Maulida Raviola (Moli) lahir di Denpasar, 18 Maret 1989. Gadis berdarah Minang alumni Sosiologi FISIP UI ini, sejak Agustus 2015 menjabat sebagai Koordinator Pamflet, sebuah organisasi yang mengembangkan partisipasi kewargaan (civic engagement) di kalangan anak muda.  Sebelumnya Moli yang bergabung di Pamflet sejak  tahun 2013 ini menjabat sebagai Koordinator Divisi Gerakan Anak Muda di Pamflet selama 1 tahun. Penyuka buku-buku filsafat yang banyak bergiat di komunitas sosial budaya ini juga pernah pula menjadi  Koordinator Kajian Anak Muda selama 3 bulan di lembaga yang sama.   Gadis energik yang sering memfasilitasi pertemuan terkait isu Teknologi dan Digital untuk Anak Muda  ini,  juga pernah menjadi Kontributor untuk Majalah Change yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Berikut wawancara Swara Rahima di kantor Pamflet di daerah  Warung Buncit, Jakarata Selatan. 

Bentuk-bentuk teknologi apa yang dekat dengan remaja saat ini?

Kami baru saja menyelenggarakan penelitian tentang budaya layar (screen culture) ke kalangan siswa SMP dan SMA bersama Kemenkominfo. Selama ini kita mengenal bentuk-bentuk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti TV, radio, ponsel, komputer, gadget dan sebagainya. Tapi ternyata yang sekarang paling dominan di kalangan anak muda adalah ponsel. Kepada mereka kami tanya kapan nontonTV? mereka jawab sudah sangat jarang, hanya pada waktu-waktu tertentu bersama keluarga yang kesempatannya kini sudah sangat jarang karena waktu dihabiskan untuk belajar di sekolah yang waktunya dari pagi sampai sore, lalu dilanjutkan dengan les, lalu malamnya mereka hang-out. Jadi kalau dikatakan bahwa ponsel hanya sekedar perangkat untuk melengkapi hidup atau digunakan secara fungsional, ternyata tidak tepat juga, karena  pada mereka ponsel sudah lebih dari itu, sudah sangat inheren dengan hidup mereka.

Kami juga bertanya kepada mereka, “Kamu pakai hand-phone atau pakai komputer berapa jam sehari?” Mereka jawab, ”Nggak bisa ditentukan begitu Kak. Karena kapanpun kami perlu, ya kami pakai.” Dari situ kita bisa lihat bahwa remaja sudah begitu dekat dan inheren dengan ponsel dan komputer. Namun menurut saya penggunaannya itu masih terbatas di kalangan anak muda urban. Nah, kalau santri kan kebanyakan di daerah suburban, maka hal itu masih perlu kita kaji lagi. Akan tetapi dari pengalaman  road-show SEPERLIMA di wilayah kerja  Rahima, diketahui teman-teman santri juga sudah sangat dekat dengan internet yang aksesnya lewat ponsel maupun komputer.

 

Sebenarnya apa manfaat teknologi informasi bagi remaja?

Banyak sih, antara lain mencari informasi,  mencari bahan untuk membuat tugas,  hiburan, komunikasi, interaksi, termasuk citra tentang diri mereka: bagaimana mereka mengekspresikan diri mereka di ruang maya, berkomunikasi dengan teman-teman, pemaknaan-pemaknaan baru tentang relasi. Yang namanya pacaran, ketemuan hanya lewat chatting, lewat facebook, itu adalah relasi-relasi baru di kalangan anak muda yang tidak dipahami oleh generasi sebelumnya. Jadi di luar fungsi-fungsi yang jelas (untuk komunikasi, untuk SMS), ada banyak hal baru di kalangan anak muda terkait penggunaan teknologi informasi.

 

Ada pendapat yang mengatakan teknologi informasi itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi ia bermanfaat, namun di sisi lain ia bisa membawa petaka.  Bagaimana penjelaskan anda?

Internet itu  tools atau alat  yang bisa membawa dampak baik atau buruk tergantung orang yang menggunakannya. Karena ia hanya sebatas perangkat seperti pisau, meja, dan sebagainya yang penggunaannya betul betul tergantung pada orangnya. Nah, kalau kita melihat masalah yang muncul kemudian dinilai sebagai mudharat atau buruk, maka itu terkait dengan penggunaan teknologi. Oleh karena itu, penggunaan internet harus dilengkapi dengan pendidikan bagi anak muda baik di sekolah maupun di rumah. Karena ada juga masalah-masalah terkait dengan penggunaan teknologi informasi atau internet itu, misalnya  bullying, penipuan, terkait privasi (tentang apa yang seharusnya mereka tampilkan atau tidak mereka tampilkan).

Jadi, itu semua sangat tergantung pada pendidikan apa yang mereka terima di sekolah dan rumah. Kalau sekarang orang tua seringkali menyalahkan, kamu pakai internet buat browsing apa, dan macam-macam? Semestinya orang tua harus bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai itu pada anak-anak mereka. Sekolah juga harus bertanggung jawab, komunitas juga harus bertanggung jawab. Jadi menurut saya internet itu bebas nilai, dan soal baik-buruk itu sangat tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua institusi tadi.

 

Adakah anda memiliki data atau informasi seberapa banyak penggunaan perangkat teknologi informasi di kalangan remaja Indonesia?

Kalau data kami merujuk pada Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia dan Data Litbang Kompas bulan Juli 2015. Data itu menyebutkan bahwa penetrasi internet di Indonesia masih didominasi di kalangan muda, yang berusia di bawah 35 tahunan. Akan tetapi sebenarnya dari total populasi, hanya 30% an yang menggunakan internet. Angka total seluruh pengguna internet  di Indonesia itu paling rendah se ASEAN,  di bawah Thailand, Malaysia, apalagi di bawah Singapore yang digunakan hampir 80% penduduk. Padahal penduduk Indonesia paling banyak di antara negara-negara itu, tetapi mungkin karena tingkat kesejahteraan Indonesia lebih rendah di antara mereka.

Terkait penggunaan teknologi informasinya sendiri, hampir semua anak muda yang kami temui, banyak yang sudah secara aktif menggunakan internet lewat ponsel maupun komputer. Sebenarnya hal ini sangat unik, ketika kami tanyakan kepada mereka kenapa kamu lebih suka mendapatkan informasi dari internet dan HP daripada lewat TV dan radio?  Jawaban mereka karena sifat interaktifnya  HP/internet. Misalnya ada informasi apa yang mereka dapatkan dari TV, paling mereka hanya bisa marah-marah sendiri atau berkomentar dalam hati. Nah kalau di internet atau HP, mereka bisa langsung memberi reaksi, langsung comment. Remaja kan suka untuk selalu berkomunikasi dan terkoneksi.

Adakah dampak negatif penggunaan internet dan media sosial terhadap perilaku remaja?

Sekarang yang banyak kita lihat adalah maraknya kasus bullying. Anak muda belum banyak mendapatkan pendidikan tentang apa konsekuensinya bila mereka masuk atau post sesuatu ke media sosial. Mereka asal saja mem-post. sesuatu yang termasuk privacy ke media sosial , lalu  temannya mengejek atau apa, lalu itu di-share lagi kepada orang lain. Kadag mereka terjebaknya disitu. Jadi, anak muda seringkali tidak tahu atau sadar konsekuensi menggunakan media sosial sampai batasan-batasan terjadi bullying, data diperjualbelikan, dan lain-lain.Jadi banyak sekali resiko yang bisa menimpa anak muda.

Nah, kalau soal perilaku ya bullying tadi, sharing informasi sesuatu yang sebenarnya tidak perlu di-share ke ruang publik, lalu keterpaparan mereka pada content-content yang  kadang mereka malas untuk memverifikasi informasi. Misalnya ada berita, headline-nya apa, lalu mereka langsung mengambil kesimpulan dari headline itu. Termasuk malas memverifikasi informasi tentang sejarah.  Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu, Pamflet membuat acara tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965, lalu ada berita yang disajikan oleh BBC, kemudian ada yang berkomentar ”Dasar BBC nih, PKI!”. Seharusnya, mereka membaca dulu secara lengkapJangan hanya baca headline-nya saja terus langsung berkomentar. Nah, hal ini berpengaruh pada perilaku anak muda, industrinya, medianya, ini berpengaruh pada perilaku anak muda yang malas memverifikasi sesuatu.

 

 Jadi apakah karena sifat instan dari teknologi informasi ini yang dikhawatirkan banyak orang selama ini, bukan pada  kemungkinan mereka terpapar pada ’content’ pornografi ? 

Ya, karena sifat instant-nya ini, membuat mereka malas meng-cross check. Tetapi sebenarnya ada ancaman yang bisa menjerat remaja dari UU , jadi sebaiknya jangan sembarangan pasang status karena ada aturan yang mengancam mereka. Misalnya mereka mem-post tentang perilaku pejabat publik, melalui UU ITE tersebut ternyata mereka bisa ditangkap, bisa dipidana. Peraturannya itu juga tidak mendukung untuk berekspresi atau melaporkan. Nah, makanya remaja seringkali hanya bisa mengekspresikan hal-hal yang sifatnya personal. Jadi nggak bergerak ke arah yang lebih politis, mengkritisi sesuatu, atau memanfaatkannya lebih jauh untuk hal-hal yang semestinya.

 

Dengan demikian, apakah aturan itu membuat kesempatan anak muda untuk mengekspresikan apa yang ingin disampaikan menjadi terbatas?

Ya, betul. Menurut saya mereka lebih banyak diarahkan untuk menjadi konsumen pasif. Di kurikulum 2013 penggunaan teknologi informasi di semua pelajaran. Di sana hanya disebutkan bahwa internet adalah sumber pengetahuan, sumber ilmu, sumber informasi, dan sumber-sumber yang lain. Oleh karenanya, mereka hanya dibiasakan untuk menjadi konsumen yang pasif, hanya mengambil sesuatu. Mengambil, mengambil dan mengambil. Mereka tidak di-encourage untuk menulis memproduksi sesuatu. Misalnya ayo tulis sesuatu, ayo buat sesuatu.

Hal yang lain, terkait perbedaan kecepatan provider internetdalam men-download dan meng-upload sesuatu dokumen. Kami mengamati, kalau kita meng-upload suatu dokumen saja, waktunya lama banget. Tetapi kalau men-download pasti lebih cepat. Jadi kita dibiasakan untuk download, download, download. Jarang sekali kita menaruh sesuatu, posting sesuatu dokumen. Karena kita dibiasakan menjadi konsumen yang pasif,  maka hal ini juga berpengaruh ke perilaku.

 

Seberapa jauh ‘content’ teknologi informasi ini dapat menyajikan informasi yang sehat dan bertanggungjawab terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja?

Pamflet sempat terperangah (amaze), bahwa ternyata banyak sekali informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang sangat baik di internet. Saya sendiri pernah menemukan satu situs website yang menyajikan tentang peta seksualitas. Selama ini kita tahu ada gambar gender bridge, tentang laki-laki dan perempuan, orientasi seksual, dan identitas. Tetapi di situs ini, dia membuat peta tentang relasi, misalnya ini ada orang pacaran,  ini ada juga orang poly-amor (orang yang pacarnya banyak), ada juga yang swinger (suka berganti pasangan). Nah, ternyata itu ada, ternyata ada definisi-definisi tentang pola relasi diluar yang selama ini kita  tahu. Menurut saya itu sebuah pengetahuan yang sangat baik.

Namun masalahnya di Indonesia ada peraturan tentang Internet Positif, dari Menkominfo (kebijakan dibuat di jamannya pak Tifatul Sembiring), tentang aturan pemblokiran content untuk key-words seperti seks, LGBT  (yang ini kalau tidak salah  ada hubungannya dengan UU Pornografi). Jadi banyak situs yang sempat diblokir, seperti situsnya Arus Pelangi, situs Ibu Menyusui juga sempat diblokir karena ada gambar payudara perempuan.

Kemarin saya coba mau buka lagi  tentang peta seksualitas, tetapi masih diblokir oleh Internet Positifnya Kominfo. Padahal kalau tahu triknya sangat gambang mengaksesnya. Saya sudah mencobanya, bisa dan legal. Jadi sebenarnya nggak berpengaruh juga membatasi informasi seperti itu. Nah, di internet itu ada banyak sekali informasi di luar kategori  pornografi, di luar content film dan video yang sebenarnya bisa menjadi sumber informasi yang menarik untuk dipelajari.

 

Apa dampak aturan semacam itu pada aksesibilitas remaja terhadap informasi yang benar dan komprehensif tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi ?

Menurut saya, selain remaja menjadi semakin terbatas referensinya, mereka juga tetap berada dalam paradigma yang menganggap ”wah, berarti ngomongin seks itu nggak boleh ya, itu terlarang, ya”. Oleh negara saja itu dilarang, sampai diblokir.

Sebenarnya paradigma censorship ini tidak hanya di internet,  tetapi di semua teknologi informasi  hal ini masuk. Di TV misalnya, sekarang (dan dulu juga) misalnya ada gambar belahan dada, itu disensor dengan mengaburkan daerah itu. Ada salah seorang teman saya bercerita, dia pernah lihat ada gambar kartun ikan pakai bra, itu juga  disensor. Kok gambar seperti itu saja disensor, sementara content-content lainnya yang mengandung  unsur radikalisme atau fundamentalisme itu malah dibiarkan dan terus menyebar. Content yang bebas dan kritis malah  tidak bisa dibuka.

 

Apa saja yang telah dikerjakan oleh Pamflet terkait penggunaan teknologi informasi dan penyampaian informasi  tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan remaja?

Kami membuat satu situs www.seperlima.com untuk memberikan informasi kepada teman-teman remaja, terutama terkait dengan program SEPERLIMA mengenai informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Di situs itu ditaruh informasi tentang kegiatan-kegiatan yang kami lakukan sebagai sebuah gugus kerja SEPERLIMA. Berita-beritanya  selain dibuat oleh Pamflet juga ditulis oleh Rahima dan Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI. Namun sifat situs itu  masih belum interaktif.

Selain itu banyak juga teman-teman komunitas dan organisasi-organisasi lain yang bekerjasama dengan kami. Jadi di Pamflet itu ada website, ada sosial media menggunakan twitter,  facebook, kita juga coba jajagi instagram, line, jadi bisa bikin group atau chat pribadi untuk konsultasi. Yang menarik juga profil penggunanya, nggak mesti di urban, di daerah-daerah di luar kota besar juga seperti di Indramayu mereka suka menggunakan facebook. Jadi mereka bisa kirim message facebook.

Cara yang lain adalah dengan mengadakan dialog langsung dengan remaja. Misalnya, saat kami di pesantren di Banyuwangi. Saat di forum pertemuan yang dihadiri Ustadzah, Bu Nyai, dan kakak-kakak seniornya mereka malu-malu untuk bertanya.  Namun, setelah bubaran ada yang tanya. Pertanyaan mereka tidak selalu tentang seksualitas. Sebagai contoh,”Kak, saya ini santri, lho. Tapi saya pengen tahu bagaimana caranya agar tetap jadi santri yang funky, yang gaul dan bisa berinteraksi dengan asyik. Itu gimana, sih?” Jadi tidak selalu mengenai seksualitas, tapi terkait dengan image dan citra diri mereka, misalnya tentang tubuh, tentang diri. Dengan begitu kami bisa melihat bahwa oh, ternyata, teman-teman santri ini butuh tempat curhat dan tempat ngobrol, selain di lingkungan santri mereka.

 

Terkait dengan media yang lain seperti Path, Instagram, informasi apa saja yang disajikan? 

Kalau lewat instagram itu kan sifatnya foto. Saya akan coba tunjukkan saja beberapa, ya. Misalnya kami upload gambar (menunjukkan gambar Malala Yousafzai), lalu diberi tulisan, ‘tahu nggak  anak perempuan ini siapa? Apa yang dia perjuangkan?’ lalu kami kasih data, hasil riset diolah dalam satu kalimat pada foto itu. Lalu di antara mereka ada yang jawab,  anak ini bernama Malala, dia memperjuangkan hak anak perempuan di negerinya untuk sekolah.

Kami juga pernah menerbitkan buku saku tentang Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Judulnya Semua Yang Mau Kamu Ubah, Tapi Susah. Ini salah satu contoh gambarnya, misalnya mengenai relasi, bagaimana berkomunikasi dengan orang tua. Minta maaf kalau punya salah. Kami tunjukkan buku yang ini. Jadi informasi-informasi yang diberikan kepada remaja berupa informasi yang pendek-pendek, dimana mereka membacanya tidk membutuhkan waktu lama.

 

Bagaimana respon remaja terkait upaya yang dilakukan oleh Pamflet ini ?

Responnya macam-macam. Misalnya ketika diberi pertanyaan, mereka langsung menjawab. Misalnya pertanyaan, siapa yang percaya bahwa minum soda itu tidak boleh di saat kita mengalami menstruasi? Lalu ada yang langsung menjawab. Sebenarnya sangat baik sekali respon teman-teman. Namun yang namanya media sosial, berada di ranah yang sangat dinamis. Ia berkembang terus. Dulu ada facebook, twitter, ada path, lalu ada banyak lagi. Audiens-nya cepat sekali berpindah. Kami saja baru tahu bahwa kalau di kelompok urban, twitter itu sudah tidak menarik lagi. Saat kami tanya, kenapa kamu nggak main twitter lagi? Mereka bilang, ”Nggak, ah. Banyak banget isu politiknya di situ.” Mereka  pindah ke Instagram. Kami harus selalu menyesuaikan lagi, mengumpulkan teman-temannya lagi. Sebenarnya respon mereka bagus, tapi karakteristik mereka membuat kita harus pintar-pintar untuk menyesuaikan diri dan membuat strategi.

 

Apakah Pamflet juga melakukan ’capacity building’ pada remaja, terkait  penggunaan berbagai media informasi ini? 

Ya. Misalnya setiap kali kami membuat pelatihan, selalu ada sesi untuk belajar tentang advokasi. Kami biasa menyebut Kampanye 2.0. Karena selama ini yang mereka tahu tentang advokasi adalah Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), padahal ada  juga yang lain. Kampanye 2.0 ini adalah kampanye dengan menggunakan media digital, ada versi 2.0. Misalnya advokasi dengan menggunakan twitter. Misalnya kampanye Menolak Lupa, dimulai dengan menggunakan twitter. Kampanye Save KPK juga dimulai dari twitter.  Kamu bisa bikin sesuatu yang sesuai di daerah kamu. Mereka juga diajari secara teknis tentang bagaimana cara menggunakannya.

Terakhir, tahun lalu kami mengadakan pelatihan bagi remaja di Jakarta dan Indramayu. Di hari terakhir kami mengundang change.org yang menginisiasi petisi online. Mereka bilang, ternyata kita baru tahu ada yang beginian. Maka,  di hari terakhir pelatihan mereka bikin petisi. Tidak harus terkait dengan seksualitas, tetapi bisa juga terkait dengan anak muda. Akhirnya mereka membuat kampanye tentang perlunya mengurangi jam belajar. Sebab, kalau mereka masuk sekolah jam 06.30. mereka harus bangun jam 04.00, lalu berangkat jam 05.00 karena di jalan macet. Di sekolah sampai jam 15.00, lalu mereka les, sehingga pulang ke rumah lagi sudah pukul. 19.00.  Mereka menulis petisinya ke Mendikbud waktu itu (Muhammad Nuh), dan mengatakan ”Pak, rumah kami bukan rumah singgah, lho. Kami juga butuh istirahat.” Jadi mereka menomunikasikan masalah-masalah mereka dengan membuat petisi dan menyampaikannya lewat media sosial.

 

Apa saja inisiatif yang telah dilakukan remaja untuk memanfaatkan teknologi informasi ini? Adakah contoh-contohnya?

Pamflet banyak bertemu dengan kelompok-kelompok yang melakukan advokasi atau memperkuat komunitas lain, misalnya, Indo Relawan. Teman teman disitu membuat, sebuah situs website yang idenya sama seperti facebook. Indo Relawan berangkat dari masalah dimana banyak organisasi atau banyak komunitas yang membutuh banyak relawan tetapi susah mengumpulkannya. Sementara di sisi lain banyak orang dan anak muda yang ingin menjadi relawan, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Nah akhirnya mereka membuat website yang mempertemukan itu. Organisasi yang butuh relawan, dan relawan yang butuh organisasi. Caranya gampang. Misalnya kita buka situs Indo Relawan, nanti akan ada kegiatan-kegiatannya. Misalnya, ini kegiatan Lomba Mewarnai bersama 1000 Anak TK, atau kegiatan Bersih-bersih Ciliwung, atau Bersih-bersih Pasar Santa. Kamu daftar, log in,  kamu sukanya isu apa. Pendidikan-kah, lingkungan-kah, seni budaya-kah. Nah, kalau ada info terbaru yang butuh relawan, mereka bisa tinggal masuk ke email.

Ada juga situs Kita Bisa, kitabisa.co.id. Yakni suatu situs yang bias digunakan untuk mengumpulkan dana untuk membuat sebuah project. Jadi ini seperti situs donasi. Jadi setiap orang bisa buat kegiatan atau project di situ. Misalnya ‘saya butuh dana 1 juta rupiah untuk perpustakaan umum  di RT ini, RW ini desa ini’.  Nanti mereka promosikan lewat sosial media, lewat email. Pengelola Kitabisa bercerita, bahwa kadang-kadang melebihi target dana yang diharapkan.

Sementara Change membuat petisi dengan cara mengumpulkan tanda tangan. Misalnya soal kabut asap. Mereka kampanye “Pak Jokowi, ayo dong datang ke Palembang untuk melihat kabut asap.” Di Change ini, ada banyak anak muda yang menjadi pembuat petisinya. Seperti beberapa waktu yang lalu, ada teman dari Pamflet yang membuat petisi tentang kandungan zat-zat kimia di pembalut wanita yang beritanya heboh itu. Lalu mereka minta agar produk tersebut ditarik dari peredaran.

Nah, selama ini kita kan tidak tahu ada channel-channel untuk melakukan berbagai upaya itu. Ternyata itu banyak, dan anak muda yang membuatnya.

 

Apakah yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendampingi putra-putri mereka dalam mengakses informasi yang sehat dan bertanggungjawab di era kemajuan teknologi ini?

Bahwa mengarahkan anak untuk menggunakan dan mengakses informasi  harus dibekali dengan nilai-nilai terlebih dulu. Sebenarnya yang harus dibangun itu adalah kebiasaan berdialog antara orang tua dan anak. Jadi jangan ditutup kemungkinan itu. Misalnya,“Ibu, kenapa saya nggak boleh buka yang ini?” Nanti jawabannya jangan hanya,“Pokoknya, nggak boleh.” Atau,Nggak boleh. Nanti saja bukanya kalau sudah besar.” Tetapi berusaha membuka dialog. Kemarin kami ketemu anak SMP dan SMA, dan mereka curhat kepada kami,”Aku malas mau belajar, soalnya Ibuku nggak ngebolehin aku.” Atau ada yang bercerita , “Iya, nih. Kalau aku lagi buka internet, ibuku suka di belakangku.” Atau mereka biasanya hanya diam dan  menanyakan,”Kamu buka apa? Kamu mencari apa?” Orang tua sebaiknya juga jangan hanya bisa menyalahkan anak,”Kamu nih, main gadget melulu” atau “Main HP melulu, sih. Ngapain chatting melulu.” Orang tua  nggak bisa terus kolot, karena ini merupakan hal yang tak terelakkan, karena semua aspek kehidupan anak mereka ada di situ. Orang tua harus paham bahwa pandangan mereka terhadap benda dan pandangan anak-anak mereka terhadap benda sudah berbeda.

 

Upaya apa yang bisa dilakukan oleh para guru di sekolah maupun dunia pendidikan?

Waktu pelajaran TIK di sekolah dihapuskan, sempat mengundang perdebatan. Mereka sebenarnya tidak bilang dihapuskan, tetapi penggunaannya diintegrasikan pada mata pelajaran lain, sehingga tidak perlu ada pelajaran khusus TIK. Namun, menurut saya masih tetap perlu ada pelajaran TIK di sekolah. Tapi content yang diajarkan jangan hanya ini caranya menyalakan komputer, ini cara membuka Microsoft Word. Tetapi lebih pada etika berinternet, apa resiko dan dampaknya bila menggunakan media sosial, apa makna privacy, apa makna publik. Sekarang karena penggunaan internet ini dan orang masuk tanpa bekal apa-apa, makanya soal antara privat dan publik ini berbaur.

Di TIK juga penting ada elemen Hak Asasi Manusia (HAM), jadi bukan hanya terkait hal teknis seperti cara menyalakan komputer, caranya pakai internet, dll. Di dalam diskusi tingkat PBB beberapa waktu lalu hampir dimasukkan bahwa hak atas internet adalah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Jadi sebenarnya sayang sekali jika di sekolah tidak ada pelajaran TIK. Meskipun kalaupun ada, perlu ada revisi total apa-apa yang diajarkan di situ. Bahkan Menteri Kominfo sekarang (Rudyantara) sempat menyatakan bahwa kemampuan berbahasa programming ini nantinya menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak. Sebenarnya, visinya bagus, karena menginginkan anak muda bisa juga menjadi produsen. Tapi kemudian timbul perdebatan, perlu nggak mereka belajar programming? Kalau dia bukan anak komputer apakah perlu belajar seperti itu. Namun, sekai lagi visinya bagus untuk mengubah kemampuan anak muda dari sekedar konsumen menjadi produsen. Kalau bisa, koding bahasa program yang sederhana bisa diajarkan di sekolah bersama dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.

 

Upaya apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin aksesibilitas dan pemanfaaan teknologi di kalangan anak muda ?

Yang pasti adalah infrastrukturnya dibangun secara merata. Meskipun susah berharap infrastruktur internet dibangun secara merata, mengingat infrastruktur pendidikan saja tidak pernah menjadi prioritas dibangun secara merata di daerah-daerah. Oleh karenanya, pangsanya diambil oleh industri atau market melalui e-commerce. Mereka sekarang juga sudah merambah ke pembangunan infrastruktur, karena kalau infrastrukturnya dibangun dan menambah secara merata akan mendorong masyarakat untuk belanja online. Nah, pemerintah tidak punya visi yang sama tentang hal itu. Jadi ranah-ranah untuk membangun infrastruktur itu diambil oleh provider, e-commerce atau market.

Padahal itu yang paling penting, kalau pemerintah sudah membangun infrastrukturnya internetnya, terutama hingga ke daerah-daerah terpencil, baru bisa memastikan  masyarakat bisa mengakses. Sekarang misalnya, pemerintah membuat website hingga ke tingkat desa. Ternyata nggak bisa diakses. Orang desa masih pakai SMS, masih pakai radio. Kalau pemerintah ingin ada transparansi, budget itu dimasukkan ke website desa, akan tetapi buat siapa? Karena pemerintah tidak membangun infrastuktur yang sama sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.

 

Apa dampaknya kemudian di masyarakat?

Akhirnya yang lebih banyak berinsiatif adalah komunitas-komunitas di luar pemerintah. Di Banyumas yang aktif adalah komunitas Blogger-nya, di Salatiga masyarakat membangun infrastruktur internet sendiri. Jadi begitulah. Ranah-ranah itu jadinya banyak yang diambil oleh market.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here