Meskipun kita telah mendapatkan kesimpulan sementara, bahwa orang dewasa tidak hanya orang yang telah mengalami  kematangan dalam hal fisiknya saja namun juga telah mampu untuk menerima beban dan tanggung jawab sosial serta dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum, kenyataannya aturan hukum positif kita menentukan berbeda-beda tentang batas usia dewasa.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang dalam istilah hukum seringkali dikenal dengan Bergelijk Wetboek (BW) dinyatakan bahwa usia dewasa diatur dalam pasal 330 KUHPerdata yaitu; “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabilah perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu (21) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.[i]  Sementara, pandangan hukum Islam mengenai batas kedewasaan ini juga  diadopsi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 98 ayat 1, Bab XIV tentang pemeliharaan anak; “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Artinya; dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggungjawab atas dirinya. [ii]

Kedua aturan ini sejatinya menunjukkan bahwa negara telah memandang bahwa 21 tahun lah seseorang  dapat dipandang sebagai dewasa dan cakap untuk melakukan tindakan hukum. Meskipun  tak dapat dipungkiri,  bahwa negara masih memberikan ruang untuk menikah sebelum mereka benar-benar dapat disebut dewasa. Hal ini tak lepas dari adanya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.[iii] Sebenarnya, pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih di bawah umur. Namun, apabila batasan minimum bagi anak perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, berarti sejatinya negara masih membuka ruang bagi terjadinya praktik pernikahan anak. Sementara Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt, secara tegas menyatakan bahwa yang batasan usia dewasa ialah 18 tahun.[iv]

Kenyataannya, pandangan yang beragam ini juga berimplikasi pada bervariasinya batasan usia anak dalam berbagai aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beberapa undang-undang seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (dalam konteks isu perwalian),  UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada umumnya menyatakan bahwa usia anak adalah di bawah 18 tahun; dimana secara eksplisit mereka yang berusia di atas 18 tahun dianggap telah dewasa. Namun, selain KHI yang menetapkan bahwa usia dewasa adalah 18 tahun ke atas, SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 mengkatagorikan istilah dewasa dalam berbagai katagori, Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam hal a)  dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; b) dewasa seksual, misalnya adalah batas umur 18 tahun  yang idealnya menjai batasan minimal usia untuk dapat melangsungkan pernikahan;  dan c)  dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.[v]

Oleh karenanya, dapat dimengerti bila beberapa undang-undang yang lain tidak seragam dalam menentukan batas minimal seseorang dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Contohnya, dalam Pemilu misalnya menurut pasal 1 ayat (22) UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah dinyatakan bahwa pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur  17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.[vi] Hal senada juga tampak dari aturan dalam  UU No.2 tahun 2009 tentang Angkutan Jalan,  bahwa  ketentuan untuk bisa mengemudi  adalah dengan terlebih dahulu mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah berusia  17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D. [vii] Sementara itu, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2007 mengatakan saksi nikah harus baligh, sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.[viii]  Ketentuan terbaru dari Menteri Agraria melalui Surat Edaran No.4/SE/ I /2015 tentang Batas Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan menetapkan usia dewasa untuk dapat melakukan perbuatan hukum di bidang pertanahan adalah  paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. [ix]

Baca Juga:

Fokus 1: Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis?

Fokus 2: Memahami Soal Kedewasaan dari Beragam Perspektif

Fokus 4: Dewasa dalam Beragam Perspektif Wacana Keislaman

Fokus 5: Menentukan Batas Kedewasaan bagi Penentuan Usia Minimum untuk Menikah

[i] Lihat tulisan berjudul Batas Usia Dewasa Menurut Hukum Yang Berlaku di Indonesia, yang diunduh dari situs http://anzar-asmadi.blogspot.com/2012/12/batas-usia-dewasa-menurut-hukum-yang.html.

[ii] Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia

[iii] Lihat isi Pasal 7 ayat 1 UU. No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

[iv] Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia

[v] Lihat kembali tulisan Batas Usia Menurut Hukum Yang berlaku di Indonesia

[vi] Lihat UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[vii] Lihat dalam UU No.2 tahun 2009 tentang Angkutan Jalan, dalam BAB VIII tentang Pengemudi,Bagian Kesatu Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 mengenai Persyaratan Pengemudi

[viii] Lihat tulisan Abdul Latif, Batas Usia Baligh Syarat Saksi Nikah   (Analisis Hukum Islam dalam Pasal 19 Ayat 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007), skripsi pada Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam  IAIN Walisongo Semarang,  tahun 2009 yang diunduh dari situs http://eprints.walisongo.ac.id/ 1838/1/029111002_Coverdll.pdf

[ix] Lihat dalam Surat Edaran No.4/SE/ I /2015 tentang Batas Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria  dan tata Ruang/Kepala Badan pertanahan Nasional Ferry Mursyidan baldan pada 26 Januari 2015.  Ketetapan ini mengacu pada berbagai ketentuan dalam aturan perundang-undangan yang menetapkan bahwa usia dewasa adalah 18 tahun dan juga mengacu pada SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan dan hasil rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI tanggal 14-16 Maret 2011 yang menyatakan bahwa dewasa adalah adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. .

[x] Lihat tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah- t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, dikutip 19 Maret 2015, 17 : 12 WIB.

[xi] Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh sebagaimana sumber kutipan di atas

[xii] Dikutip dari https://www.facebook.com/permalink.php?id=208017592593851&story_fbid=474775109229040

[xiii] Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh.

[xiv] Lihat tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia, dikutip dari situs http://arliansyah3.blogspot.com/2014/01/mari-membaca.html, dalam tulisan yang diposting pada Kamis, 9 Januari 2014, diunduh pada Kamis, 15 Januari 2015, pk 11.00 WIB.

[xv] Lihatkembali  tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia.

[xvi] Lihatkembali  tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here