Sweet Seventeen! Itu adalah dua kata yang manis yang seringkali ditunggu-tunggu para remaja untuk menegaskan identitas mereka, tepat di saat mereka berusia 17 tahun. Mengapa? Karena pada saat mereka berusia 17 tahun tersebut ada beragam momen spesial yang biasa terjadi. Mereka bisa mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), sudah boleh membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), esok harinya sudah bisa pergi ke bioskop atau menonton film yang ada banderolnya ‘untuk 17 tahun keatas’, dan biasanya mulai berani menyatakan kalau punya someone special. Mereka juga sudah boleh ikut Pemilu, dalam arti berhak ikut memberikan suara atau  nyoblos di Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Artinya angka 17 tahun bagi mereka, dipandang sebagai ‘angka keramat’ untuk menunjukkan eksistensi bahwa mereka sudah dewasa.

Tapi eits,… nanti dulu. Benarkah mereka sudah layak disebut dewasa? UU No. 23 tahun  2003 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” dimana batas umur 18 tahun ini sama persis dengan rumusan Konvensi Hak Anak.[i] Artinya sebenarnya seseorang yang masih berusia 17 tahun, tetaplah dikategorikan sebagai anak.

Namun, pada kenyataannya di dalam masyarakat masih saja dijumpai mereka yang masih dikatagorikan dalam usia anak telah menikah. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Anis Fuadz menyatakan bahwa di daerah tersebut ratusan anak, terutama perempuan, sudah menikah sebelum usianya mencapai 16 tahun. ”Bahkan ada beberapa anak yang menikah di bawah umur 13 tahun,”’ terang Anis. Anis menyebutkan, jumlah perkara pernikahan di bawah umur tahun 2014 mencapai lebih dari 100 anak. Pada tahun sebelumnya, jumlah anak yang menikah di bawah umur malah berkisar antara 250-300 anak.[ii]

Fakta tersebut tentu tidak sesuai dengan aturan yang ada pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan batas usia perkawinan untuk calon pengantin perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki 19 tahun; yang artinya masih membuka ruang bagi seorang calon mempelai perempuan untuk menikah saat dia masih dikategorikan dalam usia anak. Di sisi lain, banyak ABG yang meskipun usianya masih terkategori sebagai anak, namun sanggup melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh orang dewasa dan membahayakan nyawa manusia; seperti terlibat dalam pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang belakangan lebih dikenal dengan istilah begal motor di berbagai tempat atau terlibat dalam kejahatan trafficking seperti yang terjadi di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh Mon, ABG 14 tahun yang tega memperdaya dan menjual 32 orang teman sebayanya sendiri kepada laki-laki dewasa.[iii]

Sanggupkah anak-anak ini hidup dalam ikatan pernikahan yang meniscayakan tanggung jawab sebagai suami istri bahkan kelak sebagai orang tua, jika pernikahan yang mereka lakukan karena terpaksa atau dipaksa oleh keadaan (telanjur hamil atau dipaksa oleh orang tua untuk menutup aib keluarga atau setidaknya kekhawatiran bahwa mereka akan berzina; atau karena faktor budaya seperti ketakutan anaknya akan dianggap sebagai perawan tua maupun faktor ekonomi untuk memindahkan beban tanggung jawab dari orang tua ke pundak suaminya) dan bukan keinginan mereka? Bisakah mereka lepas tangan begitu saja setelah melakukan tindakan menghilangkan nyawa orang saat membegal motornya? Mereka anak-anak yang naïf. Lalu apakah orang dewasa yang harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan mereka? Apakah tanda kedewasaan mereka cukup diukur dengan baligh yang selama ini hanya dimaknai sebatas ciri perubahan fisik semisal menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki semata? Kita patut untuk secara dalam merenungkannya.

Baca Juga

Fokus 1: Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis?

Fokus 2: Memahami Soal Kedewasaan dari Beragam Perspektif

Fokus 3: Batas Dewasa dalam Berbagai Aturan Hukum Positif Kita

Fokus 4: Dewasa dalam Beragam Perspektif Wacana Keislaman

Fokus 5: Menentukan Batas Kedewasaan bagi Penentuan Usia Minimum untuk Menikah

 

Catatan Belakang

[i]  Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak.  Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990.

[ii] Lihat dalam tulisan Lilis Sri Handayani,  Duh, Ratusan Anak di Indramayu Menikah di Bawah Umur (1), yang diposting hari Selasa, 19 Agustus 2014, 06:19 WIB, dan diunduh pada Kamis, 19 Maret 2015, 14:29 WIB dari situs Republika Online di http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/08/19/naizg9-duh-ratusan-anak-di-indramayu-menikah-di-bawah-umur-1

[iii] Lihat artikel  Cara ABG 14 Tahun Jual Keperawanan 32 Teman Sebaya, sebagaimana dikutip dari situs  http://www.tempo.co/read/news/2015/02/13/058642353/Cara-ABG-14-Tahun-Jual-Keperawanan-32-Teman-Sebaya

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here