hormati perempuan“Aku tidak mengatakan dan tidak seorang berakalpun akan mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi atau lebih rendah satu tingkat dua atau lebih dari laki-laki. Tetapi aku menyaksikan banyak orang merendahkan perempuan sedemikian rendah, mengeksploitasinya sedemikian buruk dan mengurangi sebagian besar hak-haknya. Lebih jauh lagi, laki-laki akan dianggap lemah dan tidak mampu memenuhi hak-hak ayah atau pamannya jika dia tidak merendahkan hak-hak ibu atau bibinya”.(Rasail Jahizh, III/115-116).

Kalimat di atas merupakan pernyataan seorang sastrawan Islam terkemuka abad ke 3 hijriyah ; Abu Amr Ustman al Jahizh (w. 225 H). Tampak dengan jelas betapa kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fenomena umum sejak masa klasik Islam.

Hari ini kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Dewasa ini ia semakin menjadi salah satu isu krusial dalam masyarakat bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga masyarakat global. Pada pertemuan di Beijing, China tahun 1995, perempuan sedunia berhasil mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan secara lebih progresif. Kekerasan terhadap perempuan oleh masyarakat internasional telah dipandang sebagai bagian dari pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu harus dilakukan aksi-aksi konkrit untuk penghapusannya.

Pada skala nasional realitas sosial Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang ; domestik (rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam, dari yang dianggap sebagai “orang terhormat”, terpelajar dan dianggap ‘shaleh” sampai yang dianggap “orang rendahan” dan  “manusia pinggiran”. Pada sisi lain kekerasan terhadap perempuan dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan secara individual melainkan juga oleh institusi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kita juga boleh jadi kehilangan akal untuk dapat mengidentifikasi secara pasti identitas orang yang diharapkan dapat menjamin keamanan perempuan dari kemungkinan menjadi korban kekerasan. Orang-orang yang paling dekat dan paling terpercaya dengan perempuan sekalipun seperti ayah, kakak, adik, paman, dalam sejumlah kasus terbukti juga terlibat dalam aksi kekerasan. Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga (domestik) yang ditemukan oleh berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar daripada yang lainnya. Dalam waktu terakhir kekerasan terhadap perempuan muncul dengan modus ‘baru’ yang disebut Trafficking atau perdagangan perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan karena itu agaknya sudah tidak lagi memerlukan penelitian dan bukti-bukti akademis, karena secara empirik hampir setiap hari semua orang dapat menyaksikan kasus-kasus ini dalam berbagai bentuknya lewat media massa baik cetak maupun elektronik.

Kekerasan terhadap perempuan karena itu pula mungkin sudah menjadi “banal”, menjadi peristiwa sehari-hari, peristiwa yang sudah lumrah dan umum. Dalam banyak kenyataan orang agaknya sudah tidak lagi menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran kemanusiaan dan perbuatan dosa. Dalam kondisi seperti ini peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan lalu seringkali tidak menjadi kepedulian banyak orang. Dalam pengalaman menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, saya melihat begitu jelas betapa tingkat kepedulian orang terhadap korban begitu rendah. Sebagian orang, laki-laki maupun perempuan bahkan seringkali menimpakan kesalahannya kepada korban dan pada kasus KDRT persoalannya dianggap menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Tidak ada urusan orang lain terhadap persoalan ini.

Fokus 2: Al-Qur’an Menolak Kekerasan terhadap Perempuan

Fokus 3: Tafsir Teks Kekerasan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here