Associate Professor Gregory Fealy, BA (Hons), PhD (Monash) atau yang  lebih dikenal  dengan Greg Fealy  beberapa waktu lalu berada di  Jakarta untuk suatu tugasnya.  Beruntung, Swara Rahima  bisa bertemu dengan Indonesianist yang selama 5 tahun telah  menjadi Associate Professor pada jurusan Perubahan Sosial Politik pada Australian National University (ANU) di Melbourne, Australia  ini.  Belakangan ia banyak melakukan penelitian mengenai kelompok radikal yang dikenal dengan nama Jihadis; namun tema utamanya tentang Politik Islam Indonesi dimana ia juga meneliti beberapa organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  Siapa sangka, Greg yang sebelumnya bekerja sebagai Analis tentang Indonesia untuk pemerintah Australia ini tadinya adalah seorang guru musik klasik. Suami dari seorang istri dan ayah dari 2 orang anak ini memiliki beragam hobby seperti musik, membaca, serta olah raga ‘ bush walking’ (jalan kaki di tengah hutan) yangmerupakan sebuah olahraga yang hanya ada di Australia.

 

Apa sebenarnya pengertian umum tentang Fundamentalisme?

Secara ilmiah istilah fundamentalisme punya sejarah yang cukup menarik, yang kalau dipakai dengan tepat tidak punya konotasi negatif.  Memang, kata ini seringkali dipakai dengan konotasi negatif sehingga bila menyebut atau mencap seseorang sebagai fundamentalis akan dianggap memojokkan mereka. Awalnya, istilah fundamentalisme dipakai dalam sejarah Ilmu Sosial di Amerika Serikat (AS) untuk menyebut, menggambarkan atau memberikan label bagi kelompok Kristen AS yang sangat literal atau puritan. Kelompok ini menganggap apa yang disebutkan atau dituliskan di dalam kitab suci harus dilaksanakan secara literal, tidak bisa terlalu banyak diinterpretasikan dan harus ditaati sesuai pedoman yang ada. Konteks tidak dianggap penting dan sikap kompromi dianggap kurang saleh. Mereka yang paling saleh adalah yang sangat taat pada firman Tuhan (the words of God) yang disampaikan dalam kitab suci (scripture). Namun belakangan istilah ini lebih sering dipakai untuk menyebut orang beragama Islam yang memiliki sikap sangat keras.

Walaupun banyak nilai yang bisa dicakup dalam istilah itu, tetapi bila kita kembali kepada arti yang murni dan bersifat akademis, maka masih ada gunanya kita pakai istilah fundamentalisme ini. Bila kita mengatakan bahwa kelompok tertentu atau tokoh agama tertentu adalah seorang fundamentalis, bukan berarti itu selalu hal negatif, namun hal itu lebih menjelaskan sikap atau pendekatan mereka terhadap scripture .

Kenapa istilah fundamentalisme seringkali dikaitkan dengan agama?

Karena pada awalnya itu memang dipakai untuk menyebut kelompok penganut agama. Sebenarnya istilah tersebut juga dipakai oleh kelompok lain, namun lebih sering dikaitkan dengan kelompok agama karena dalam agama selalu ada ketegangan isu antara penganut yang skripturalis dengan penganut yang kontekstualis. Jadi, fundamentalisme adalah sebuah istilah untuk menjelaskan kelompok yang lebih bersifat literalis.

Mengapa istilah fundamentalisme sekarang terkesan dekat dengan Islam ?

Saya kira itu karena perkembangan di dunia kontemporer seperti isu terorisme. Sejak tahun 1960-an isu itu sering dikaitkan dengan umat Islam atau kelompok-kelompok Islam di Timur Tengah, di Indonesia ataupun di tempat-tempat lain. Hal itu juga mencerminkan kecemasan banyak pengamat di negara Barat terhadap munculnya kelompok-kelompok Islam  garis keras.  Kemudian mereka cari istilah untuk menjelaskan, namun juga untuk memojokkan kelompok-kelompok yang disebut dengan fundamentalis. Selain itu, kegiatan terorisme di dunia belakangan ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Islam.  Memang bukan semuanya, akan tetapi sebagian besar, seperti Al Qaeda, ISIS, ISIL dan sebagainya. Selain itu media-media Barat sangat mendominasi pemberitaan dan pandangan bahwa fundamentalisme identik dengan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam ini juga mendominasi pola pemikiran orang-orang pemerintah di negara-negara Barat tersebut.  Oleh karenanya, istilah fundamentalisme itulah yang dipakai untuk menjelaskan terorisme.

Sebenarnya saya sangat menyayangkan kecenderungan itu; karena bisa jadi ada seorang agamawan yang fundamentalis, tetapi tidak setuju dengan kekerasan. Dengan demikian pemakaian istilah fundamentalisme menurut saya sudah terlalu luas. Padahal sebaiknya itu hanya dipakai untuk menjelaskan masalah teologi dan sebagainya.

Sebagai seorang Indonesianis (pengamat soal Indonesia), bagaimana Anda melihat gejala merebaknya kembali fundamentalisme di Indonesia?

Saya kira fenomena ini punya sejarah yang usianya hampir sepanjang sejarah Indonesia.  Dan  hal itu  dimulai  semenjak akhir tahun 1940-an. Walaupun selalu ditindas oleh pemerintahan Bung Karno maupun Pak Harto, namun dia hampir selalu tetap ada di bawah tanah. Contohnya Darul Islam (DI), yang dari satu segi bisa saja dia bukan fundamentalis. Jadi  Namun, setelah reformasi dengan kebebasan berasosiasi dan sebagainya, lebih banyak kelompok yang muncul yang memanfaatkan situasi dan juga bersedia menggunakan kekerasan. Mereka juga menyebarkan pandangan yang sangat sempit dalam hal agama. Itu layak saja dalam demokrasi. Semua kelompok bisa muncul, asalkan mereka tidak melanggar hukum, ya biarkan saja. Jadi saya kira ini adalah salah satu fenomena proses politik di Indonesia, yang juga harus dikaitkan dengan perkembangan di dunia Islam. Ini juga terjadi karena dampak globalisasi, misalnya dampak perubahan sosial ekonomi yang begitu cepat di Indonesia, sehingga muncul  masalah identitas. Dan bagi kelompok fundamentalis Islam, isu-isu ini bisa menjadi modal mereka untuk menarik perhatian orang-orang yang merasa kurang puas dengan kehidupannya.

Penting juga untuk dicatat, bahwa di Indonesia fundamentalisme di kalangan Kristen juga sangat berkembang (yang meskipun identifikasinya tidak semudah melihat fundamentalisme Islam), namun kini juga banyak gereja-gereja Evangelical yang bertumbuh dengan cepat dan semakin banyak pengikut.

 

Ciri-ciri apa yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi atau membaca gejala-gejala adanya fundamentalisme?

Terlalu banyak perdebatan tentang hal ini di kalangan pakar agama dan pakar sosiologi agama, baik di Indonesia maupun di negara-negara Barat. Ada pendekatan psikologis, ada pendekatan sosio-ekonomi, ada pendekatan teologis. Jadi, ini sangat tergantung pada latar belakang peneliti yang sedang mengkaji masalah itu.

BUntuk kebanyakan kasus, biasanya tidak dimulai dari masalah agama. Ada masalah psikologis, keluarga, ekonomi yang bisa menjadi faktor primer. Faktor ideologi atau faktor agama menjadi faktor sekunder. Jadi misalnya ada seseorang yang mengalami krisis identitas karena mungkin mereka tengah merasa kurang puas dalam keluarga, atau di sekolah dan sebagainya,  dan  mereka tidak tahu arah mana yang akan mereka pilih. Saat mereka mencari identitas yang dianggap pas dengan diri, . Saat pencarian identitas itu. mereka akan sangat rawan menerima ideologi yang nampaknya bisa membuat mereka menemukan semua jawaban dari apa yang tengah mereka cari.  Oleh karenanya mereka bersedia menerima pengertian fundamentalis.

Tetapi saya kira, kita tidak bisa memperhatikan satu faktor saja. Kita harus mengkaji setiap kasus, karena setiap kasus pasti punya dinamika tersendiri. Oleh karenanya, sebaiknya kita tidak mulai dari isu agama atau masalah  ideologi, namun melihatnya dari faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran seorang fundamentalis, sebelum mereka jadi fundamentalis. Jadi proses ini tidak tiba-tiba dan banyak sekali sebabnya.

 

Doktrin-doktrin keagamaan apa saja yang biasanya berkembang di kalangan kaum fundamentalis?

Biasanya doktrin itu adalah  doktrin yang memberikan satu jawaban untuk berbagai masalah yang dihadapi oleh umat atau agamawan itu. Satu jawaban itu membuat mereka menafikan atau menolak interpretasi  maupun ajaran lain. Kelompok yang paling terkenal dalam hal ini misalnya adalah komunitas Salafi. Komunitas Salafi sebenarnya adalah kelompok yang tidak begitu besar, akan tetapi dalam diri mereka terjadi saling berebut klaim untuk menjadi kelompok ‘yang paling benar’. Bila ada perbedaan, walaupun untuk hal yang kecil saja dalam sebuah isu hadis misalnya, maka perbedaan kecil itu bisa menjadikan alasan bagi mereka untuk mengutuk komunitas Salafi lain; serta menganggap diri mereka adalah satu-satunya yang paling benar. Jadi seperti ada perlombaan kesalehan di antara kelompok itu.

Selain itu, biasanya kelompok tersebut tidak menyambut baik diskusi atau pemikiran kritis tentang ajarannya. Mereka ingin pengikutnya menerima dan melaksanakannya, serta harus taat pada ajaran itu. Mereka menganggap salah atau dosa kalau ada seseorang yang  mempertanya-kan ajaran-ajaran mereka. Dalam semua kelompok fundamentalis, seringkali ada semacam perlombaan kesalehan di antara mereka. Baik di komunitas Kristen maupun Islam.  Mereka jadi tidak punya sikap kritis karena tidak boleh mempertanyakan pengetahuan pemimpin kelompok dan sebagainya.

 

Bagaimana kelompok fundamentalisme ini melihat fenomena pluralisme yang terjadi di masyarakat?

Mereka menganggap itu sebagai  ancaman, karena seringkali mereka salah paham dalam memahami arti pluralisme dan praktiknya. Misalnya kalau melihat Fatwa MUI No. 25 tentang Sekulerisme Pluralisme dan Liberalisme (Sepilis), ya definisinya itu salah. Definisi itu berasal dari kamus yang sangat tua yang dimiliki oleh KH. Ma’ruf Amin.  Pluralisme itu tidak berarti menganggap semua agama itu sama-sama benar, dan yang penting ada toleransi atau pemahaman dengan ajaran lain.

Untuk kelompok Islam  yang anti plural, biasanya mereka menganggap kalau  mereka mengakui bahwa agama lain sama benarnya dengan agama mereka, itu membuka pintu kemurtadan.  Seringkali  ada basis pemahaman anti pluralisme yang ditemukan dalam kelompok Islam. Dan memang threat perception (persepsi ancaman) dalam kelompok fundamentalis Islam adalah persoalan besar bagi mereka, karena ini menyangkut soal Kristenisasi dan sebagainya. Itu sebenarnya adalah paranoia. Tapi itulah konsep. Bila ada sesuatu yang dianggap  memperlemah integritasnya, pasti mereka akan segera menolaknya.

 

Bagaimana dampak fundamentalisme ini kepada nasib kaum perempuan?

Seringkali dampaknya sangat negatif pada kaum perempuan, terutama pada hak-hak kaum perempuan. Baik dalam umat Kristen fundamentalis maupun  kelompok Islam fundamentalis, perempuan dianggap sangat subordinat. Mereka harus mengikuti perintah atau keinginan suaminya atau laki-laki dalam keluarga. Perempuan juga dianggap memiliki peranan yang sangat terbatas dalam ajaran agama, di masyarakat, dan sebagainya. Akibatnya, menurut saya dampaknya sangat buruk untuk perempuan.

Kaum fundamentalis Kristen misalnya, juga sangat picik dalam isu-isu seperti pernikahan, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Mereka ingin menyerahkannya kepada laki-laki untuk memecahkan masalahnya.  Dan saya kira itu merugikan posisi kaum perempuan. Dan menurut saya, persoalan itu  terjadi akibat  pemahaman keagamaan mereka yang sangat fundamental.

 

Jadi bisakah dikatakan bahwa ciri-ciri fundamentalis antara lain anti kemajemukan, anti kesetaraan gender, dan permisif pada kekerasan?

Tidak selalu. Sering sekali orang fundamentalis menganggap bahwa mereka tinggal dalam dunia yang sangat kotor, penuh maksiat, immoralitas, dan sebagainya. Mereka merasa sangat terancam, identitas mereka juga terancam, dan terutama kalau mereka tinggal di kota besar. Ada begitu banyak godaan, ada begitu banyak media dari luar negeri, jadi mereka merasa sangat tertekan. Oleh karena itu mereka  mencari kepastian. Dan seringkali agama -baik agama Kristen, agama Islam, atau agama lainnya- memberi semacam kepastian bila mempunyai  dokrin dan  pemahaman yang fundamental, yang tidak terlalu banyak membahas pembahasan soal ayat yang ini atau yang itu.

Apa yang tertera dalam ayat-ayat itu, langsung dilaksanakan secara mutlak. Tidak pakai hermeneutika, tetapi yang gampang-gampang saja pemahamannya. Dan, kalau pola pemikirannya hitam putih, mereka sangat senang. Mereka tidak mau berspekulasi tentang tafsiran dan sebagainya agar segera mendapatkan adanya  kepastian dalam diri mereka sendiri. Jadi globalisasi dan perubahan yang begitu cepat bisa menjadi faktor yang mempengaruhi munculnya sikap fundamentalis, selain soal faktor pribadi.

 

Belakangan banyak muncul perda-perda diskriminatif atas dasar pemahaman agama,  misalnya soal larangan pelacuran yang rumusannya sedemikian memojokkan perempuan, juga soal aturan tata cara berpakaian. Bagaimana anda melihat aturan-aturan tadi? Adakah hal tersebut berkaitan dengan pemahaman fundamentalisme? Bagaimana bila pemahaman semacam ini masuk ke wilayah Negara?

Kalau kita melihat perda-perda Syariat, itu seolah-olah laki-laki fundamentalis ingin memakai perempuan sebagai simbol kesalehan mereka. Dan semua ongkos ataupun peraturan yang sangat ketat dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Dan saya kira mereka ingin membalikkan pertanggungjawaban atas perilaku yang kurang moral, yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan blame shifting atau dipindahkan kepada kaum perempuan. Saya kira sangat bahaya kalau itu masuk ke wilayah Negara.

Sebenarnya, kaum perempuan seringkali jadi korban dari proses Islamisasi yang fundamentalis. Selain itu,  masalah pelacuran itu tidak bisa diperbaiki dengan peraturan seperti pengaturan pakaian perempuan atau jam malam dan sebagainya. Ironisnya, hal ini bisa dilihat di mana saja, di kota-kota yang punya perda Syariah seperti di Tasikmalaya, Tangerang, dan lain-lain.

 

Mengapa ada kelompok fundamentalis yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan?

Saya kira jawaban ini sedikit rumit. Kadang-kadang mereka putus asa dengan polisi terkait moralitas masyarakat. Aparat tidak bertindak, tidak menjunjung tinggi maupun menggunakan undang-undang. Jadi mereka merasa harus bertindak sendiri, karena bila tidak maka moralitas masyarakat tidak bisa dijamin. Selain itu ada faktor psikologis juga. Banyak orang yang masuk kelompok fundamentalis adalah orang yang pemarah. Mereka kurang puas dengan situasi, merasa terancam, atau ada instabilitas dalam identitas mereka. Jadi dengan cepat itu bisa memunculkan kekerasan.

Selain itu juga karena pemahaman agama mereka yang sangat hitam putih,  sehingga mereka menganggap ada musuh besar dimana mereka  harus menghantam.  Mereka tidak mau mencoba memahami masalah secara lebih mendalam kenapa ada pelacuran atau perjudian. Dengan  menelaahnya lebih jauh mungkin mereka bisa memahami,  akan tetapi mereka tidak mau ke arah itu. Menurut mereka, ini sesuatu yang salah menurut Alquran,  sehingga mereka  harus segera menghentikannya,  mungkin termasuk dengan cara  menyerang. Dan itulah masalahnya, yaitu gaya atau pola pemikiran mereka yang sangat simplistis.

 

Adakah kaitannya fundamentalisme ini dengan gerakan  yang bersifat transnasional ?

Ya jelas ada. Misalnya dengan kelompok-kelompok seperti HTI, Jama’ah Tabligh, Salafisme, PKS, dan Ikhwanul Muslimin. Ada banyak sekali pemahaman fundamentalis yang masuk ke Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Meskipun perlu saya garis bawahi hanya sebagian kecil yang pakai kekerasan,  namun sekarang pemahaman fundamentalisme ini sangat laku di Indonesia. Saya kira gejala ini diengaruhi oleh sistem ekonomi, sosial ekonomi, sistem politik. Jadi terdapat berbagai macam faktor. Saya melihat situasi sekarang seperti ada pasar agama dimana semua orang bisa mencari agama apapun baik  melalui internet, melalui para dai-dai, juga di gereja (untuk yang Kristen). Ada sangat banyak variasi agama di Indonesia. Saya kira dalam masyarakat yang cukup bebas dan demokratis, saya bisa menyambut baik proses ini yakni bahwa semua orang bisa bebas mencari agama yang sesuai dengan keinginan mereka. Baik itu yang pluralis maupun fundamentalis.

 

Sayangnya di Indonesia ada pembatasan mengenai jumlah agama atau sekte yang diakui oleh Kementerian Aagama. Agama yang tidak diakui negara tidak bisa melakukan kegiatannya. Saya kembali ke isu, layakkah pemerintah kembali melakukan campur tangan ke dalam urusan agama bila kehidupan agama tidak mengganggu orang lain? Menurut saya ini adalah salah satu aspek kehidupan beragama di Indonesia yang layak dipertanyakan. Mudah-mudahan pemerintah baru nantinya akan lebih toleran.

 

Apa upaya yang bisa dilakukan oleh individu, masyarakat maupun negara untuk menghadapi fundamentalisme?

Saya kira bagi negara, bukanlah tugas mereka untuk membujuk masyarakat agar jangan mempunyai perilaku yang fundamentalis. Bagi kelompok agama yang non fundamentalis mereka bisa berdebat, bisa saling bertukar pendapat, dan bisa memberikan contoh yang baik sekali apabila  menemukan ada undang-undang yang dilanggar, lalu polisi bisa melakukan intervensi.

Menurut saya, sistemnya perlu lebih terbuka dan bebas. Jadi tugas pemerintah adalah menciptakan sistem sehingga lebih terbuka. Bila pemerintah punya preferensi untuk mengembangkan pemahaman agama yang lebih moderat, mereka bisa menyampaikan argumen untuk mendukung pemahaman itu. Jangan hanya mengutuk orang yang mempunyai pemahaman fundamentalis saja. Misalnya, apabila Menteri Agama memberikan pemahaman dan menjelaskan kenapa tidak sepaham dengan kelompok Salafi yang mengutuk Yasinan,  jelas itu membuat ketegangan dan menyerang pemahaman agama orang lain. Dari pada menyerang pemahaman orang ataupun melempar ide liar yang nantinya akan merisaukan banyak orang; lebih baik dibiarkan saja. Saya kira itu tidak akan menimbulkan banyak kerugian dalam masyarakat Indonesia.

Jadi terkait intervensi pemerintah dalam urusan agama,  sebaiknya mereka janganlah melakukan campur tangan terlalu banyak walaupun memang hampir selama 50 tahun berlangsung begitu.  Sebaiknya,  secara prinsip ada kebebasan beragama di Indonesia dan pemerintah hanya campur tangan kalau ada hal-hal yang mengancam ketertiban atau melanggar hukum. Itu saja. {} AD. Kusumaningtyas

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here