Ada dua karakteristik yang bisa digunakan dalam melihat fundamentalisme berbasis keagamaan. Pertama, fundamentalisme positif, yaitu yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Kedua, fundamentalisme negatif, yaitu yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Dalam hal ini agama-agama samawi mempunyai pengalaman yang relatif sama-sama tragis, baik dalam lingkup internal agama maupun antar agama. Hal ini karena agama menjadi senjata bagi kepentingan kelompok tertentu. Fundamentalisme tidak menyediakan pemahaman memadai terhadap agama,  tetapi justru menjadikan agama sebagai tameng bagi kemapanan dan tindakan otoriter yang dilakukan oleh kekuasaan. Selain itu, saat ini fundamentalisme agama tengah bergeser dari arah privat menuju ranah publik. Yakni bila sebelumnya fundamentalisme agama hanya terbatas pada umat dengan teks, maka fundamentalisme mutakhir sudah merambah politik praktis.[i]

Hal itu bisa diamati dari banyak sekali aliran dan kelompok fundamentalis yang bermunculan. Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Persiapan Penegakan Syariat (KPPSI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain-lain merupakan bagian dari fenomena kebangkitan fundamentalisme Islam. Kelompok-kelompok ini mempunyai persamaan agenda yang mengklaim tengah berjuang untuk menegakkan syariat Islam sebagai manhaj al-salaf (cara hidup muslim ortodoks pada masa Nabi Muhammad saw. dan al-Khulafa’ al-Rasyidun). Manifestasi praktik kehidupan dan cara pandang mereka antara lain: a). Sangat ketat dan membatasi diri dalam menafsirkan Alquran dan al-Hadis sehingga cenderung memahami kedua sumber fundamental Islam tersebut secara literal tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kontekstualnya. 2). Cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir paling absah) sehingga memandang sesat kelompok lain yang tidak sealiran.  3). Mempersulit diri dalam menjalankan ajaran Islam, antara lain dengan memaksakan orang lain mengerjakan hal-hal yang sunnah dengan menganggapnya seolah-olah wajib dan menganggap yang makruh seolah-olah haram. 4). Memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme, maupun sebagai tatanan sosial politik), dimana monster imperialis yang sewaktu-waktu dapat mengancam akidah dan eksistensi mereka. 5). Mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekular, dan 6). Cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dianggap menyimpang dan merusak keimanan.[ii]

Contoh nyata bentuk fundamentalisme yang oleh Greg Fealy disebut dengan conservative turns adalah hadirnya sejumlah Fatwa kontroversial MUI pada tahun 2005 yang melarang Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.[iii] Fatwa ini sering disingkat dengan SiPiLis yang diciptakan oleh kaum fundamentalis untuk memberikan kesan sugestif bahwa ini bertentangan dengan Islam. Contoh Fatwa lain MUI adalah Fatwa No. 11/Munas VII/MUI/ 15 /2005 tentang Aliran Ahmadiyah. Fatwa terhadap  Ahmadiyah ini tidak hanya menyatakan mazhab ini berada di luar Islam dan Muslim yang bergabung menjadi murtad, tetapi fatwa itu juga meminta pemerintah untuk secara efektif melarang segala aktivitasnya.[iv] Di lapangan, fatwa ini memicu praktik kekerasan massa terhadap jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah seperti di Manis Lor, Kuningan; Cikeusik, Pandeglang; di Parung, Bogor; di Lombok, NTB  maupun di daerah-daerah lainnya.

Forum Ulama Umat Islam (FUUI) organisasi ulama ’swasta’ yang dipimpin oleh Athian Ali. M. Dai, mengeluarkan fatwa yang menyatakan halal hukumnya menumpahkan darah orang yang merendahkan Allah, Nabi Muhammad, Islam, dan Umat Islam. Fatwa ini digunakan untuk mengutuk seseorang yang dituduh melakukan penodaan agama (religious blasphemy) dan menyeru-kan untuk memberikan sanksi kekerasan terhadap pelakunya. Hadirnya pernyataan-pernyataan semacam ini justru mengesankan bahwa Islam adalah agama yang permisif terhadap praktik kekerasan.[v]

Klaim-klaim penodaan agama semacam ini juga sering digunakan untuk menyingkirkan para muslim progresif di tubuh MUI maupun organisasi-organisasi massa keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, dalam kontestasi yang terjadi di tingkat internal mereka. Di Mesir, atas dasar gugatan sekelompok pengacara muslim, Pengadilan Mesir telah memaksa Profesor Nasr Hamid Abu Zaid untuk menceraikan isterinya karena dia dianggap telah menghina Islam yang menyebabkannya telah menjadi kafir atau ateis, meskipun kedua pasangan ini tidak menginginkannya. Dan hal ini terjadi tanpa sepengetahuan mereka.[vi]

Kontrol atas tubuh perempuan juga merupakan contoh nyata dalam praktik fundamentalisme. Doktrin kembali pada ajaran Islam yang benar (back to Sharia) maupun implementasi menuju Islam yang kaffah seringkali ditandai tentang aturan berbusana bagi perempuan, dengan mewajibkan  pemakaian cadar bagi perempuan. Di Iran, perempuan yang tidak mengenakan cadar dengan benar (bad hijab) akan dikenakan hukuman keras, di Aljazair perempuan dihadapkan pada pilihan ’mengenakan cadar’ atau ’mati’, di Sudan aturan tentang cadar diberlakukan setelah jatuhnya Presiden Numeiri oleh mereka yang mengangkat dirinya sebagai ’penjaga moral’, dan oleh mereka perempuan-perempuan karir dipersoalkan statusnya karena keberadaan mereka di muka umum maupun hubungan kerja dengan laki-laki di perusahaan mereka. Sementara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kaum Hamas memaksa perempuan untuk bercadar dan mengidentifikasi perempuan yang menolak berkerudung sebagai sekutu Israel.[vii] Di Indonesia, fenomena serupa nampak dengan hadirnya berbagai  peraturan daerah dan kebijakan diskriminatif atas dasar agama (yang dikenal dengan Perda Syariah) yang kebanyakan isinya mengatur tata cara perempuan berpakaian, larangan keluar malam, segregasi di ruang publik, maupun larangan pelacuran yang rumusannya sangat mendiskreditkan perempuan.

Seringkali, kita lupa bahwa undang-undang (UU) kita pun diwarnai oleh pemahaman keagamaan yang bercorak literal. Salah satu contoh pada UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang dalam salah satu pasalnya menyebut soal laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Selama ini, masyarakat sering merujuk pada penggalan teks QS. An Nisa’ ayat 34: “Ar rijaalu qawwamuuna ala al-nisaa” yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Ternyata teks ini tak hanya dijumpai di kalangan muslim tetapi juga di kalangan Nasrani dengan menggunakan teks Alkitab (Bible) yang punya doktrin serupa. “Wives, submit to your husbands as to the Lord. For the husband is the head of the wife as Christ is the head of the church, his body, of which he is the Savior. Now as the church submits to Christ, so also wives should submit to their husbands in everything. (Ephesians 5:22, New International Version). Artinya, “Wahai para istri, taatilah para suamimu sebagaimana ketaatan kepada Tuhan karena suami adalah pemimpin bagi istri sebagaimana Kristus menjadi pemimpin gereja, dirinya adalah Juru Selamat. Kini, sebagaimana gereja mentaati Yesus Kristus, kaum perempuan juga harus taat pada suaminya dalam segala hal.”[viii]

Contoh di atas sekedar menunjukkan betapa doktrin keagamaan yang dipakai dalam kelompok-kelompok yang memiliki gagasan fundamentalisme ini seringkali mensubordinasikan perempuan. Celakanya, UU Perkawinan tersebut oleh sebagian orang dianggap tak perlu dipersoalkan dan tak bisa diubah, meskipun sejatinya merendahkan perempuan dan menjadi penyebab munculnya kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah keluarga.

Baca Juga:

Fokus 1: Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan

Fokus 2: Fenomena Fundamentalisme Agama di Indonesia

Fokus 4: Dampak Fundamentalisme terhadap Kaum Perempuan

[i] Lihat tulisan  Roland Gunawan, Islam, Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, dalam buku Kesaksian Para Pengabdi : Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, Lies Marcoes Natsir, Lanny Octavia, Inayah Rochmaniyah, Erni Agustini, Mukti Ali, dan Roland Gunawan, Rumah Kitab dan UiO Norwegian Centre for Human Rights, Jakarta, 2014, halaman 8-9.

[ii] Lihat  kembali dalam tulisan Islam, Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, dalam buku Kesaksian Para Pengabdi : Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, halaman 10.

[iii]  Judul asli Fatwa  ini adalah  Fatwa Majelis Ulama  Indonesia No. 7 /Munas VII/ MUI/11/ 2005  tentang Pluralisme , Liberalisme dan Sekulerisme Agama.

[iv] Lihat kembali tulisan Martin Van Bruinessen dalam tulisannya pada Bab I Mukaddimah : Perkembangan Kontemporer Islam Indonesia dan Conservative Turn Awal abad ke-21,  dalam buku Conservative TurnIslam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme, halaman 29.

[v] Lihat dalam tulisan Moch. Nur Ikhwan, Menuju Islam Moderat Puritan : Majelis Ulama Indonesia dan Politik Ortodoksi Keagamaan, dalam buku Conservative TurnIslam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme, hal 135-136.

[vi] Lihat dalam Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, ICIP dan LKiS, Yogyakarta, 2005, halaman 62.

[vii] Lihat dalam Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, ICIP dan LKiS, Yogyakarta, 2005, halaman 60.

[viii] Lihat dalam tulisan Sophia Korb, Mothering Fundamentalism: The Transformation of Modern Women into Fundamentalists, The Institute of Transpersonal Psychology, Palo Alto, CA, USA.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here