Dalam wacana fiqh dikenal istilah baligh. Baligh dapat dimaknai sebagai sebuah masa dimana seorang mulai dibebani (dikenai taklif) dengan beberapa hukum syara’. Oleh karena tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf. Sebenarnya tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak dapat dibebani hukum syara’ seperti orang gila. Disinilah kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah).[i] Dengan kata lain, seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syara’ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah. [ii]

Pendapat lain mengatakan bahwa baligh secara bahasa berarti sampainya seorang anak pada usia melaksanakan kewajiban agama. Sementara definisi fiqh untuk baligh itu sendiri adalah berakhirnya masa kanak-kanak seseorang dan sampai pada usia dimana ia telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan kewajiban dan konsisten untuk melaksanakan hukum syariat (Jawahir al-Kalam, 26/4). [iii]

Ada beragam pandangan mengenai tanda-tanda Baligh. Menurut kitab Safinatun Najah, tanda-tanda baligh ada 3:  1) Genap berusia 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan  2) Mimpi basah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dan 3) Haid bagi perempuan yang telah berumur 9 tahun.[iv] Pandangan-pandangan lain juga senada, yang intinya adalah ditandai dengan menstruasi (haid) bagi anak perempuan dan mimpi basah (ihtilam) bagi anak-laki-laki. Tanda-tanda fisik lainnya yang disebutkan adalah tumbuhnya bulu-bulu di ketiak dan di sekitar kemaluan.

Ada 2 teks Alquran yang seringkali dijadikan dasar mengenai ajaran soal baligh ini, terutama terkait penggunaan kata shalihin (QS. An Nur: 32) dan rusydan (QS. An Nisa’: 6) untuk menunjukkan kedewasaan seseorang.

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya :

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)

Dalam tafsir Al-Maraghi, kata wasshalihin dimaknai sebagai laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikahi dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsirkan wassalihin, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karna fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon istri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Secara logika umum, orang yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak atau dapat dikatakan, matang secara kejiwaan dan pemikiran. Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki syarat meskipun bersifat umum. Kedewasaan dan kematangan identik dengan usia seseorang. Kata Shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baligh sebuah pernikahan.[v]

Istilah lain yang dipakai untuk menentukkan tanda kedewasaan adalah rusydan. Penggunaan istilah ini terdapat dalam QS. An Nisa’: 6 seperti termaktub di bawah ini.

وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيبًا

 

Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’: 6)

Begitu pula dalam tafsir Al-Misbah, maka kata dasar rusydan adalah ketetapan dan kelurusan jalan. Dari sini, lahir kata rusyd yang bagi manusia adalah kemampuan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rusydan), yaitu apabila sesorang memahami baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedangkan balighu al-nikah ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya Al-Maraghi menginterpretasi bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid Ridha, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk menikah, yakni sampai ia bermimpi. Pada umur ini, sesorang telah bisa melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu, rusydan adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf serta mendatangkan kebaikan.[vi] Tak heran bila oleh karenanya para ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan berapa batasan umur baligh itu. Imamiyah, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak berbeda dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV).[vii]

Baca Juga:

Fokus 1: Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis?

Fokus 2: Memahami Soal Kedewasaan dari Beragam Perspektif

Fokus 3: Batas Dewasa dalam Berbagai Aturan Hukum Positif Kita

Fokus 5: Menentukan Batas Kedewasaan bagi Penentuan Usia Minimum untuk Menikah

 

[i] Lihat tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,40361-lang,id-c,syariah- t,Tiga+Tanda+Baligh-.phpx, dikutip 19 Maret 2015, 17 : 12 WIB.

[ii] Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh sebagaimana sumber kutipan di atas

[iii] Dikutip dari https://www.facebook.com/permalink.php?id=208017592593851&story_fbid=474775109229040

[iv] Lihat kembali tulisan berjudul Tiga Tanda Baligh.

[v] Lihat tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia, dikutip dari situs http://arliansyah3.blogspot.com/2014/01/mari-membaca.html, dalam tulisan yang diposting pada Kamis, 9 Januari 2014, diunduh pada Kamis, 15 Januari 2015, pk 11.00 WIB.

[vi] Lihatkembali  tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia.

[vii] Lihatkembali  tulisan berjudul  Kriteria Baligh Menurut Fuqaha dan Penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here