Judul                                  : Gus Dur di Mata Perempuan

Editor                                 : Ala’i Nadjib

Penerbit                              : Gading, Yogyakarta

Tahun terbit                         : 2015

Jumlah halaman                   : xxx + 296  halaman

Ukuran                                  : 24,5 x 23 cm

Buku “ Gus Dur di Mata Perempuan” ini merupakan  antologi atau kumpulan tulisan tentang pandangan dan pengalaman perempuan-perempuan terhadap sosok Gus Dur dan perjuangannya. Dalam sambutannya di buku ini, Ketua Umum PP Fatayat NU menyatakan bahwa terbitnya buku tersebut sebagai salah satu ikhtiar Fatayat NU untuk senantiasa mengkampanyekan gagasan feminisme yang berakar pada khazanah pemikiran dan tradisi keindonesiaan.

Buku ini berbeda dengan banyak buku lain yang menyoroti sosok Gus Dur. Berbagai buku telah banyak membahas Gus Dur sebagai ulama, negarawan, tokoh pluralis, budayawan, pembela kaum minoritas. Namun, belum banyak buku yang membahas pemikiran Gus Dur tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.

Ditulis secara rapi, lugas dan gamblang dari pengalaman keluarga beliau, kerabat, sahabat, dan mereka yang banyak berkaitan langsung dengan Gus Dur yang mana mereka berasal dari kalangan berbeda-beda. Dari setiap detail kisah yang dipaparkan kita bisa melihat bahwa Gus Dur adalah seorang pembela hak asasi perempuan yang sangat aktif. Bahkan Beliau sering bertindak sebagai wali bagi perempuan-perempuan Indonesia yang masih terdiskriminasi. Beliau selalu berusaha mengimplementasikan pemikiran tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan melalui tindakan konkrit baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Di antara ulasan menarik tentang Gus Dur terungkap dalam tulisan Ala’i Nadjib tentang bagaimana beliau sejak dini membangun peran kemitraan dan kesetaraan dalam keluarga. Pola pengasuhan parenting yang beliau terapkan, dimana ayah dan ibu merawat dan mengasuh anak secara bersama-sama di tengah-tengah doktrin pola pengasuhan anak dengan mothering (pengasuhan anak dipandang sebagai tanggung jawab ibu semata) sementara bapak adalah pekerja publik. Pasangan Gus Dur dan Shinta Nuriyah, juga tak segan saling bekerja sama melakukan pekerjaan rumah tangga.

Perhatian Gus Dur begitu besar dalam hal kesehatan reproduksi, dan ini terefleksikan dari pengalaman dalam keluarga beliau sebagaimana penuturan sang istri, Shinta Nuriyah. Sejak masa kehamilannya yang pertama hingga kelahiran putri-putri mereka pada saat mereka masih mengajar dan tinggal pesantren. Gus Dur selalu menyempatkan untuk mengantar Ibu Shinta ketika memeriksakan kehamilannya. Beliau juga turut berperan aktif secara langsung untuk merawat Ibu Shinta pasca melahirkan, bahkan tidak segan merawat dan mengasuh bayi-bayi beliau, mulai mengganti hingga membersihkan popok. Kejadian ini. jauh sebelum pemerintah mendorong peran suami dan mencanangkan program ‘Suami Siaga’.

Menurut pemaparan putra-putri beliau, bagi Gus Dur kesetaraan dalam kehidupan bukan hanya sekedar gaya hidup melainkan berangkat dari ruh hak asasi manusia yang sama. Oleh karena itu kesetaraan tidak hanya dalam hal relasi gender, akan tetapi kesetaraan di hadapan hukum, kesetaran hak hidup dan seterusnya. Oleh karenanya, bagi beliau tidak sulit untuk memahami perjuangan menghadapi ketidakadilan gender.

Singkat kata, Gus Dur tidak bicara kesetaraan dalam wacana, konsep atau definisi, namun beliau lebih memberikan contoh konkrit  dalam segala aktivitas beliau, dalam cara beliau berhubungan dengan keluarga dan mendudukkan posisi mereka, tanpa ada diskriminasi dan dominasi. Lebih tepatnya Gus Dur telah menjadi Uswatun Hasanah bagi keluarga dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang dipahaminya.

Kepedulian Gus Dur pada kaum minoritas maupun pembelaannya terhadap perempuan tidak usah diragukan lagi. Bagi beliau, feminisme beliau bukan hanya diterima sebagai wacana melainkan juga diimplementasikan dalam bentuk program di lingkungan NU maupun organisasi perempuan NU seperti IPPNU, Fatayat dan Muslimat. Di antara program tersebut adalah pengarusutaman gender (gender mainstreaming), penguatan kesehatan dan hak-hak reproduksi, reinterpretasi kitab kuning tentang posisi dan kedudukan perempuan, penguatan hak-hak seksualitas dan lain-lain,sebagaimana yang dipaparkan oleh Siti Musdah Mulia mengenai kiprah Gus Dur dalam konteks Nahdhatul Ulama.

Pandangan Gus Dur yang amat fundamental kemudian melahirkan begitu banyak pemikiran dan inisiatif terkait dengan upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender serta perbaikan status dan posisi perempuan. Misalnya menolak tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk perilaku poligami, membela nasib buruh perempuan dan menolak UU Pornografi. Penolakan beliau terhadap UU Pornografi didasarkan pada pembelaannya terhadap perempuan, yakni menolak seksualitas perempuan dijadikan sebagai alat politik.

Dukungan Gus Dur kepada kaum perempuan dimulai dari rumah dan keluarganya, yang beliau perluas menjadi dukungan pada perjuangan perempuan Indonesia pada umumnya. Jika dirunut benih-benih kepedulian beliau terhadap emansipasi tertanam dari kakeknya, KH. Bisri Syamsuri dan istri yang mendirikan pesantren putri di Denanyar Jombang, diperuntukkan bagi kaum perempuan pada akhir tahun 1920-an. Meskipun awalnya mendapat tantangan keras dari tokoh tokoh NU, namun hingga kini pesantren tersebut tetap berdiri kokoh bahkan menjadi percontohan dari sebagian pesantren putri di tanah air.

Sejak belia Gus Dur selalu melihat kiprah para leluhurnya pada kancah keormasan dan perpolitikan Indonesia. Ibundanya, Hj. Sholichah sebagai tokoh pergerakan perempuan hingga membawanya menjadi anggota DPR GR. Dukungan penuh pun beliau berikan kepada aktivis perempuan, termasuk pada istriya, adik adik perempuannya, putri-putrinya, dan para sahabatnya dengan segmen perjuangan mereka masing-masing. Pernah dalam suatu seminar, Gus Dur meminta ijin untuk meninggalkan pertemuan lebih dahulu karena akan mendampingi Ibu Shinta dalam suatu unjuk rasa di bundaran Hotel Indonesia. Setiap kali ada kegiatan Ibu Sinta Nuriah yang berhubungan dengan isu-isu perempuan seperti peluncuran buku, Gus Dur selalu hadir. Bagi Bu Shinta, itu merupakan dukungan nyata yang tidak banyak dilakukan oleh kebanyakan  suami sibuk.

Nunuk Prasetyo Murniati menyampaikan eksplorasinya atas pandangan Gus Dur mengenai persoalan pluralism. Menurut Gus Dur, perempuan lebih pluralis sehingga menjadikan daya analisisnya lebih kuat dari pada laki-laki dalam memahami kehidupan. Sebagaimana beliau menggambarkan perempuan-perempuan desa yang mata pencaharian keluarganya sebagai petani. Menurut beliau keluarga petani beranak banyak, karena pertanian membutuhkan tenaga kerja banyak, maka diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola pertanian  dan hasil panen. Kebiasaan kerja sehari-hari ini membentuk keterampilan pada mereka. kaum perempuan di desa diberi tugas memelihara sumber air, memelihara kesuburan tanah, memilih benih, membuat pupuk dan menyediakan makanan, karena perempuan desa dinilai lebih memahami ini. Pemikiran ini didasarkan realitas hidup bahwa anak-anak lahir dari rahim ibunya dan mereka makan sejak dalam kandungan ibunya sehingga perempuan petani terkontruksi sangat paham dan terampil mengenai pangan. Realitas hidup lainnya yang biasa dialami kaum perempuan adalah memelihara, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Jika memiliki anak banyak yang memiliki sifat dan kemauan yang berbeda-beda, mereka berusaha memahami beragam perbedaan tersebut sebagaimana memahami situasi masyarakat yang berbeda-beda (plural).

Beragam kisah ini akan membuat kita semakin mengenal Gus Dur lebih dalam dan meneladani nilai-nilai yang ditanamkannya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam perjuangan gerakan perempuan. Terlebih melalui sistematika penulisan antologi dari berbagai segi. Di antaranya: Bagian Pertama Gus Dur dan Keluarga, Bagian Kedua Gus Dur dan Nahdhatul Ulama, Bagian Ketiga Gus Dur dan Kiprah dalam Partai Politik, Keempat Gus Dur Sang Pengayom, Bagian Kelima Gus Dur dan Pemikirannya, Bagian Keenam Gus Dur  dalam Kenangan Mereka, Bagian Ketujuh Gus Dur dan Kenangan  Kolega di Luar Negeri, dan terakhir Gus Dur dalam Sebuah Kartun. Melalui cerita dalam gambar kartun, anak-anak Tanoker di Ledokombo Jember melukiskan bagaimana proses mengenal sosok Gus Dur lebih dari seorang  presiden Indonesia.

Inilah yang memudahkan pembaca mendapatkan informasi mengenai Gus Dur dari berbagai sisi kehidupan di masyarakat.{} Ratna Ulfatul Fuadiyah

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here