Sebagai Negara anggota PBB, Indonesia memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan ketentuan serta langkah tindak yang ditetapkan dalam deklarasi tersebut. Namun menurut Achie Sudiarti Luhulima dari Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, sebagai Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini, justru banyak ketentuan, prosedur dan langkah tindak yang telah ditetapkan dalam instrument internasional tidak dijalankan secara maksimal. “Sungguh memprihatinkan, pemerintah Indonesia tidak mentaati dan melaksanakan semua itu,” tulisnya dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif pemecahannya.
Salah satu akibat dari adanya ketidaktegasan dan tidak maksimalnya hukum di Indonesi ,mengakibatkan jumlah kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun menukik tajam. Menurut data yang terkumpul di Komnas Perempuan, selama kurun waktu 3 tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami pertambahan yang sangat memprihatinkan menjadi 20.391 kasus (2005). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2004 (14.020 kasus ), 2003 (5.934 kasus), dan 2002 (5.163 kasus). Sebesar 82% (16.615 kasus) dari total 20.391 kasus, adalah kasus kekerasan dalam keluarga dan relasi personal. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 4.886 kasus (29.41%), kekerasan dalam pacaran (KDP) 635 kasus (3.82), kekerasan terhadap anak (perempua) – KTA sebanyak 421 kasus (2,53%), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga 87 kasus (0.52%) dan kasus-kasus KDRT/RP mencapai 63,71% dari seluruh kategori ini. Pada kasus kekersan dalam keluarga ini, pelakunya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban, antara lain mantan suami, mantan pacar, kakak/ adik ipar, mertua, paman, teman dekat ‘ibu’, suami tidak sah, pacar dll. Data juga menunjukkan bahwa perempuan korban KDRT juga menjadi potensial pelaku kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya.
Jumlah data tersebut hanyalah sebagian kecil saja dari realitas kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia, mengingat masih banyaknya para korban kekerasan yang enggan melaporkan situasi yang dialaminya kepada pihak berwenang. Hampir setiap hari di media massa, kita membaca berita telah terjadi kekerasan terhadap perempuan dengan modus bermacam-macam, misalnya kekerasan yang dialami oleh buruh migrant dan korban perdagangan untuk industri seks. Fakta-fakta sosial tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan ternyata merupakan jenis kelamin yang masih tersubordinasi dan akibatnya mereka rentan terhadap kekerasan baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Adanya keengganan perempuan korban kekerasan untuk berbicara, berangkat dari situasi sosial yang tidak mendukung posisi perempuan ketika berusaha mendapatkan keadilan pasca diperlakukan sewenang-wenang. Untuk kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) misalnya, korban enggan melapor disebabkan antara lain: cukup banyak pihak menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami terhadap isteri), konflik rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain atau membuka aib keluarga. Sedangkan untuk kasus pemerkosaan, biasanya korban tidak mau melapor karena si korban malu mencemarkan nama baik dirinya dan keluarganya. Si korban juga merasa pesimis bahwa proses peradilan pidana terhadap kasusnya ini belum tentu dapat membuat si pelaku di hukum. Selain itu korban khawatir akan pembalasan dari pelaku (jika terutama pelaku adalah orang yang dekat dengannya). Inilah yang disebut Kristi Poerwandari dari Yayasan Pulih yang juga Ketua Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia (UI) merupakan faktor yang sangat signifikan mengingat keengganan korban untuk melapor sangat erat kaitannya dengan persepsi dalam masyarakat yang terus meletakkan perempuan di posisi subordinat. Perempuan korban kekerasan seringkali justru dipersalahkan atas tindakan kekerasan yang dialaminya. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi mereka dianggap gagal dalam memainkan peran yang diharapkan masyarakat atas dirinya sebagai makhluk sosial yang lemah lembut, penyayang, sabar, setia, patuh dan sebagainya.
Dampak dari tindak kekersan perempuan sangat banyak (lihat wawancara dengan Kristi Poerwandari) Terlepas dari apakah akibat kekerasan itu bias terlihat langsung atau baru tampak kemudian, yang jelas dampak kekerasan seperti gangguan kesehatan, hilangnya konsep diri dan rasa percaya diri akan menghambat perempuan korban kekerasan untuk berpartisipasi secara optimal dalam masyarakat. Ini berarti hilangnya sumber daya manusia yang sangat penting. WHO (organisasi kesehatan sedunia) memperkirakan perempuan yang mengalami kekerasan akan kehilangan 50% produktivitasnya.
Diantara tumpukan persoalan kekeraan yang seolah tidak ada habis-habisnya, ada seruak kabar gembira di bumi Indonesia. Setelah melewati perjuangan yang cukup panjang dan perdebatan yang melelahkan, semenjak dua tahun lalu, akhirnya kita memiliki UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun dalam upaya pelaksanaan UU tersebut, masih banyak kendala yang menghadang. Beberapa diantaranya adalah masih kurang tersosialisasinya UU tersebut setelah diundangkan, aparat penegak hukum enggan menggunakan pasal-pasal dalam UU ini karena perangkat hukum dibawahnya (Peraturan Pemerintah) untuk panduan pelaksanaan UU ini di lapangan terlambat dibuat dan disosialisasikan. Selain itu ada kendala budaya yang masih sangat besar bagi para perempuan korban KDRT terutama untuk menjalankan proses hukum sampai tuntas, sehingga banyak perkara yang ditarik kembali setelah mulai diproses oleh polisi. Akibatnya, banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan, apalagi disidangan jika dibandingkan dengan jumlah kasus KDRT yang sebenarnya terjadi di masyarakat
Baca Juga:
Fokus 1: Kekerasan terhadap Perempuan: Antara Mitos dan Realita
Fokus 2: Sikap Dunia Pada Kekerasan Terhadap Perempuan
Fokus 4: Agama Sebagai Pembebas