Saat ini, kesungguhan kita untuk menetapkan batas kedewasaan dalam hukum positif (aturan perundang-undangan) yang bersifat nasional tengah diuji. Mengingat, selama ini kita masih punya persoalan dengan adanya ketentuan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih mentolerir pernikahan anak, dengan menyebutkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Sungguh, usia 16 tahun adalah usia yang terlalu muda untuk menjalani komitmen dalam pernikahan di samping secara fisik masih rentan mengalami gangguan kesehatan reproduksi akibat potensi kehamilan yang terjadi di usia yang begitu muda.
Kita tahu bahwa kata baligh seringkali disandingkan dengan kata ‘aqil yang artinya untuk menikah, seseorang tidak hanya perlu kesiapan fisik dalam arti sudah punya hasrat seksual dan bisa bereproduksi saja, namun juga perlu kematangan psikis/mental, sosial, dan ekonomi untuk selanjutnya dapat membina rumah tangga bersama pasangan maupun menjadi orang tua yang bekerjasama mendidik putra-putrinya.
Batasan usia minimum untuk menikah di berbagai negara muslim juga tidak sama, namun perubahan yang terjadi di beberapa negara, mereka sudah tak lagi memberikan ruang bagi terjadinya pernikahan anak. Sebut saja Irak dan Somalia usia minimum perkawinan telah ditetapkan sesuai dengan batasan dalam Konvensi Perlindungan Anak dimana tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yakni minimal berusia 18 tahun Di Bangladesh juga telah sesuai Konvensi Hak Anak namun masih membedakan usia minimum perkawinan bagi laki-laki (21 tahun) dan perempuan (18 tahun); sementara di Aljazair menetapkan batas usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun baik bagi calon mempelai laki-laki maupun perempuan.[i]
Beberapa waktu yang lalu, Ibu Zumrotin dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dengan didampingi 2 kuasa hukumnya yaitu Rita Serena Kolibonso SH. LLM dan Tubagus Haryo Karbyanto SH mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan Pengujian Uji Materiil ini adalah terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pemohon mengajukan agar frasa 16 tahun dipahami menjadi 18 tahun. Pembatasan dimaksudkan untuk menghindari praktek menikah dibawah usia 16 tahun. Dalam JR Perkara No 30/PUU-XII/2014: Pengujian UU No 1/1974 tentang Perkawinan terhadap UUD RI 1945, Rahima bersama beberapa lembaga lain yang concern pada persoalan hak atas kesehatan reproduksi juga mengajukan permohonan sebagai pihak terkait. [ii]
Beberapa kali persidangan telah digelar, namun MK belum menetapkan putusannya , karena terlebih dahulu hendak menunggu statemen akhir dari Pemerintah (yang disampaikan oleh Kemenhukham dan persetujuan dari Kemenag). Kini kita tinggal menunggu, apakah nantinya MK sanggup menetapkan putusan yang seadil-adilnya demi menjawab kebutuhan untuk menghapuskan praktik pernikahan anak dan menjawab tantangan kontemporer untuk bisa memberikan hak anak dan menetapkan segala sesuatu yang terbaik bagi kepentingan anak (the best interest of the child). Sungguh, masa depan generasi kita tengah diuji, melalui keputusan apakah hari ini kita sanggup mempersiapkan anak-anak kita menjadi dewasa sehingga sanggup berumah tangga dan melahirkan generasi yang sehat dan sejahtera di masa depan. Mudah-mudahan, kita berani berikhtiar untuk mencapai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Insyaallah!{} AD.Kusumaningtyas
Baca Juga:
Fokus 1: Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis?
Fokus 2: Memahami Soal Kedewasaan dari Beragam Perspektif
Fokus 3: Batas Dewasa dalam Berbagai Aturan Hukum Positif Kita
Fokus 4: Dewasa dalam Beragam Perspektif Wacana Keislaman
[i] Lihat dalam Report to be written pursuant to HRC Resolution A/HRC/RES/24/23 on child, early and forced marriage, Musawah Global, 13 Desember 2013
[ii] Lihat pada presentasi power poin (PPT) AD. Eridani, Advokasi Litigasi ke MK : “Mengizinkan Perkawinan Anak adalah Inkonstitusional”