Sumber gambar: pexels.com
Bila melihat pengertian di atas, akar kultural pemakaian jilbab sebenarnya bukanlah barang baru di Indonesia. Mengingat, budaya kerudung relatif akrab dengan keseharian kehidupan perempuan Indonesia; khususnya yang berafiliasi dengan 2 ormas besar keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[i]
Sekedar contoh, sebutlah nama Solichah Wahid Hasyim, Asmah Syachruni, ataupun Farida Shalahuddin Wahid dari kalangan Nahdliyyin, maupun Siti Baroroh Baried ataupun Zakiyah Daradjat yang berasal dari lingkungan Muhammadiyah. Namun, fenomena ini pun tidaklah monolitik, mengingat muslim yang berasal dari latar belakang kultural yang berbeda tidak selalu mengenakannya. Pakaian nasional yang merepresentasikan berbagai latar belakang suku budaya dan adat istiadat tidak pernah atau setidaknya jarang memasukkan kerudung sebagai atribut mereka. Perempuan-perempuan yang masuk dalam kategori pahlawan nasional seperti Tjoet Nja’ Dhien, RA Kartini, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Nyi Ageng Serang, digambarkan tidak berpenutup kepala atau berkerudung. Hal ini, karena pemerintah Orde Baru tengah mencari simbol perempuan untuk menegosiasikan kekuasaan melalui sosok yang dapat merepresentasikan gagasan kebangsaan (nasionalisme) yang diusungnya.[ii]
Maraknya pemakaian jilbab dimulai sejak adanya Revolusi Islam Iran tahun 1979 maupun diterjemahkannya buku-buku keagamaan yang dipengaruhi nuansa pemikiran gerakan Ikhwanul Muslimin yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sejak tahun 1970-an. Revolusi Iran, yang dipimpin Khomeini dan berhasil menggulingkan rezim Shah Iran ketika itu, ikut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya semangat berjilbab di kalangan siswi-siswi muslim di Indonesia. Namun, ketegangan hubungan antara agama (Islam) dan negara di masa Orde Baru telah memunculkan banyak kasus pelarangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah. Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan SK 052 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri. SK ini memicu pelarangan pemakaian jilbab di kalangan pelajar sekolah negeri. Pelajar yang mengenakan jilbab bahkan sampai terancam dikeluarkan dari sekolah.[iii]
Ironisnya, saat kekuasaan Soeharto tumbang di tahun 1998 seolah-olah terjadi ’politik balas dendam’. Hadirnya otonomi daerah telah memunculkan peluang untuk membangun regulasi baru dengan mengatasnamakan nilai-nilai lokal. Termasuk di dalamnya, identitas keagamaan dengan jargon penerapan Syariat Islam (SI). Bermula dari Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang ditengarai hasil tarik menarik kekuatan politik lokal dengan nasional, melalui Perjanjian Helsinki, penerapan SI di NAD menjadi poin penting dalam perjanjian damai. UU No. 44 tahun 1999 yang menjadi dasar Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam memberi peluang bagi Aceh untuk mengatur diri, dimana akhirnya berbagai Qanun (Perda) hadir di Aceh, yang kebanyakan isinya mengatur/mengontrol tubuh perempuan. Yang paling nyata adalah pemberlakuan kewajiban bagi setiap perempuan di Aceh untuk mengenakan jilbab. Di daerah tersebut seringkali dilakukan razia jilbab, pengarakan perempuan pekerja seks hingga penggundulan rambutnya di masjid raya Baiturrahman. Perempuan yang mengenakan celana ketat maupun jeans juga bisa mengalami nasib serupa. [iv]
Celakanya, beberapa daerah menganggap Aceh sebagai role model yang baik bagi daerah yang melakukan formalisasi Syariat Islam. Oleh karenanya, sejumlah daerah seperti Bulukumba, Maros (Sulsel), Tasikmalaya, Cianjur (Jawa Barat), Solok, Padang Pariaman (Sumatera Barat) dan lain-lain, cenderung melakukan copy paste atas pengaturan tata cara berpakaian sebagaimana di Aceh menggunakan Perda dan instrumen kebijakan lokal lainnya meskipun dengan judul yang terkadang berbeda. Dan tampaknya pengaturan tentang pakaian (jilbab) hanyalah instrumen awal untuk melakukan berbagai upaya pembatasan lainnya. Seperti pengaturan jam malam melalui aturan larangan keluar malam tanpa disertai mahram, atau segregasi laki-laki dan perempuan di ruang publik seperti pemisahan kelas untuk siswa dan siswi di sekolah, dan lain-lain. Di sini, jilbab (pakaian) menjadi langkah awal untuk memunculkan hijab (tabir atau pembatas) di ruang publik bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam makna pembatasan ruang gerak perempuan.
Baca Juga:
Fokus 1: Metamorfosa Jilbab
Fokus 2: Beragam Praktik Pemakaian Jilbab dan Kerudung dalam Masyarakat
Fokus 4: Jilbab di Ruang Publik: Politik Identitas, Pilihan Individu, atau Kewajiban Sosial?
Fokus 5: Teks Jilbab dalam Beragam Interpretasi Ulama dan Pemikir Muslim
[i] Lihat kembali tulisan Deni Hamdani PhD.
[ii] Lihat wawancara dengan Yunianti Chudzaifah, dalam rubrik Opini Swara Rahima edisi 46 tahun 2014.
[iii] Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai situasi ini, silakan lihat tulisan Kasus Jilbab di Sekolah-sekolah Negeri di Indonesia, yang ditulis oleh M. Syamsudini, MAg., dalam situs http://regional.kompasiana.com/2011/06/12/kasus-jilbab-di-sekolah-sekolah-negeri-di-indonesia-372495.html; diakses 29 Agustus 2014, pk 13.25 WIB )
[iv] Lihat dalam Zuhairi Misrawi, et.all, Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat : Fundamentalisme, Seksualitas, dan Kesehatan Reproduksi, The Ford Foundation dan KIKJ, Jakarta, 2003.