Kaum perempuan seringkali jadi korban atas proses Islamisasi yang bersifat fundamentalis. Selain mereka dijadikan sebagai simbol kesalehan, ada semacam pengalihan tanggung jawab atas kerusakan moral ini ke pundak mereka. Oleh karena itu, berbagai aturan yang ada cenderung mengatur, membatasi, bahkan mengekang kaum perempuan. Dan seringkali aturan yang sebenarnya membatasi itu telah dianggap sebagai kebenaran yang harus dilaksanakan. Aturan-aturan itu, secara lebih jauh juga membatasi hak-hak reproduksi kaum perempuan.

Adanya doktrin yang menganggap bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga telah membuat perempuan memiliki peran yang sangat terbatas, baik di ranah keluarga, kehidupan keagamaan maupun kemasyarakatan. Mereka harus mengikuti perintah atau keinginan suaminya atau laki-laki dalam keluarga. Dalam hal terkait pernikahan, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, semua hal dianggap sebagai urusan laki-laki dan itu sangat merugikan posisi kaum perempuan. Hal tersebut sebenarnya terjadi akibat pemahaman keagamaan mereka yang sangat fundamental. Pandangan  ini  berdasarkan hadis-hadis misoginis dan pemahaman ayat-ayat Alquran secara tekstual. Hasilnya, memunculkan  konsep yang oleh Dr. Nur Rofiah diistilahkan sebagai konsep qiwamah (kepemimpinan) dan wilayah (perwalian) yang tidak adil bagi perempuan. Misalnya, poligami, laki-laki pemimpin bagi perempuan, ketaatan istri yang mutlak, pembolehan  suami memukul  istri, pernikahan usia anak, pemaksaan hubungan seksual terhadap istri, pembatasan ruang aktifitas perempuan, dan sebagainya.[i]

Dalam komunitas fundamentalis, perempuan seringkali tak berdaya menentukan pasangan hidupnya sendiri maupun melakukan kontrol atas tubuhnya. Salah satunya adalah Sri Pulung, aktivis Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) yang memutuskan menikah setelah sang Murabbi (pembimbing spiritualnya) menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki yang dipandang memiliki prinsip ghadhul bashar (menutup pandangan dari aurat perempuan-perempuan yang bukan mahram), namun akhirnya juga melakukan poligami. Sri merasa harus turut bertanggung jawab atas ulah suami yang menurutnya ”sempat tergelincir berpacaran dengan perempuan lain”, sehingga perempuan itu harus dinikahinya. Pada usianya yang ke-42 tahun, Sri dianugerahkan 6 orang anak dari perkawinannya. Ia sempat menggunakan KB hormonal, namun karena tidak cocok akhirnya ia tidak menggunakan alat kontrasepsi sama sekali sehingga ia pernah mengurus tiga balita sekaligus. Yaitu saat anak keenamnya baru lahir, anak kelima berumur 15 bulan, dan anak keempatnya berumur 3 tahun. Sang suami mendukung aktivitasnya dalam kondisi memiliki banyak anak, karena bercita-cita memiliki banyak keturunan demi memperkuat umat Islam di masa depan. Suami Sri, memiliki 9 orang anak kandung yaitu 6 dari Sri dan 3 dari madunya. Ditambahkan dengan anak tirinya yang 4 orang, berarti suaminya memiliki 13 orang anak.[ii]

Selain perempuan-perempuan dalam kelompok  fundamentalis yang terpinggirkan dari ruang publik maupun tak kuasa melakukan kontrol atas hak-hak reproduksinya sendiri akibat aturan-aturan dan pandangan fundamentalisme keagamaan yang berkembang ini, perempuan awam juga menjadi korban akibat masuknya fundamentalisme di ranah negara. Di Padang, beberapa siswi non muslim terpaksa harus mengenakan jilbab demi beradaptasi dengan teman-temannya di sekolah karena adanya aturan yang mewajibkan para siswi untuk berjilbab. Sementara di Bulukumba, aturan berjilbab telah membuat banyak perempuan warga sipil yang tak berjilbab kehilangan hak-hak dasarnya dalam pelayanan publik akibat adanya stiker di kantor pemerintahan yang menyebutkan ”perempuan yang tidak berjilbab tidak akan dilayani”.  Dalam konteks dimana Ahmadiyah menjadi kelompok keagamaan minoritas dalam Islam, perempuan Ahmadiyah banyak mengalami kekerasan berlapis. Dalam film dokumenter berjudul ”Atas Nama” yang diproduksi oleh Komnas Perempuan, dikisahkan bahwa seorang perempuan di Lombok gagal melanjutkan studinya dan terpaksa menikah dengan seorang laki-laki sebelum dia merasa benar-benar siap untuk menikah dengan alasan untuk membantu meringankan beban orang tuanya yang gulung tikar akibat tempat usahanya habis di bakar massa.

Saat ini kita juga perlu mewaspadai berlakunya Qanun-qanun terkait penerapan Syariat Islam di Aceh yang seringkali dijadikan rujukan dan diambil secara copy-paste bagi daerah-daerah lain yang hendak menerapkannya melalui perda maupun kebijakan lokal. Dua di antaranya adalah Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam dan Qanun tentang Hukum Jinayat. Qanun yang berisi tentang pidana Islam yang mengatur soal Khalwat (berdua-duaan  antara laki-laki dan perempuan di satu ruangan) dan Ikhtilat (bercampurnya sekelompok laki-laki dan perempuan baik di dalam maupun di luar ruangan) itu berpotensi pada munculnya fitnah atas dasar prasangka atas tubuh perempuan sebagai isu moralitas, dan berakibat membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik. Keberadaan Qanun itu memicu tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum seperti Wilayatul Hisbah (WH) kepada masyarakat karena perbedaan antara norma objektif (yang tertera di atas kertas) dengan norma subjektif (apa yang dipahami oleh anggota WH) misalnya tentang khalwat, karena batasan yang tidak begitu jelas dan mengandung multi interpretasi. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan keberadaan Qanun ini rentan menimbulkan perlakuan diskriminatif  dan tindak kekerasan.[iii]      Hukum cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman yang diperkenalkan oleh Qanun Jinayat, sebuah bentuk Hukum Pidana Islam yang rumusannya lebih banyak berupa  pelanggaran atas moralitas yang dirumuskan dalam kerangka pikir laki-laki. Seorang perempuan di Aceh yang menjadi korban pemerkosaan massal  beberapa waktu yang lalu sempat terancam menerima hukuman cambuk karena dituduh melakukan perbuatan mesum. Y, seorang janda berusia 25 tahun, dan pasangannya, W (40), digerebek oleh sekelompok pemuda di sebuah desa di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa, karena dituduh membawa masuk seorang  lelaki bernama W di rumahnya.Setelah memukul W dan mengikatnya di dalam kamar, delapan pemuda itu menyeret Y ke kamar lain dan memperkosa korban secara bergiliran. Sekelompok pemuda yang melakukan tindak perkosaan ini beralasan bahwa  Y dan W telah melakukan khalwat, yaitu  berada dalam satu ruangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Alih-alih memberikan hukuman kepada kedelapan pemuda yang melakukan tindak perkosaan, Wilayatul Hisbah malah berencana untuk merajam pasangan tersebut yang meskipun menurut penuturan Ibrahim Latif, kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa mereka belum sempat melakukan hubungan layaknya suami istri tetapi mereka diketemukan sedang berada dalam satu rumah. [iv]

Berjihad Menghadapi Fundamentalisme

Bila selama ini istilah “jihad” sudah sangat sering diidentikkan dengan tindak kekerasan, baik tindakan-tindakan martir seperti bom bunuh diri, peperangan dengan mengatasnamakan agama, dan lain-lain, sehingga pelakunya mendapatkan julukan “Jihadis” marilah kita mencoba untuk memaknainya dengan lebih manusiawi. Jihad pada hakikatnya adalah upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebaikan. Bila dikaitkan dengan pandangan keagamaan, hendaklah kita maknai dalam konteks fundamentalisme positif, yaitu yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Oleh karenanya, kita perlu kembali pada nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil-‘alamien yang secara universal mengajarkan kita pada nilai-nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan, toleransi, dan anti kekerasan.

Negara perlu menciptakan ruang yang kondusif bagi kebebasan beragama, menciptakan sistemnya yang memungkinkan semua kelompok bisa berdebat dan saling bertukar pendapat. Bila pemerintah memiliki preferensi pemahaman yang lebih moderat, sebaiknya mereka bisa membangun argumen yang mendukung pemahaman tersebut jangan hanya mengutuk pemahaman yang fundamentalis, membuat ketegangan antar kelompok serta menyerang pemahaman orang lain. Pemerintah juga perlu mengembangkan partisipasi masyarakat bila menemukan ada substansi undang-undang yang dilanggar, dan memberikan wewenang pada aparat untuk bertindak tegas bila terjadi pelanggaran. Pemerintah sebaiknya tak terlalu melakukan intervensi terhadap kehidupan beragamaan warga negaranya, dan sebaiknya mereka hanya melakukan campur tangan ketika ada hal-hal yang mengancam ketertiban atau melanggar hukum saja.[v] {} AD. Kusumaningtyas

Baca Juga:

Fokus 1: Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan

Fokus 2: Fenomena Fundamentalisme Agama di Indonesia

Fokus 3: Beragam Doktrin dan Agenda Fundamentalis maupun Praktiknya

[i] Lihat tulisan Enik Maslakhah, Fundamentalisme : Kekerasan terhadap Perempuan, dalam rubrik Akhwatuna di Swara Rahima edisi ke-47 ini.

[ii] Lihat tulisan Sri Pulung, Ikon Persaudaraan Muslimah –SALIMAH, dalam buku Kesaksian Para Pengabdi : Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, halaman 115-118.

[iii] Lihat dalam tulisan AD. Kusumaningtyas, Dari Forum Nasional Kebangsaan Komnas Perempuan : Qanun Jinayat Aceh Tak Layak Dipertahankan, intisari pertemuan di Hotel Acacia, 5 November 2014, yang dipublikasikan sebagai newa di website Rahima, 2014 di situs www.rahima.or.id

[iv] Lihat artikel berjudul Wanita Korban Perkosaan Massal di Aceh Terancam Hukuman Cambuk, dalam Berita  Satu.com, Rabu, 7 Mei 2014 sebagaimana dikutip dari situs http://www.beritasatu.com/hukum/182522-wanita-korban-perkosaan-massal-di-aceh-terancam-hukuman-cambuk.html)

[v] Lihat tulisan hasil  wawancara dengan Greg Fealy di rubrik Opini Swara Rahima edisi-47 dengan judul Fundamentalis Gunakan Perempuan untuk Kontestasi Kesalehan, 2014.

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here