Sesuatu yang menarik dalam ayat-ayat Alquran tentang seksualitas ini adalah adanya penekanan kuat pada etika atau akhlak dalam menyikapi alat reproduksi tersebut, baik milik sendiri maupun orang lain, dan bagaimana menyikapi secara empatik pada masa reproduksi perempuan yang cukup banyak, panjang, dan tak jarang disertai rasa sakit. Salah satu contohnya adalah ayat tentang pemberian ASI pada QS. al-Baqarah/2:233 berikut ini:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 233)
Ayat di atas sebagaimana ayat-ayat tentang seksualitas lainnya, memang tidak menjelaskan secara detail tentang pemberian ASI melainkan sarat dengan tuntunan akhlak dalam menyikapi salah satu tahap reproduksi ini. Beberapa di antaranya adalah bahwa seorang ibu dapat menyempurnakan pemberian ASI hingga dua tahun, seorang ayah mempunyai kewajiban menafkahi dan memberikan pakaian pada bayi tersebut walaupun telah bercerai dengan ibunya, ayah-ibu dan bayi tidak boleh saling menyusahkan, ayah dan ibu bisa menyapih bayi sebelum berusia dua tahun atas dasar keputusan bersama dan saling ridha, anak bisa disusukan pada perempuan lain dengan harga yang patut, perilaku untuk saling memperlakukan dengan baik antara ayah dan ibu maupun antara keduanya dengan bayi terkait erat dengan ketakwaan seseorang sehingga mereka yang bertakwa akan menjaga perilaku dengan baik karena diawasi langsung oleh Allah.
Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat di atas terkait dengan ketentuan bagi pemberian ASI bahwasanya seorang ibu jika berada dalam penjagaan ayah maka dia wajib memberikan ASI sesuai norma yang berlaku. Jika ibu telah bercerai dengan ayah, maka pemberian ASI adalah sunnah dengan cara suka rela. Namun dalam kondisi di mana bayi terhalang menerima susu dari selain ibu atau karena kemiskinannya atau sebab-sebab lain sang ayah tidak dapat menemukan perempuan lain yang bisa menyusui, maka ibu wajib menyusui anaknya dan ayah wajib memberika upah pada ibu karena hal ini seharga penyusuan yang berlaku di tempat tersebut baik dalam kondisi mudah maupun sulit dan kaya maupun miskin.[1] Ath-Thabari memberikan penjelasan yang juga tak kalah menarik. Menurutnya kalimat يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ (seorang ibu menyusui anaknya) hanya menunjukkan bahwa sang ibu lebih berhak menyusui bayinya daripada perempuan lain, bukan bermaksud menekankan kewajiban.[2]
Ayat di atas dan ayat-ayat lain tentang seksualitas lainnya yang juga menekankan pada akhlak menunjukkan bahwa perbincangan tentang seksualitas bukanlah hal tabu bahkan sangat diperlukan mengingat banyaknya perlakuan manusia yang keliru terhadap seksualitas manusia ini. Misalnya Tabu Menstruasi yang memandang perempuan menstruasi menjijikkan bahkan mengundang malapetaka.[3] Demikian pula sikap tidak peduli pada kesulitan perempuan yang menjalani kehamilan dan persalinan sehingga al-Qur’an menggambarkannya sebagai beban yang bertumpuk (wahnan ala wahnin)dalam QS. Luqman/31:14, sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Quraish Shihab dalam kitab tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa penggunaan kata وَوَصَّيْنَا menunjukkan bahwa pesan kepada seluruh umat manusia untuk berbakti pada kedua orangtua dalam ayat ini sangat kuat terutama karena ibu telah mengandungnya dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan,yakni kelemahan berganda dan dari saat ke saat bertambah-tambah. Lalu dia melahirkannya dengan susah payah, kemudian memelihara dan menusukannya setiap saat, bahkan di tengah malam ketika saat manusia lain tertidur nyenyak. Demikian hingga tiba masa menyapihkannya setelah dua tahun.[4]Perumpamaan ini mengandung pesan moral agar para suami, keluarga besar, masyarakat bahkan negara yang mengatur kehidupan manusia mesti peduli untuk memberikan dukungan agar fungsi mulia ini dapat berjalan dengan aman dan mudah.
Tentu saja tuntunan agama terkait seksualitas ini sangat penting untuk dibicarakan secara terbuka dan santun dalam dalam bingkai keilmuan. Meskipun dunia maya menyediakan informasi yang benar dan sehat tentang seksualitas, namun informasi yang berasal dari industri seks lebih gencar dan agresif, baik melalui situs-situs berbayar, melalui aneka virus yang kerap muncul bahkan menutupi situs apapun yang kita buka, bahkan melalui aneka games untuk anak-anak dan remaja. Informasi tentang seksualitas seperti ini dapat menyesatkan para santri karena bertumpu pada keuntungan bisnis, mengumbar nafsu syahwat tanpa batas, mengandung pornografi dan pornoaksi, dan dapat mendorong siapa pun untuk melakukan kekerasan seksual.
Baca Juga
Tafsir 1: Meneladani Alquran dalam Membincang Seksualitas
Tafsir 3: Strategi di Pesantren
Catatan Kaki:
[1] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir a-Wasith, Damaskus: Dar al-Fikr, 1422 H, j. 1, h. 129.
[2] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali, Jami’ al-Bayan fi Tawil al-Qur’an, Muassasah ar-Risalah, 1420 H, j. 5, h. 31.
[3]Nasarudin Umar, Menstrual Taboo, diunduh pada hari Senin 26 Oktober 2015 dari https://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/menstrual-taboo/.
[4] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, 2009, j. 10, h. 300.
Similar Posts:
- Ngobrol Seksualitas bersama Syarifah, Salah seorang pendiri Kalyanamitra dan Dosen Kriminologi UI, aktivis LBH Apik Membincang seksualitas dan “politik seksualitas”
- Keseimbangan Peran Ayah dan Ibu
- Mendaulatkan Seksualitas Perempuan
- Membaca Ayat Seksualitas dan Mendaulatkan Seks Perempuan
- Ketika Nyai dan Kyai Bicara Tentang Seksualitas