Satu senja di akhir bulan Januari yang basah ditemani dengan suara qari’ yang mengalun dari pengeras suara masjid, pada serambi petakan kamar yang berjajar rapi saya menunggu seorang santri yang tengah menyelesaikan ritual hariannya. Janji bertemu itu memang baru kami sepakati sore itu. Saat gerimis yang membasahi tanah hingga mengeluarkan aroma menenangkan.

Satu remaja putri keluar dari kamar mengenakan baju warna merah bata sembari memekarkan senyum, ia kemudian menyapa saya dengan sebuah jabatan.  Remaja putri tersebut adalah Dania Roichana – santri dari pesantren Darul Aitam Darussalam, Banyuwangi – atau yang akrab disapa Dania, seseorang yang telah membuat janji dengan saya. Dania adalah satu dari sekian puluh santri di Jawa Timur (Jombang, Lamongan, Kediri, Banyuwangi) yang menerima manfaat secara langsung pada program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRS). Selesai dengan saling menanyakan kabar dan sedikit basa-basi, obrolan kami mengalir pada aktivitas yang kini ditekuni oleh Dania.

Bertemu Kesehatan Reproduksi

Remaja yang terlahir dari pasangan Sholahuddin dan Alfiyah ini sedari awal memang sudah aktif di beberapa organisasi sekolah. Pada tahun 2012/2013 atau tepatnya pada saat kelas satu Madrasah Aliyah (MA) dia diamanati menjadi ketua Palang Merah Remaja (PMR). Saat menginjak kelas dua MA atau satu tahun berikutnya ia didapuk  menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di sela-sela kesibukannya berorganisasi itu, suatu sore seorang senior mengajaknya untuk ikut bergabung dalam sebuah pelatihan tentang kesehatan reproduksi yang diselenggarakan oleh Rahima.

Tertarik dengan ajakan seniornya itu, akhirnya Dania mulai mengenal apa yang disebut ‘Kesehatan Reproduksi Remaja’. Sesi pertama saat mengikuti pelatihan ia sempat merasa bosan. “Lho,  kok cuman ngene iki,” ujarnya  dengan logat Jawa Timuran yang kental seraya terkekeh saat  ia menuturkan reaksi pertamanya. Namun setelah mengikuti dengan seksama sesi-sesi selanjutnya ia merasa bahwa inilah informasi yang remaja butuhkan.

Pada pelatihan selama tiga hari itu, Dania meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa  remaja lain juga harus mendapatkan apa yang ia peroleh. Oleh karenanya, sepulang dari pelatihan, Dania beserta dengan 3 orang teman yang juga mengikuti pelatihan mendiskusikan apa yang harus mereka lakukan untuk menyebarkan informasi yang telah mereka dapatkan. Mereka berkonsultasi dengan dua orang ustadz pembimbing (yang juga ikut dalam pelatihan serupa untuk para guru) untuk mendikusikan materi apa saja yang harus mereka bagi dengan waktu yang sangat terbatas. Sesuai kesepakatan empat santri itu kemudian mendesain sebuah pelatihan mini. Mereka kumpulkan delegasi kelas-kelas untuk mengikuti pelatihan kesehatan reproduksi remaja yang mereka selenggarakan.

Mimesis

Keempat remaja itu patungan untuk membiayai jalannya mini pelatihan, mereka mengumpulkan sebagian uang perdiem yang mereka dapat saat mengikuti pelatihan Rahima. “Ya kan pelatihannya sehari,. Kasihan kalau gak ada minum dan snacknya”  begitu Dania menjelaskan. Tidak hanya itu saja, keempat santri itu juga membuat buku catatan kecil yang mereka bagikan pada peserta mini pelatihan. Selepas mini pelatihan itu, kedatangan empat sekawan itu selalu ditunggu para siswa teman sebaya mereka apabila mereka usai mengikuti seri pelatihan kesehatan reproduksi yang diselengarakan Rahima.

Sembari menerawang, Dania lagi-lagi meyakinkan pada saya bahwa remaja lain selain dirinya harus juga mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yang benar dan komprehensif “Remaja tidak boleh hidup berkelindan dalam mitos-mitos yang mengantarkan mereka pada perbuatan yang merugikan masa depan”. Dania memang bukan Don Quixote tokoh ksatria ciptaan Miguel de Cervantes (1547-1616) yang membuat sebuah mimesis (proses peniruan) atas apa yang ia dapatkan. Dania menyadari bahwa informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi bagi remaja adalah penting. Tidak hanya selesai pada persoalan kesehatan reproduksi saja, bagi Dania yang paling penting adalah soal remaja itu sendiri. Bahwa remaja adalah perkara menyambung masa depan yang seringkali terabaikan.

Dan sekarang, bermula dari keempat santri tersebut, PP. Darul Aitam Darussalam memiliki sebuah wadah untuk informasi kesehatan reproduksi remaja bernama PIK R As-Salam, tentu saja adanya PIK R As-Salam adalah kerja keras dari berbagai pihak. Yang membahagiakan adalah PIK R As-Salam saat ini mampu menghidupi kegiatannya sendiri, meski beda skala dan bentuk PIK R As-Salam serupa institusi kokoh yang memiliki badan usaha; mandiri secara ekonomi melalui koperasi. Saya sebagai manusia yang ditakdirkan lahir terlebih dulu dibandingkan dengan Dania dan teman-temannya itu merasa kerdil sekali, satu-satunya hal yang bisa saya lakukan pada saat mendengar cerita itu hanyalah memohon pada Tuhan untuk tetap menjaga kemurnian semangat Dania dan teman-temannya.

Mimpi-Mimpi

            Remaja yang lahir di Pekalongan pada 18 April 1997 awalnya bercita-cita menjadi pramugari, setelah beranjak remaja cita-cita itu berubah. Ia membayangkan dirinya sendiri menjadi seorang psikolog, seseorang yang diyakininya mampu dan mau mendengarkan permasalahan yang dialami oleh remaja. Cita-cita ini terdorong kuat berkat buku bacaan kesayangan, guru idola, dan remaja itu sendiri, yang tak lain adalah dirinya.

Dania dengan mata berbinar menatap saya seraya berkata “Mimpi saya adalah memeluk remaja. Mungkin melalui ilmu Psikologi nantinya saya bisa menemani mereka lewat bimbingan konseling. Remaja tidak boleh hanya dianggap sebelah mata. Remaja bukanlah masalah”. {} Nurkhayati Aida

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here