Di banyak pesantren, terdapat beberapa kitab kuning yang memiliki muatan perbincangan terkait Kesehatan reproduksi dan seksualitas. Di pondok pesantren Assalam Selopurao, Jambewangi Kabupaten Blitar beberapa kitab yang dipelajari oleh santri di antaranya adalah kitab Risalatul Mahidh yang dikaji dalam terjemahan berbahasa Jawa Krama, kitab Uqud Al-Lujjayn berbahasa Arab, dan kitab Qurratul Uyun berbahasa Arab.[i] Sementara itu, Halim Soebahar dan Hamdanah Utsman pernah melakukan penelitian yang membahas kitab-kitab yang berisi materi Kesehatan reproduksi dan seksualitas yang banyak dikaji oleh berbagai pesantren di Madura. Yakni kitab seperti: 1) ‘Uqudul lujain karya Syech Nawawi Al-Bantani, 2) Adabul Mar’ah dan, 3) As Silah fi Bayanin Nikah, keduanya karya KH Moh. Cholil Bangkalan.[ii]
Namun dari telaah yang dilakukan, kitab-kitab tersebut lebih banyak berisi tentang kewajiban-kewajiban perempuan yang bersifat normatif yang sangat patrilineal, hampir tidak ada aspek pengetahuan kesehatan dan segala konsekuensinya.[iii] Sebenarnya, bila diidentifikasi lebih lanjut, di samping kitab-kitab dengan judul popular seperti di atas ada berbagai kitab lain seperti Risalatul Mar’ah, Kitabun Nikah, Al Usfuriyah, Fathul Izhar, Ma Baina al-Nisa wa al-Rijal, Fiqhun Nisa’, Qiyamul Lail, Fathul Syaiban, Al-Bahts fi Binai Usrotil Hasanah. Dari kitab-kitab tersebut yang diajarkan meliputi adab/tata sopan santun seksual, masalah pernikahan, risalah tentang haid, istihadhah dan nifas, risalah perempuan, fiqh perempuan, dan pendidikan akhlak, dan pembahasan tentang cara membangun keluarga yang baik. Keberadaan kitab-kitab itu menunjukkan kekayaan tradisi klasik Islam pesantren yang membahas soal kesehatan reproduksi dan seksualitas.
Namun, di sisi lain persoalan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi) di pesantren, telah lama menjadi sorotan. Nurcholis Majid (1997) telah merekam banyak hal yang masih memprihatinkan tentang pesantren antara lain: dari sisi lingkungan pengaturan letak bangunan biasanya berada di seputar masjid dengan tata letak yang tidak teratur, kamar-kamar asramanya sempit, semrawut, MCK yang tidak bersih dan tidak memadai dengan jumlah santri yang ada, kebersihan secara umum sangat memprihatinkan. Kehidupan santri yang seadanya dan cenderung kurang bersih sering diasosiasikan dengan penyakit kulit, dari sisi perilaku secara intern di lingkungan sendiri cenderung liberal dan seenaknya, tetapi ketika berhadapan dengan orang luar cenderung kurang gallant. Yang memprihatinkan karena lingkungan yang tidak sehat dan fasilitas yang tidak memadai, di sementara pesantren ditemui praktik Liwath/ homoseksual yang hampir dianggap sebagai taken for granted.[iv]
Situasi di atas juga masih ditemui oleh Tim Peneliti dari Puska Gender dan Seksualitas UI, saat melakukan penelitian di kalangan santri di daerah yang dikelilingi oleh beberapa pesantren besar seperti Darul ‘Ulum Rejoso,pesantrenTebuireng, pesantren Denanyar, dan pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas ini. Selain melakukan survey tentang pemahaman kespro dan perilaku seksual santri, tim ini juga mendalaminya pada Focus Group Discussion (FGD) terhadap beberapa kelompok santri laki-laki. Di antara isu yang terungkap dalam diskusi adalah terdapat beberapa santri dari berbagai pesantren yang mengaku pernah diraba di bagian alat kelamin mereka oleh temannya sendiri ketika sedang tidur di asrama. Mereka menyebut insiden itu sebagai “nyuluh”, artinya alat kelamin laki-laki digosok-gosok ke paha temannya sesama laki-laki, biasanya dilakukan ketika mereka mau tidur bersama dalam sebuah kamar yang berisi beberapa orang santri. Kegiatan “nyuluh” biasanya dilakukan oleh senior kepada junior atau adik kelasnya yang baru. [v]
Permasalahan lainnya yang sering muncul di pondok pesantren adalah persoalan kesehatan reproduksi terkait permasalahan kebersihan organ reproduksi, seperti gatal-gatal di sekitar kelamin yang dialami oleh santri laki-laki serta masalah keputihan yang sering dialami oleh santri perempuan. Umumnya santri laki-laki mengaku sering tidak ganti celana dalam selama dua hari atau istilahnya “side A, side B” artinya celana dipakai di dua sisi secara bergantian. Sementara itu, santri perempuan umumnya hanya mengganti pembalut mereka satu kali dalam sehari jika mengalami menstruasi hal ini yang menyebabkan mereka mengalami masalah gatal-gatal ataupun keputihan.[vi]
Berdasarkan laporan needs assessment Rahima tentang Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja tahun 2012 di Banyuwangi menunjukkan bahwa 80,7% siswa baik itu di pesantren maupun di sekolah berlatar belakang Islam yang berada di luar pesantren (Madrasah Aliyah) pernah berpacaran. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa dari seluruh siswa yang berpacaran itu, pernah melakukan aktivitas seksual yang beragam. Tak jarang, dalam hubungan pacaran yang terjadi dalam ketidakdilan gender (relasi kuasa atas dasar jenis kelamin tersebut) muncul kasus-kasus kekerasan dalam pacaran dan perilaku seksual yang rentan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Mestinya, berbagai hasil penelitian maupun fakta-fakta ini telah membuka mata dan menyadarkan berbagai pihak akan pentingnya memberikan pendidikan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Termasuk meng-integrasikannya dalam proses pembelajaran di pesantren, sekolah dan madrasah.
Baca Juga:
Fokus 1: Mengupayakan Pengintegrasian Kespro dan Seksualitas dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah
Fokus 2: Problematika Pendidikan Kespro : Tanggung Jawab Siapa?
Fokus 4: Upaya Integrasi Kespro Melalui Lembaga Pendidikan
Fokus 5: Pendidikan Kespro dalam Kebijakan Negara
[i] Lihat kembali tulisan Wafiyatu Maslahah, Pembelajaran Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi pada Pesantren Lewat Kajian Kitab Kuningn dan Poskestren di Pondok Pesantren Assalam Jambewangi Selopuro, Blitar.
[ii] Lihat dalam Abd. Halim Soebahar dan Hamdanah Utsman, Hak Reproduksi Perempuan dalam Pandangan Kiai, yang diterbitkan atas kerjasama antara Ford Foundation dan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadhjah Mada, Yogyakarta, 1999, hal,. 47-56.
[iii] Lihat tulisan Siti Malikah Thowaf, Dosen Universitas Negeri Malang berjudul Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Model Pesantren Bagi Remaja, pada jurnal FORUM KEPENDIDIKAN, Volume 27, Nomor 2, Maret 2008.
[iv] Lihat kembali dalam tulisan Siti Malikah Thowaf, Dosen Universitas Negeri Malang berjudul Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Model Pesantren Bagi Remaja.
[v] Lihat dalam tulisan Reni Kartikawati, Persoalan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Pondok Pesantren, yang diterbitkan oleh pamfletindonesia, 11 November 2011, sebagaimana diunduh dari situs http://seperlima.com/2014/11/11/persoalan-kesehatan-reproduksi-dan-seksualitas-di-pondok-pesantren/
[vi] Lihat kembali dalam tulisan Reni Kartikawati, Persoalan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Pondok Pesantren.
Similar Posts:
- Mengupayakan Pengintegrasian Kespro dan Seksualitas dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah
- Membangun Pesantren dan Madrasah ‘Melek Kespro’
- Ketika Seksualitas Jadi Bahan Perbincangan di Kelas
- Guru MA di Banyuwangi Dorong Kespro Masuk Raperda
- Dr. Sururin, MAg.: Pendidikan Kespro perlu Dilakukan dengan Beragam Strategi