Deny Hamdani, PhD., alumnus IAIN Walisongo Semarang yang melanjutkan studinya pada IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini menyelesaikan program Doktornya pada Southeast Asian Studies di Australian National University (ANU), Canberra, Australia. Penulis buku ‘Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women’ terbitan Lambert Academic Publishing yang terbit tahun 2011 ini adalah Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan STAINU Jakarta. Deny yang juga peneliti pada Social Economic Research Institute (SERI), Indonesia, pernah menjadi Pengurus Cabang Internasional (PCI) Nahdlatul Ulama di Australia pada tahun 2006-2007 dan kini menjadi Pengurus LP Ma’arif NU untuk periode 2011-2014. Melalui sajian wawancara dengan Swara Rahima di rubrik opini ini, ia akan berbagi pengetahuan dan menyampaikan hasil penelitiannya tentang fenomena pemakaian jilbab di Indonesia.
Apa yang membuat Anda tertarik untuk melakukan penelitian tentang Jilbab?
Sebetulnya saya tertarik mengkaji praktek pemakaian jilbab dari sisi pemaknaannya. Para sarjana yang meneliti soal ini juga jauh-jauh hari mengakui bahwa pemaknaan soal veiling ini sungguh kompleks. Tidak bisa merujuk pada satu makna. Dan yang menarik, makna ini terus berubah dalam perjalanan ruang dan waktu. Nah, yang saya teliti adalah dinamika praktik pemakaian jilbab di kalangan perempuan muslim Indonesia yang saya lihat berkaitan erat dengan konstelasi sosial dan politik (Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, Lambert, 2011).
Seperti apakah perkembangan konteks sosial politik yang melatarbelakangi perkembangan fenomena jilbab di Indonesia?
Paling tidak ada dua level tatanan politik yang jadi latar belakang, yaitu politik global dan lokal. Di level global, gelombang jilbab di tahun 80an merupakan imbas dari pergolakan politik di Iran. Perubahan di Iran menginspirasi sel-sel gerakan Islam akar rumput untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Di sini jilbab menjadi media atau alat untuk menyampaikan pesan kepada negara. Sementara pada level politik lokal, sikap negara dalam hal ini Suharto sangat represif terhadap kelompok Islam. Sebab Suharto lebih dekat dengan kelompok abangan dan Katolik. Berbagai kebijakan negara saat itu jelas menunjukkan sikap anti-Islam.
Tapi di masa akhir pemerintahannya, Suharto berubah. Ia merubah haluan politiknya dengan merapat ke kelompok Islam. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dibentuk, Bank Islam (Mu’amalat) direstui, Masjid Pancasila dibangun dimana-mana, Ia naik haji, Mbak Tutut berkerudung dan tidak lama kemudian, jilbab di sekolah yang tadinya dilarang, akhirnya dibolehkan dengan keluarnya SK Dirjen Dikdasmen No. 100/Tahun 1991. Sejak saat itu, pelan-pelan praktek pemakaian jilbab di kalangan perempuan muslim menjadi pilihan berpakaian yang dianggap “nyaman”.
Secara umum, motivasi apakah yang mendorong para perempuan untuk memutuskan mengenakan jilbab? Apakah alasannya cenderung tunggal atau beragam?
Motivasi itu sangat personal ya, dan tidak tunggal. Sangat beragam memang. Ada yang prinsipil, ada juga yang lebih cenderung sebagai asesoris saja. Sebagian besar orang yang saya temui mengaku memakai jilbab sebagai bentuk menjalankan kewajiban agama, ingin menjadi muslimah yang baik, atau ingin dianggap sebagai orang baik-baik, ingin dianggap trendy, bahkan ada juga yang sekedar ingin menutupi rambutnya yang mulai memutih (uban).
Saya bahkan pernah bertemu dengan narasumber yang mengaku berjilbab karena alasan untuk menghalau perlakuan rasial. Wajahnya mirip China dan kemana-mana ia dianggap keturunan China. Dan ia tidak nyaman dengan perlakuan tersebut. Lalu memutuskan berjilbab dan hasilnya luar biasa. Prasangka rasial itu hilang dengan sendirinya.
Nah, dengan begitu banyaknya motivasi orang berjilbab makanya fenomena jilbab itu tidak bisa digeneralisir dan sangat sungguh kompleks.
Bagaimana fenomena jilbab dikaitkan dengan maraknya Islam politik ?
Kalau yang dimaksud Islam politik itu adalah gelombang formalisasi jilbab dalam bentuk peraturan daerah dan gagasan penegakkan syariat Islam, itu menjadi sesuatu yang memprihatinkan, ya. Sebab umat Islam Indonesia saat ini sudah tidak ada kendala dalam menjalankan syariat Islam. Hal-hal yang ditafsirkan orang sebagai perintah atau anjuran agama selama ini bisa dijalankan dengan baik oleh umat Islam pada umumnya. Ketika hal-hal tersebut ditingkatkan menjadi aturan formal yang punya kekuatan memaksa (coercive), ada masalah disitu. Alih-alih mendorong umat Islam menjadi semakin islami, para penggagas dan pendukungnya sesungguhnya telah tergelinicir pada proses pendangkalan ajaran Islam. Apa ya begitu cara Islam ditegakkan?
Nah, yang menarik, beberapa studi yang melihat formalisasi ajaran Islam dalam bentuk perda syariat ternyata lebih cenderung dilandasi kepentingan politik. Perda syariat disini termasuk pemaksaan jilbab bagi perempuan muslim ya. Dalam hal ini politik pendulangan suara. Lalu praktek ini latah diikuti sejumlah daerah yang punya konstituen muslim besar. Bahkan ada perda syariat yang copy and paste dari daerah lain tanpa penyesuaian-penyesuaian sama sekali. Jadi ada indikasi yang kuat bahwa formalisasi syariat dan jilbab tidak dilandasi kajian-kajian mendalam dari berbagai perspektif.
Adakah hubungan yang signifikan antara merebaknya pemakaian jilbab dengan menguatnya gerakan politik Islam?
Jenis jilbab itu kan beragam ya. Ada yang ideologis, ada yang non-ideologis. Nah, pemakaian jilbab ideologis memang memiliki kaitan ke belakang dengan gerakan para aktivis Islam masa Orde Baru. Jilbab kaum akhwat tumbuh subur di lingkungan aktivis Islam terutama yang berbasis kampus-kampus secular pasca jatuhnya rejim Orde Baru. Lalu di kalangan aktivis Islam, jilbab akhwat yang lebar itu menjadi satu paket dengan gerakan syariah Islam, seperti yang diperagakan oleh aktivis PKS, HTI dan sejenisnya. Tetapi peredaran jilbab jenis ini kan sebetulnya sangat terbatas. Karena buat anak muda, ia dianggap tidak praktis dan kurang modis.
Justru merebaknya pemakaian jilbab lebih banyak dipicu oleh faktor industri busana muslim. Ini bagian yang non-ideologis. Ketika pasar menyediakan aneka ragam jilbab, pilihan orang untuk berjilbab tanpa menghilangkan sisi estetika semakin terbuka lebar. Buku dan majalah tentang jilbab (hijab) belakangan ini sudah membanjiri toko-toko buku. Sinetron dan film berlomba-lomba menampilkan artis-artis berjilbab karena pasarnya memang besar. Jadi aspek bisnis ini lebih menonjol ketimbang aspek lainnya. Produsen busana muslim, media dan selebritis bahu membahu mengkampanyekan busana muslim. Dan hanya kurang lebih satu dekade, busana muslim telah merebut hati perempuan muslim sebagai bagian dari gaya hidup.
Apakah tatacara mengenakan jilbab (jilbab fashion style) merefleksikan pandangan keagamaan kelompok Islam tertentu?
Pada tingkat tertentu memang ada hubungan cara berjilbab dengan pandangan keagamaan ya. Mereka yang berasal dari komunitas akhwat cenderung menggunakan jilbab lebar yang dianggap menjadi manifestasi dari syariah Islam. Disini pakaian menjadi penanda militansi.
Tetapi berbeda dengan penutup kepala dalam bentuk kerudung yang longgar. Kita sering lihat kerudung ala Bu Shinta Nuriyah atau kalau merujuk ke belakang pada Bu Fatmawati. Pakaian semacam ini lebih mengesankan pakaian tradisional yang berakar pada identitas kebangsaan.
Nah, tren jilbab modis yang sekarang kelihatannya tidak terlalu berhubungan dengan pandangan keagamaan ya. Kalau pun ada sangat renggang sekali. Tren jilbab modis yang semakin menarik dan menyediakan aneka pilihan membuat perempuan muslim semakin merasa nyaman untuk memakainya. Dengan memakai jilbab, banyak keuntungan-keuntungan yang bakal diraih, karena hari ini jilbab memiliki citra yang positif.
Teks keagamaan apakah yang seringkali menjadi rujukan untuk mengenakan jilbab? Bagaimanakah kecenderungan umum teks ini dimaknai? Adakah yang memaknainya secara berbeda?
Di kalangan pemakainya dan pendukung gagasan jilbab, QS. Al-Ahzab 59 dan An-Nur 31 sering dijadikan referensi utama. Kelompok ini meyakini bahwa ide menutup aurat dengan memakai jilbab itu sebuah kewajiban berbasis nash. Secara redaksional nashnya mengindikasikan perempuan muslim untuk menjulurkan jilbab sampai menutup dadanya. Hampir setiap kali menanyakan dalil tentang jilbab, para jilbabers ya menyebutkan ayat-ayat tersebut.
Tapi ada juga memang yang memaknainya secara lebih progresif. Di kalangan pemikir yang lebih kontekstual, wacana keagamaan tentang jilbab, konsep aurat dan konteks budaya menjadi perhatian mereka. Saya menjumpai pemikir-pemikir yang menganggap bahwa nash tentang aurat perempuan itu sebenarnya tidak qath’i, tapi bersifat zhanni. Jadi masih terbuka ruang penafsiran dan penggalian lebih lanjut. Ada juga yang meyakini bahwa tradisi mengenakan jilbab itu lebih cenderung merupakan kewajiban budaya ketimbang kewajiban agama. Pandangan ini merujuk pada konteks historis pada masa periode awal pembentukan masyarakat Islam. Ada juga pemikir yang berpendapat bahwa jilbab tidak wajib, karena ia sesungguhnya hanya media untuk melindungi kaum perempuan. Jadi bukan jibab yang menjadi tujuannya.
Tapi pandangan-pandangan progresif ini tidak sepopular pandangan mainstream ya. Pandangan-pandangan tersebut terlalu maju buat sebagian orang atau mungkin dianggap terlalu berani.
Bagaimana cara pemerintah/sebuah kelompok masyarakat mendorong pemakaian jilbab ini kepada publik? Melalui instrumen apa?
Hemat saya, pemerintah tidak perlu repot-repot mengatur cara berpakaian warganya. Sebab ini wilayah privat. Perda syariah yang menjamur sejak bergulirnya ide reformasi itu kan salah arah sebetulnya. Dan bertentangan dengan konstitusi kan? Tetapi tak kunjung juga ditertibkan.
Di negara yang demokratis ini, idealnya gagasan mewajibkan busana muslim atau melarang penggunaan jilbab keduanya sama-sama melanggar Hak Asasi Manusia. Dua-duanya seharusnya tidak diberi tempat. Akan sangat bijaksana jika urusan pakaian diserahkan pada preferensi pribadi masing-masing.
Bagaimana ‘Tafsir Jilbab’ yang dikembangkan oleh penguasa dan implikasinya pada masyarakat yang memiliki pilihan berbeda?
Tafsir jilbab penguasa tentu berbeda dari waktu ke waktu ya. Di masa Orde Baru, jilbab pernah dilarang, tetapi kemudian dibolehkan. Di era Otonomi Daerah, Pemda berlomba-lomba menginstitusionalisasi busana muslim menjadi kewajiban bagi perempuan. Politik identitas dikembangkan. Dampaknya di lapangan, mereka yang tidak terbiasa berjilbab lalu mengenakan jilbab karena ada paksaan. Bahkan di Sumatera Barat saya menemukan orang-orang non-Muslim yang terpaksa mengenakan jilbab. Ini kan sudah berlebihan ya. Padahal seharusnya memakai jilbab atau tidak menjadi wilayah optional bukan coercive.
Jika pemaksaan dilakukan, ia tidak saja keluar dari koridor jilbab sebagai ideologi pembebasan, tetapi juga mengebiri cara pandang alternatif yang dibutuhkan dalam masyarakat yang multikultural ini. Dan pada prakteknya, pemaksaan lewat aturan-aturan tersebut tidak terlalu efektif di lapangan. Akhirnya ia hanya menjadi formalitas belaka.
Adakah bentuk-bentuk kekerasan maupun pembatasan ruang publik yang sempat muncul di tengah maraknya fenomena ‘jilbabisasi’ pada perempuan?
Tentu ada. Kekerasan itu muncul dalam bentuk verbal maupun institusional. Kekerasan verbal biasanya muncul dari mereka yang berjilbab mengolok-olok mereka yang tidak berjilbab sebagai bukan muslim yang sempurna (kaffah). Kadang sering dikontraskan berjilbab dengan yang “telanjang”, padahal mereka yang tidak berjilbab kan mengenakan pakaian juga.
Kekerasan di tingkat institusional ya berupa pemaksaan aturan berpakaian buat mereka yang sehari-hari tidak berjilbab atau bahkan yang non-muslim. Kekerasan institusional ini kerap terjadi di sekolah atau pun kantor pemerintahan.
Dalam penelitian Anda, adakah ‘pengalaman perempuan’ turut mempengaruhi keputusannya untuk mengenakan atau tidak mengenakan jilbab ? ‘Pengalaman’ yang seperti apa?
Ya tentu saja pengalaman pribadi menjadi faktor penting dalam keputusan berjilbab atau tidak berjilbab. Atau bahkan dari yang berjilbab kemudian menanggalkan jilbabnya (deveiling).
Dengan mengasumsikan sebagai kewajiban agama, keputusan untuk mengenakan jilbab dianggap sebagai sebuah tindakan besar dalam proses “hijrah” atau konversi dari muslim yang “belum sempurna” menjadi muslim yang “sempurna”.
Terutama mereka yang berjilbab tahun 80-an sampai awal 90-an, keputusan untuk berjilbab itu adalah keputusan yang sangat sulit. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Begitu banyak hal yang harus dikorbankan. Tetapi sekarang sudah berbeda.
Saya sering mendapatkan cerita dari mereka sebelum berjilbab didahului dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang luar biasa. Kadang bermimpi aneh. Kadang juga mengawalinya dengan berziarah ke tanah suci. Ada juga karena pengalaman pribadi yang tidak membahagiakan, lalu seseorang yang tadinya berjilbab kemudian melepas begitu saja. Kekecewaannya ia tumpahkan dengan mencampakkan sehelai kain penutup kepalanya.
Nah, perempuan muslim yang tidak berjilbab juga punya cerita. Ada yang merasa lebih nyaman tidak berjilbab karena lingkungannya, ada yang memiliki pengalaman intelektual soal pengekangan terhadap tubuh perempuan, ada juga yang lebih esensialis memandang cara kehidupan beragama tanpa harus terjebak pada aspek superfisial.
Jadi memang pengalaman perempuan menjadi salah satu faktor penting berkaitan dengan keputusan seseorang berjilbab atau tidak.
Bagaimana Anda melihat maraknya fenomena jilbab di kalangan artis? Akankah ini menghadirkan perubahan perilaku sosial?
Artis generasi pelopor pemakai jilbab generasi pertama (90-an awal) tidak seberuntung generasi artis sesudahnya. Karir artis generasi awal itu cenderung meredup setelah mereka memakai jilbab ya. Sementara bintang artis generasi selanjutnya (2000-an) cenderung masih bersinar. Nah, generasi berikutnya ini tertolong oleh fenomena tumbuhnya konsumen Muslim kelas menengah yang semakin “islami”. Dan artis/selebritis banyak mengambil keuntungan atas perkembangan dunia fashion ini.
Seperti fenomena di berbagai belahan dunia, dalam banyak hal, artis/selebritis menjadi trend-setter orang berpakaian. Tapi itu budaya pop (pop culture) lho, ya. Ia dibangun di atas konsep dan pemahaman yang terus menerus berubah.
Nah, dari praktek pemakaian jilbab oleh kalangan artis/selebritis ini, sebetulnya kita ditunjukkan bahwa hubungan jilbab dengan kesalehan atau ketakwaan itu renggang sekali. Sekali waktu seorang selebritis berpose atau main film dengan memakai jilbab dan di waktu yang lain tak menunjukkan ciri-ciri kesalehannya. Bahkan terkadang bertolak belakang dengan norma-norma agama.
Banyaknya artis/selebritis yang memakai jilbab, juga menjadi pembelajaran buat masyarakat untuk tidak terpedaya oleh penampilan luar yang seringkali mengelabui.()AD. Kusumaningtyas