Sebagai sebuah fenomena, fundamentalisme keagamaan muncul di Indonesia dengan bentuk yang beragam. Dalam konteks dimana muslim adalah mayoritas penduduk, maka kesan yang nampak tentang fundamentalisme di Indonesia, tentulah yang terkait dengan Islam. Gerakan fundamentalisme Islam sendiri dapat dimaknai sebagai gerakan keagamaan (Islam) yang mempunyai agenda yang menjadikan Islam sebagai entitas politik, Islam sebagai sistem politik yang berujung pada pembentukan al-daulah al-Islamiyyah. Gerakan ini menerapkan gaya generasi salafusshaleh, yang muncul sekitar 400 tahun setelah Rasul wafat, untuk meniru segala aspek kehidupan untuk kiranya mengopi peradaban yang lalu.[i]
Gejala munculnya fundamentalisme sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari merebaknya kembali diskursus tentang Syariat Islam pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 yang mengawali era reformasi yang berlanjut dengan trend munculnya keinginan elit politik lokal untuk membuat aturan dan kebijakan bernuansa agama (baca: Syariat Islam) dan nilai-nilai lokal yang notabene mengandung pengertian kembali ke agama pula: seperti penyebutan Aceh sebagai Serambi Mekkah, lalu mengemukanya slogan adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah di Sumatera Barat, klaim-klaim beberapa daerah di Jawa Barat seperti Tasikmalaya dan Cianjur sebagai tatar santri, dan sebagainya. Dan peraturan daerah ataupun kebijakan yang dihadirkan itu kebanyakan bersifat simbolik dan ironisnya bernuansa melakukan kontrol atas tubuh perempuan. Gejala itu muncul dalam beragam bentuk, seperti maraknya upaya melakukan ‘jilbabisasi perempuan’ melalui aturan pemakaian busana muslimah bagi siswi dan karyawati, aturan melarang perempuan keluar rumah pada malam hari pada jam tertentu tanpa disertai mahram (pemberlakuan jam malam bagi perempuan), segregasi lelaki dan perempuan di ruang publik, dan lain-lain. Reaksi sempat muncul dengan akan dihadirkannya Perda Injil di kota Manokwari, yang lagi-lagi hendak melarang perempuan muslimah berjilbab. Ini artinya juga kontrol atas tubuh dan cara perempuan berpakaian.
Fenomena lain muncul dalam bentuk kontrol atas moralitas (yang dipersempit dalam pemaknaan moralitas seksual perempuan), misalnya dengan Perda Larangan Pelacuran yang rumusannya begitu berprasangka menempatkan perempuan sebagai penyebab tindak asusila, UU Pornografi (yang awalnya sempat merebak dengan istilah pornografi dan pornoaksi – yang indikasinya mengontrol perilaku dan tindakan individu-), menyuarakan larangan ber-KB dengan argumen untuk memperbanyak jumlah anak sehingga mereka bisa menjadi tentara-tentara Tuhan (Jundullah) yang bisa memenangkan pertarungan politik bahkan jihad melalui pertempuran di medan perang.
Fundamentalisme keagamaan sebenarnya merupakan potret kekuasaan patriarki yang beroperasi dengan menggunakan doktrin-doktrin agama. Di antara doktrin yang mereka bangun adalah kepemimpinan laki-laki, ketaatan mutlak seorang istri pada suami, kebolehan laki-laki berpoligami. Bagi mereka yang tak sepaham, mereka seringkali melakukan klaim ‘sesat’ pada orang lain, bahkan melakukan cara-cara kekerasan seperti sweeping, penyegelan rumah ibadah, dan sebagainya.
Karen Armstrong melihat fenomena tersebut terjadi karena pada hakikatnya fundamentalisme tidak hanya sekedar memelihara doktrin absolut, melainkan lebih dari pada itu, yakni sebuah upaya merespon krisis yang melanda masyarakat agama (embatled forms of spirituality, which have emerged as a response to a perceived crisis). Amstrong melihat fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, melainkan sebagai gerakan melawan modernitas dan semua hal yang menyebabkan munculnya krisis multidimensional.[ii]
Senada dengan Armstrong, Greg Fealy melihat bahwa upaya tersebut karena laki-laki fundamentalis ingin menggunakan perempuan sebagai simbol kesalehan mereka sebagai upaya untuk memindahkan kesalahan (blame shifting) sebagai upaya pertanggungjawaban atas krisis moral yang terjadi di masyarakat. Sementara penggunaan kekerasan bisa jadi merupakan refleksi putus asa karena aparat kepolisian yang tidak segera bertindak dan menggunakan undang-undang yang ada, di saat terjadi apa yang mereka anggap sebagai krisis moral di masyarakat di samping memang sudut pandang mereka yang hitam putih serta melihat persoalan secara simplistis dibandingkan berusaha untuk memahami akar persoalan terhadap apa yang mereka lihat sebagai krisis moral tersebut.[iii]
Baca Juga:
Fokus 1: Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan
Fokus 3: Beragam Doktrin dan Agenda Fundamentalis maupun Praktiknya
Fokus 4: Dampak Fundamentalisme terhadap Kaum Perempuan
[i] Lihat tulisan Farha Ciciek berjudul Fundamentalisme dan Perempuan, bahan presentasi, tidak diterbitkan.
[ii] Pernyataan Karen ini dikutip dalam tulisan Musdah Mulia Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace: berjudul Fundamentalisme Islam, Perempuan, dan Kemiskinan.
[iii] Lihat tulisan hasil wawancara dengan Greg Fealy di rubrik Opini Swara Rahima edisi-47 dengan judul Fundamentalis Gunakan Perempuan untuk Kontestasi Kesalehan, 2014.
Similar Posts:
- Fundamentalisme: Kekerasan terhadap Perempuan
- Fundamentalisme di Negeri-negeri Muslim: Perspektif Politik-Agama dan Sejarah Sosial-Budaya
- Inayah Rochmaniyah, PhD.: Pandangan Keagamaan Fundamentalis Bercorak Androsentris, Patriarkhal dan Seksis
- Fundamentalisme Agama dan Dampaknya pada Perempuan
- Fundamentalisme dan Tafsir Patriarkhi terhadap Alquran