Sumber gambar: pixabay.com
Oleh Enik Maslahah*
Teringat saat teman-teman Fatayat NU Kota Yogyakarta berpartisipasi dalam pagelaran budaya Do’a Lintas Iman, di Kotagede, Yogyakarta (9/2013), diprotes oleh sekelompok orang. Alasannya, wilayah Kotagede tidak boleh dimasuki kelompok non muslim, dan dianggap mencampuradukkan agama. Jika pagelaran tersebut tetap dilaksanakan, maka akan ada pasukan untuk membubarkan.
Demi keamanan, Pemuda Ansor Kotagede Yogyakarta dan Sekber (Sekretariat Bersama) Keistimewaan sebagai penyelenggara menyiapkan 375 Banser yang ditempatkan di depan masjid Mataram untuk menghalangi penyerang (100 orang) agar tidak masuk ke tempat acara. Polisi pun sudah berjaga-jaga di jalan-jalan. Situasi menjadi tegang, mencekam, dan menakutkan. Perempuan dari berbagai agama gagal menampilkan tarian, nyanyian rohani, dll. di panggung budaya, karena khawatir terjadi keributan, pengrusakan, dan kekerasan.
Kasus di atas sepertinya aneh, bertentangan dengan slogan Yogyakarta, city of tolerance. Di sini, ditemukan banyak kelompok etnis dan agama/keyakinan berbeda bertempat tinggal dan hidup berdampingan. Masyarakatnya dikenal sangat ramah, lembut, sopan, dan toleran. Namun, beberapa tahun terakhir, teror, intimidasi, tindak kekerasan, penyerangan, penyesatan, dan intoleransi marak terjadi di Yogyakarta.
Toleransi di Yogyakarta secara perlahan dan pasti mulai terkikis, disebabkan politik identitas yang mendiskriminasikan perempuan bermunculan di institusi pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sekolah negeri mewajibkan murid perempuan berjilbab. Swalayan menerima pegawai hanya dari kalangan muslim dan wajib berjilbab bagi perempuan. Area kos-kos-an bertuliskan ‘hanya menerima kos muslim’. Kantong-kantong perumahan muslim, mengatur penghuni perempuan wajib memakai jilbab bila keluar dari rumah, meski hanya membuang sampah di depan rumah. Tahun 2010, MUI Yogyakarta menggulirkan wacana Yogyakarta sebagai serambi Madinah.
Muncul pertanyaan, apa kaitan antara fenomena ini dengan gerakan fundamentalisme dalam Islam, dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan perempuan? Alternatif apa yang bisa ditawarkan untuk melindungi perempuan?
Karakteristik Fundamentalisme dan Unsur Kekerasan
Penulis merujuk pemikiran Moghissi mengenai karakteristik fundamentalisme. Pertama, anti modernitas, memfokuskan kepada hal-hal di masa lalu dan mengingkari gagasan kemajuan manusia yang universal. Mereka sangat gigih mempertahankan tradisi, Pakaian Arab kuno diyakini sebagai pakaian Islami. Kontrol terhadap perempuan dijadikan sebagai “identitas Islam”. Kedua, Anti demokrasi, mengembangkan sikap eksklusif , terfokus pada umat Islam, sedangkan non muslim dianggap warga kelas dua (ahl-dzimmi). Ketiga, Anti feminisme, yaitu tidak setuju pada gerakan atau faham yang membangun relasi adil gender . Feminisme dianggap bukan dari tradisi Islam dan bertentangan dengan Alquran.
Jelas, kasus di atas adalah contoh dari perilaku gerakan fundamentalisme, yang mengembangkan sikap intoleran, diskriminatif, eksklusif, merasa diri paling benar, menebarkan kebencian dan kekerasan.
Fundamentalisme Islam memandang perempuan sebagai makhluk lemah yang tidak memiliki kekuatan. Otoritas tertinggi berada di tangan laki-laki. Pandangan ini berdasarkan hadis-hadis misoginis dan pemahaman ayat-ayat Alquran secara tekstual. Hasilnya, memunculkan konsep qiwamah (kepemimpinan) dan wilayah (perwalian) yang tidak adil bagi perempuan. Misalnya, poligami, laki-laki pemimpin bagi perempuan, ketaatan istri yang mutlak, pembolehan suami memukul istri, pernikahan usia anak, pemaksaan hubungan seksual terhadap istri, pembatasan ruang aktifitas perempuan, dan sebagainya.
Hal di atas dimaknai oleh fundamentalis sebagai bentuk “perlindungan bagi perempuan”. Makna “perlindungan bagi perempuan” dibangun atas dasar pandangan, yang melihat perempuan hanya sebagai obyek semata yang perlu dijaga. Oleh karenanya, perilaku dan tubuh perempuan harus selalu diawasi dan dibatasi.
Alternatif : Perlindungan Perempuan
Ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk menghalau bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang dikembangkan oleh fundamentalisme di Indonesia. Pertama, upaya reinterpretasi teks-teks agama yang telah dipahami mendeskriminasikan perempuan, dan memunculkan narasi dan teks kesetaraan dan keadilan yang selama ini terabaikan atau terpendam. Kedua, mensosialisasikan secara massif hasil penafsiran berprespektif adil bagi perempuan. Ketiga, bekerja sama dengan ormas-ormas keagaamaan melakukan pendidikan kritis untuk mencapai sebuah kesadaran kritis yang kolektif agar dapat memberikan perlindungan perempuan. Keempat, mendorong pemerintah tetap istiqomah berpijak pada ideologi bangsa dan konstitusi (Pancasila dan UUD45) agar bingkai kebangsaan selalu terjaga untuk menghindari Islamisasi dalam kebijakan publik, yang melanggar hak konstitusional dan akhirnya merugikan perempuan.{}
Enik Maslahah, aktif di Fatayat Nu Kota Yogyakarta dan sedang nyantri di PUP Rahima Angkatan IV.