dalam sebuah artikel yang berjudul Islam dan Gerakan Feminisme.

Senada dengan Wardah Hafidz, KH. Husein Muhammad – salah seorang  ulama yang  bergiat pada isu Islam dan hak-hak perempuan – menyarankan umat Islam berikhtiar untuk melakukan reintepretasi teks. Menurutnya, jika umat Islam ingin kembali meraih nilai-nilai kesetaraan yang pernah terjadi di masa lalu maka hal terbaik yang harus dijalankan adalah dengan membaca kembali teks-teks suci Al Qur’an dan Hadits maupun kitab-kitab klasik karya para ulama, dalam semangat obyektifitas dan semangat universal. Masalahnya apakah umat Islam memiliki kemauan ke arah semangat baru tersebut?. Baiknya pertanyaan ini harus kita jawab dengan tindakan nyata dan bukan dengan kata-kata semata.

Semoga

 lembar-lembar berikut ini

 akan menjadi barang bukti

 bahwa kita telah melangkah  pasti

 dalam tindakan yang betul-betul nyata

 Bukanlah seolah fatamorgana

 Semoga…

(Yoan dan Ning)

Baca Juga:

Fokus 1: Kekerasan Terhadap Perempuan : Antara Mitos dan Realitas

Fokus 2: Sikap Dunia pada Kekerasan terhadap Perempuan

Fokus 3: Memotret Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here