“Sampeyan iki lho, wis kaya pejabat wae. Mau ditelpon saja susahnya minta ampun,” begitu saya memulai obrolan. Lalu dibalaslah guyonan itu dengan gelak tawa yang keras sekali. Seseorang yang sedang berkomunikasi dengan saya melalui telpon, sebuah alat komunikasi yang dipatenkan oleh Antonio Santi Giuseppe Meucci adalah Lukman Hadi, pengajar pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) di MA. Al Ghozaliyah, Jombang, Jawa Timur.
Obrolan tersebut adalah titik akhir negosiasi saya dengannya, setelah beberapa kali membuat janji dan terus saja gagal. Saya terus meyakinkan pada Mas Lukman, begitu saya memanggilnya, bahwa ini adalah tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja dan bukan tentang hanya tentang dirinya an sich.
Relawan Remaja
Lelaki yang lahir di Jombang 30 Desember 1987 ini mulai tertarik pada isu kesehatan reproduksi semenjak berada di bangku kuliah. Tahun 2009 bersama teman-teman mahasiswa yang lain ia membentuk SADAR (Student Association of Drugs and HIV Care), sebuah komunitas mahasiswa yang memfokuskan aktivitasnya pada isu HIV/AIDS dan Narkoba. Sebelumnya, pada tahun 2008 ia juga aktif pada Palang Merah Indonesia (PMI). Merasa membutuhkan banyak informasi tentang HIV/AIDS dan Narkoba ia begabung dengan Jombang Care Centre (JCC) dengan mengikuti serangkaian serial pelatihan Relawan.
Namun, terlepas dari beberapa kegiatannya tersebut di atas, ada motivasi besar yang membuat Mas Lukman tetap bertahan dengan kiprahnya meskipun bidang akademis pendidikannya tidak selalu linear dengan kegiatan yang digelutinya sekarang. Pendidikan menengah atasnya diselesaikan pada Jurusan Mesin di SMK Negeri 3 Jombang, sedangkan jenjang strata satunya di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (STKIP) PGRI Jombang dengan konsentrasi pendidikan Bahasa Inggris. Kenyataan bahwa dirinya dan teman-teman sebayanya sewaktu remaja tidak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi adalah motivasi bagi dirinya. Ia melihat bagaimana minimnya informasi tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro) mengakibatkan beberapa teman sebayanya mengalami kekerasan dalam pacaran, hamil di luar nikah, hingga akhirnya harus menikah di usia muda. “Aku emoh, yen remaja saat ini mengalami apa yang dialami oleh generasiku saat itu. Jauh dari apa yang mereka butuhkan, yakni pendidikan kesehatan reproduksi,” tandasnya.
Selain motivasi di atas, satu hal yang membuatnya nyaman dalam isu kespro adalah dunia kerelawanan yang baginya serupa suara yang terus menerus memanggilnya pada lorong sunyi untuk berjalan menyusuri berbagai kemungkinan-kemungkinan hidup. Dan bungsu dari delapan bersaudara ini kian paham ampuhnya berbagi. Tak akan berkurang dan terus bertambah. Meski pada tahun 2012 ia harus sedikit memberi jarak pada dunia kerelawanan, karena jam mengajar sekolah yang penuh membuatnya harus berkompromi dan beradaptasi dengan waktu.
Bukan Tabu
”Masyarakat kita, terlanjur memberikan label negatif pada pendidikan kespro. Mereka menganggap bahwa belajar kespro adalah belajar tentang melakukan hubungan seksual, dan pendidikan kespro tidaklah perlu diajarkan, karena pada masanya nanti akan mengerti dengan sendirinya,” suara Mas Lukman terdengar lirih dari seberang. “Karena sangat tertutup, lalu para remaja justru mencari jalan lain. Melalui internet, percaya mitos dan akhirnya mereka asyik membicarakannya di bawah meja,” lanjutnya. Ketakutan-ketakutan masyarakat yang curiga bahwa pendidikan kespro akan mengajarkan hubungan seksual sebelum menikah membuat mereka semakin ketat menutup kran informasi. Padahal pendidikan kespro yang sepotong-sepotong dan tidak komprehensif akan membuat remaja semakin berani coba-coba. Pria yang mengantongi sertifikat trainer PMI ini bahagia bukan kepalang saat pertengahan tahun 2014 diminta untuk mengajar muatan lokal PKRS di MA. Al Ghazaliyah. “Saya sangat terharu, karena selama ini kita (relawan) yang selalu meyakinkan pada pihak sekolah bahwa pendidikan kespro penting. Dan sekarang, ada sekolah (pesantren lagi) yang dengan kesadarannya mengatakan bahwa pendidikan kespro merupakan pendidikan yang tak kalah penting dengan pelajaran lain,” ungkapnya bahagia.
Bagi Mas Lukman, pendidikan kespro tidak semata-mata hanya tentang pengetahuan yang bersifat text book, zaakelijk (kaku) dan berada pada wilayah kognitif. Pendidikan kesehatan reproduksi itu juga tentang soft skill remaja untuk menghadapi dunianya. Seperti kemampuan asertif untuk mengatakan apa yang mereka inginkan dengan jelas dan tidak menyakiti orang lain,kemampuan untuk menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan pasangan, kemampuan untuk mengambil keputusan untuk pacaran atau tidak, kemampuan untuk mengetahui perubahan diri baik fisik dan psikis karena pubertas, dan memahami akan resiko-resiko yang diakibatkan oleh bekerjanya alat reproduksi. Dan kemampuan-kemampuan itu mutlak harus dimiliki remaja saat ini, jika tidak mereka akan mencari dari sumber-sumber yang belum tentu menuntun mereka pada (informasi) ke(benar)an.
“Salah satu hal yang melegakan bagi saya, saat para santri MA Al Ghozaliyah ingin bertanya soal kespro dan seksualitas, mereka kini telah memiliki wadah yang tepat untuk membahasnya. Mereka tidak lagi mencari konten melalui media internet yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Mereka mulai menemukan referensi yang tepat untuk menanyakan rasa pensaran dan ketidak lengkapan informasi yang mereka dapatkan di masyarakat.”, demikian tutur Ustadz Lukman. Dan ia akan selalu siap mendampingi mereka untuk menanamkan nilai hifzhu al-nasl yang merupakan salah satu tujuan universal agama. {} Nurkhayati Aida
Similar Posts:
- Mengupayakan Pengintegrasian Kespro dan Seksualitas dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah
- Dania Roichana dan Mimpinya Soal Kespro Remaja
- Guru MA di Banyuwangi Dorong Kespro Masuk Raperda
- Membangun Pesantren dan Madrasah ‘Melek Kespro’
- Diskusi Kespro Remaja; Mahasiswa Diajak Berprilaku Sehat dan Bertanggungjawab