Ir. Herdi Mansyah A.I.B., Direktur PKBI Lampung ini dilahirkan di Prabumulih, 3 Mei 1961. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang sempat melanjutkan studinya di program Magister Agribisnis Universitas Lampung menikah dengan Rita Ulli, BBB yang bertugas menjadi salah seorang  PNS di Lampung. Bapak dari 3 (tiga) orang putra-putri  –Sarah Ayu Putri Novaria S.I.Kom., Rahma Dinda Dwi Putri, dan Adli Gumilang Herdi– yang telah malang melintang memperjuangkan pendidikan kesehatan reproduksi(kespro) ini banyak terlibat dalam menginisiasi, mengelola, memfasilitasi, dan menjadi narasumber dalam berbagai forum kajian, seminar dan diskusi yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun komunitas, termasuk mengikuti seminar Internasional  mengenai pembuatan modul Kespro untuk pesantren oleh Unesco di Thailand 2007, maupun workshop mengenai materi advokasi di komunitas agama tentang Kesehatan Reproduksi Remaja di Chanthaburi Thailand 2006. Berikut, adalah hasil wawancara jarak jauh antara Redaksi Swara Rahima dengan Pak Herdi.

Persoalan kesehatan reproduksi apa yang banyak dihadapi oleh remaja saat ini?

Dari persoalan kesehatan reproduksi yang ditangani oleh PKBI, adalah persoalan kesehatan reproduksi secara umum. Hal ini dihadapi juga oleh remaja baik di sekolah-sekolah umum maupun di beberapa madrasah. Sebelumnya, kami juga menangani persoalan kespro di pesantren. Persoalannya  kespro remaja tersebut sangat beragam. Seperti halnya, persoalan KTD (kehamilan tak diinginkan), pernikahan anak, persoalan-persoalan yang kaitannya dengan hak mereka untuk menyampaikan pendapat kespro, aborsi, secara umum persoalan-persoalan terkait dengan psikologis  sekolah, kekerasan terhadap perempuan.

Secara lebih khusus, persoalan apa saja yang khas dihadapi oleh remaja di pesantren?

Persoalan kespro yang berkaitan dengan persoalan remaja perempuan di pesantren lebih banyak. Di antaranya adalah soal menstruasi, keputihan, tentang relasi dengan pacar,  yang khas itu saja. Pesantren sendiri mempunyai persoalan tentang  kesehatan umum seperti bersih diri dan soal kesehatan diri. Kaitannya dengan kespro, di pesantren  karena mereka tinggal secara kolektif,   anak-anak  (para santri) ini sering tidak bersih diri dan tidak memperhatikan kesehatan badan dan dirinya. Oleh karena itu mau tidak mau seringkali dia mengalami  persoalan juga terkait kebersihan organ reproduksinya. Ini persoalan khas yang banyak terjadi di pesantren.

Bagaimana remaja di pesantren mendapatkan akses informasi remaja pesantren terkait kesehatan reproduksi ?

Bila di sekolah umum, hal ini sudah bisa masuk. Namun, di pesantren itu dia tidak ada yang khusus yang kespro. Saya perhatikan, informasi tentang kespro itu masuk melalui fiqh perempuan atau fiqh al-nisa. Mereka belajar soal menstruasi, soal keputihan, bagaimana cara membersihkan diri. Namun, semua itu lebih banyak konsepnya murni terkait dengan agama Islam. Itu yang kita lihat selama ini.

Namun, setelah kita masuk kami lihat beberapa hal terkait dengan medis dan psikologis dengan persoalan yang disampaikan oleh mereka. Saat kami masuk, mereka awalnya juga menolak. Khawatir kalau kami akan memberikan sex education dalam arti bahwa mengajarkan tentang hubungan seks. Namun, setelah masuk mereka baru tahu bahwa selama ini kami belum belajar kesehatan reproduksi yang dijelaskan secara mendalam. Dan tentunya dalam menyampaikan, kami menggunakan metode-metode yang  bisa diterima.

Selama  ini dari mana remaja  di pesantren mendapatkan informasi soal kespro ?

Selama ini  sebelum kita masuk, mereka menerima informasi kespro kaitannya dengan fiqh perempuan. Cuma tidak seperti kespro yang kita katakan  ada kasus, undang-undang, kitab, ada hak-hak untuk perempuan, hak untuk remaja dan sebagainya. Hal-hal seperti itu tidak disampaikan selama ini. Mereka mendengar kespro belakangan setelah kita masuk.

Apakah selama ini persoalan kesehatan reproduksi telah menjadi concern dunia pendidikan?

Belum masuk pendidikan, apalagi pendidikan agama. Mereka  masih  melihat hal itu belum menjadi salah satu prioritas. Dari skala pembangunan terutama di Lampung misalnya, itu belum riil. Sekarang ini posisinya meraka tidak menolak, juga tidak menerima, juga tidak membuat gagasan yang mulus.

Apa saja inisiatif pendidikan kespro yang selama ini telah dilakukan oleh PKBI Lampung?

Secara umum ada beberapa model. Pertama model SKR atau Sanggar Kesehatan Remaja, jadi membuat sanggar-sanggar. SKR itu pendidikan kespro non  kurikulum, ekstra kulikuler. SKR itu terdiri dari para siswa yang dilatih oleh PKBI untuk menyampaikan informasi kespro kepada teman sebayanya.

Inisiatif yang lain, kita juga pernah menyisipkan di mata pelajaran kespro di beberapa mata pelajaran misalnya mata pelajaran Biologi, Agama,  Bimbingan Konseling (BK) dan Olah Raga dan Kesehatan.  Di pelajaran itu kita sisipkan materi materi kespro,  d

mana kita sudah mengumpulkan beberapa guru di sekolah  yang terkait dengan itu dan membuat modul bersama, berbasis sekolah. Contohnya  seperti itu.

Yang lain, insersi setengah masuk kurikulum. Kita menggunakan otonomi sekolah. Jadi di berbagai sekolah  yang menjadi dampingan kita itu sudah masuk dan  tidak juga ditolak juga oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P). Mereka bilang, ya  silakan saja.

Apakah ada lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah yang turut terlibat dalam proses untuk memasukkan pendidikan kespro sebagai kurikulum ini ?

Iya, ada 7 pesantren dampingan yang waktu itu  secara intensif melakukan model insersi. Di pesantren  salaf juga dimasukkan. Di sekolah umum  juga dimasukkan. Secara umum kami mengembangkan modul DAKU (Dunia Remajaku Seru).  Jadi sebetulnya masuk di ekstra kurikuleryang sifatnya wajib. Siswa  mendapatkan mata pelajaran kespro yang terdiri dari 10  bagian dan mereka harus ikut terus dengan kelas yang jumlah siswanya terbatas karena system kespro model DAKU menggunakan program computerized.

Guru-gurunya juga kami latih, tentang pengetahuan kespro, dikenalkan dengan  modul  DAKU yang terdiri dari 10 bagian, kemudian mereka  juga diperkenalkan bagaimana menggunakan modul itu dengan cara computerized. Terakhir, kami juga memperkenalkan teknik bagaimana menyampaikan  materi-materi. Karena materi-materi ini bukan materi yang umum  seperti yang selama ini mereka sampaikan pada siswa atau dengan cara yang biasa mereka sampaikan. Computerized ini proses yang memerlukan skill. Ini kan juga harus menggunakan proses dialogis.   Guru yang kami latih menjadi fasilitator sehingga mereka harus memahami itu secara baik, harus ikut 4 kali pelatihan. Terakhir, pelatihan ini kami kombinasikan dengan Dance for Life.

Dance for Life sebetulnya kegiatan yang di dalamnya menginformasikan di antara sesama remaja tentang HIV/AIDS. Namun  belakangan kami kembangkan tidak hanya tentang HIV/AIDS-nya saja, tetapi kespronya juga. Dalam dance for life ini remaja harus paham dengan 4 aktivitas penting yang dilakukan oleh mereka. Pertama adalah inspire. Dengan inspire mereka mesti menjadi inspirasi bagi teman-temannya untuk peduli AIDS, paham Kespro dan sebagainya. Mereka menari secara massal, menari bersama di sekolah; dan itu  dengan izin sekolah. Setelah menari mereka menginformasikan secara umum, tujuan, mengenai peran mereka.  Yang kedua, namanya adalah educate. Berdasarkan waktu yang disepakati mereka berkumpul di sekolah, dan oleh sesama remaja yang terlatih, mereka diberi edukasi tentang HIV/AIDS dan kespro. Ketiga, adalah Activate. Mereka memasukkan berbagai aktivitas-aktivitas terkait sosialisasi HIV/AIDS dan Kespro di sekolah, seperti membuat Majalah Dinding (Mading), aktivitas  mereka terkait dengan hal-hal tematik. Dan keempat atau yang terakhir adalah Celebrate. Mereka melakukan perayaan atas semua aktivitas yang mereka telah lakukan selama ini. Tentunya perayaan ini melibatkan banyak remaja, sekolah, dan pendamping. Ribuan orang yang terdiri dari para remaja kami kumpulkan di suatu tempat, lalu mereka juga melakukan kegiatan kampanye kepada pemerintah dan masyarakat lainnya.

Bagaimana tanggapan para remaja sebagai penerima manfaat (beneficiaries) dari program-program itu? Seperti apakah keterlibatan mereka ?

Secara umum mereka responsif. Setiap diundang untuk mengikuti kegiatan di sekolah, mereka sangat  mendukung itu sehingga pihak sekolah juga sangat positif merespon  itu. Bila di awal, kita masih bekerja berdasarkan proyek, namun kini mereka telah membuat forum remaja sendiri. Namun untuk sementara kesekretariatan masih berada di kantor kami. Jadi terkait kegiatan mereka, forum remaja sendirilah  yang mengelola kegiatan-kegiatan yang mereka laksanakan. Jadi, sekarang kalau ada pelatihan dan segala macam sosialisasi, pelatihnya sebagian dari mereka. Kemudian ada kegiatan ceramah ataupun diskusi, fasilitator dari mereka. Satu bulan sekali mereka mengadakan pertemuan. Dan kadang-kadang  sepulang dari kegiatan itu,  mereka  masih sering berkumpul. Itulah kegiatan yang dilakukan oleh kami  PKBI di Lampung.

Bagaimana respon dari  kelompok agama atas berbagai inisiatif  itu ?

Memang, pada awalnya kelompok agama  cenderung menolak dengan berbagai kekhawatiran tadi.  Kemudian setelah mereka memahami itu, terutama setelah kami bersilaturahmi dan sosialisasi ke tokoh-tokoh kunci pesantren, tokoh-tokoh kunci MUI, di NU, Muhammadiyah dan sebagainya, karena mereka tahu seperti apa kegiatannya  akhirnya mereka malah mendukung. Sedikit sekali pesantren yang menolak.

Upaya advokasi yang kami lakukan adalah, kami melaksanakan program sejak 2 tahun yang lalu, melalui kerjasama dengan Kemenag. Awalnya, Kemenag (dalam hal ini  Kementerian Agama propinsi Lampung ) bersama PKBI  Lampung membuat anggaran untuk diajukan ke pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pendidikan kespro. Pertama, kami melatih seluruh guru BP di Madrasah Aliyah (MA) di Lampung tentang Kespro. Kemudian di beberapa sekolah dan pesantren, para siswa dan guru-gurunya dilatih kespro juga. Oleh karenanya selain para guru dilatih, para siswa dan santri dilatih kespro juga. Jadi, kita pisahkan para remaja, yakni antara remaja yang MA dengan  yang santri.

Untuk santri,  telah dilakukan beberapa angkatan pelatihan. Dan hingga kini telah ada 4 angkatan. Hal itu dilaksanakan bekerjasama dengan Kementerian Agama. Sekarang kami diminta menjadi fasilitator. Kalau dulu, kami yang menyelenggakan kegiatan atas kerjasama dengan  Kementerian Agama.

Inisiatif lain apa yang telah dilakukan?

Untuk sekolah umum, yang kami kembangkan di Bandar  Lampung -ibukota  Propini Lampung-  ada sekitar 48 dampingan sekolah. Kami juga mengadvokasi ke kabupaten-kabupaten. Paling tidak ada 2-3 kabupaten yang merespon dengan baik. Bupati dan Walikota mendukung itu sampai mereka mengusulkan anggaran  agar ada pelatihan kespro bagi guru-guru  dan siswa.  Ada di Lampung  Tengah,  Metro, Lampung Barat. Ada juga advokasi kami antara lain ke eksekutif dan legislatif. Syukur-syukur kalau mereka juga memberi dana. Sekarang , sekolah-sekolah yang dekat maupun yang jauh sering  mengundang kami untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan kespro melalui ceramah dan diskusi.

Seperti apa tantangan yang dialami? Bagaimana upaya mengatasi tantangan –tantangan itu?

Kami mengalami penolakan di awal saat mengkampanyekan pendidikan kespro ini, terutama di pesantren. Pesantren sempat menolak karena khawatir  bahwa kami akan mengajarkan tentang sex education yang mereka pahami sebagai cara-cara untuk melakukan hubungan seks.  Beberapa sekolah juga ada  yang menolak itu. Ada yang menanyakan kepada saya, apakah setelah  diberi materi kespro ini yakin anak-anak di sekolah ini yakin tidak ada lagi KTD, tidak ada lagi pacaran bebas? Saya katakan, siswa dididik bertahun-tahun supaya mempunyai pendidikan yang bagus, ada juga pelajaran agama, namun persoalan-persoalan berkaitan dengan KTD   tetap ada. Memang kita tidak bisa menjamin bahwa ketika sudah masuk materi kespro, semua anak-anak tidak akan menjadi bebas. Tidak begitu,. Akan tetapi  paling  tidak kita  bisa mengeliminir resiko dan sudah memberikan pilihan kepada anak-anak. Ini lho,  hal yang baik tentang kespro,  dan ini hal yang tidak baik.

Informasi yang tidak baik selama ini telah banyak mereka terima dari internet dan segala macam media, diakses dengan mudah oleh mereka, dan biayanya sangat murah. Itu notabenenya pelajaran  kespro yang “negatif”, yang menghancurkan,  kira-kira begitu diskusi saya. Di pesantren juga seperti itu. Kami sampaikan di pesantren, tetap kemasannya kami pertahankan kemasannya kespro, tidak SRHR dan sebagainya. Sebab, kalau kemasannya salah sejak awal,  mereka tidak mau.

Jadi untuk PKBI Lampung kemasannya pakai ‘pendidikan kespro’? Bukan menggunakan istilah SRHR?

Iya, pendidikan kespro. Bahwa  di dalamnya ada SRHR, tidak  masalah buat mereka, tetapi kemasannya kami masuk dengan Kespro. Setiap program yang kami  kembangkan dimana pun pasti diawali dengan dialog, mengundang stakeholders terkait, NU, MUI, Muhammadiyah dan mengundang stakeholder yang lain. Sehingga saat kami masuk, kami sampaikan bahwa  kami sudah kesini dan sudah kesini.  Penolakan itu pasti ada. Namun, kami juga memegang tokoh kunci  di pesantren karena ketika tokoh kunci ikut, maka  yang lain tidak terlalu menolak sehingga kita tidak terlalu berdebat panjang  ketika berhadapan dengan mereka.

Upaya-upaya apa untuk memasukkan kespro sebagai sebagian dari kurikulum? Bisakah disebutkan contohnya?

Itu memang selalu kami lakukan. Hearing dengan DPRD tiap tahun, melakukan diskusi dengan pemerintah, kami atur  waktunya. Mereka ini kan tugasnya berat, mengingat belum ada payung hukum di atasnya yang secara detail yang mengatur itu. Mereka setuju dan menerima semua usulan itu. Setelah kami membuatkan naskah akademik, kurikulum, dan juga diturunkan menjadi sebuah perda. Memang dalam kondisi sekarang di Lampung tidak ada satu pun pemerintah daerah, tokoh agama, bahkan Kemenag yang menolak  itu. Mereka sudah bisa menerima, namun belum sepenuhnya karena dalam konteks  situasi yang tidak ada aturan, karena belum ada relasi dengan payung hukumnya. Itu yang membuat mereka ragu. Jadi ada beberapa program yang disarankan untuk dilaksanakan melalui berbagai hal.  Seperti dimasukkan ke muatan lokal (Mulok), yang ada di kurikulum lama di 2013 . Jadi ada beberapa hal yang kami sisipkan. Misalnya, ada satu sekolah swasta yang berani dan memiliki pelajaran kespro khusus. Seperti  kurikulum khusus yang dimasukkan ke mulok.

Adakah kisah sukses maupun pembelajaran yang bisa dipetik tentang bagaimana Kespro menjadi bagian dari muatan pendidikan?

Di Lampung, ada sekolah swasta bernama SMA Utama II. Di sekolah tersebut, semua pengurus yayasan, kepala sekolah, guru mendukung upaya memasukkan Kespro itu. Di SMA Utama II , Kespro menjadi muatan lokal. Jadi ada satu mata  pelajaran khusus tentang Kespro . Tetapi sekolah-sekolah pemerintah agak sulit, mereka harus ada kebijakan dari atas. Jadi mereka hanya bisa memasukkan kespro melalui  insersi atau kegiatan ekstra kurikuler (ekskul)  plus.

Apa yang  mesti kita lakukan untuk bersama-sama memperjuangkan gagasan agar kespro menjadi bagian dari kurikulum sekolah?

Kalau di tingkat daerah kita tetap melakukan advokasi ke daerah dan terus meyakinkan  agar kespro masih bisa kita sisipkan melalui Mulok dan sebagainya. Bila mengupayakan kurikulum nasional, maka advokasinya di tingkat nasional. Hal ini karena kurikulum itu tidak dibuat di daerah. Kurikulum dibuat di tingkat nasional, sedangkan daerah hanya mengikuti.

Bila Kespro selama ini telah berkembang di sekolah-sekolah yang ada, keberanian mereka dipayungi olehadanya otonomi sekolah saja. Aturan hukum yang jelas dari atas ke bawah tidak ada.  Oleh karenanya tetap perlu ada upaya untuk melakukan advokasi di tingkat nasional sehingga di daerah ada payung hukum yang jelas. Mengingat, tidak mungkin kita membuat aturan di daerah tanpa payung hukum di tingkat nasional.  Jadi, harus seperti itu.

Bila kita mentok disitu, sementara di nasional juga belum jelas, kita perlu memperjuangkan Kespro melalui berbagai hal. Upaya ini memang ada berbagai versi. Ada yang maunya sangat frontal, ada yang mau agak kalem. Di tingkat nasional kebijakan itu justru belum ada, sehingga kita perlu payung hukum. Di daerah kita tetap menyuarakan ini, dan ternyata sambutannya cukup bagus.

Advokasi kita ini bukan advokasi sistem, karena pemerintah kita baik eksekutif, legislatif, mereka tidak melihat sistem. Mereka telah membuat kesepakatan pada zamannya, namun ketika pimpinannya diganti maka kebijakannya juga bisa berganti, bukan sistemnya. Maka kita advokasi lagi. Inilah kesulitan utama.  Jalan keluarnya, kita advokasi terus, apalagi ketika ada pergantian Kepala Dinas P dan P  saja ada yang terjadi itu, bisa jadi berubah pikirannya dengan apa yang sudah disepakati oleh pimpinan sebelumnya, maka kita harus advokasi lagi dari awal.

Bagaimana caranya agar berbagai pihak berkontribusi untuk mengupayakan perubahan kebijakan sehingga lebih ramah terhadap kespro remaja?

Pertama, selain kegiatan-kegiatan yang  kita lakukan tadi, tugas pemerintah cuma  mengadvokasi  ke Dinas Kesehatan. PKBI tidak bisa melakukan sendiri kegiatan ini tanpa ada rujukannya kemana, maka ke klinik PKBI saja. Kita sudah bekerjasama dengan beberapa puskesmas ada MOU nya,  lebih dari 7 puskesmas  untuk dijadikan pilot project, agar menjadi puskesmas yang ramah remaja dimana kami melatih petugasnya, kepala puskesmasnya untuk membuat ruangan untuk mendekati remaja. Ketika ada klienremaja misalnya karena keputihan, KTD, maka ia bisa datang ke tempat –tempat yang sudah kami rekomendasikan.  Kedua, kita tidak bisa berhenti dengan advokasi. Program yang kita lakukan hasilnya kita advokasi lagi. Makanya melalui celebration dan activation ini, kita mempromosikan apa yang sudah kita lakukan, kita minta kepada pemerintah agar mereka lihat, koreksi, dan memilih yang baik.

Selanjutnya mereka bisa kembangkan yang sudah kami lakukan, karena sebenarnya itu memang bukan tugas kami. Kami hanya membuat percontohan (piloting) saja. Contoh-contoh kegiatan yang baik dari kespro bisa dikembangkan oleh pemerintah.  Ketika melakukan advokasi, celebrate kita tuntut kepada pemerintah atau kita datang khusus hearing ke DPRD. Kita bisa katakan kepada mereka  bahwa  percontohan ini sudah kita buatselanjutnya kita  minta mereka untuk melanjutkannya, karena kita tidak paham untuk men-tacking berapa ratus ribu sekolah yang ada di Propinsi Lampung. {} AD. Kusumaningtyas

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here