Site icon Swara Rahima

Inayah Rochmaniyah, PhD.: Pandangan Keagamaan Fundamentalis Bercorak Androsentris, Patriarkhal dan Seksis

Inayah Rochmaniyah, PhD., Dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Perempuan yang menyelesaikan studi S1-nya pada Jurusan Tafsir Hadis di almamater tempat ia mengabdi ini sekarang menjabat sebagai Ketua Jurusan Sosiologi Agama. Gelar Masternya diperoleh  dari dua universitas, yaitu Jurusan Filsafat di UGM Yogyakarta, dan dalam bidang Studi Agama di Arizona State University, USA. Inayah yang meraih Doktornya dalam bidang studi agama di Indonesian Consortioum for Religious Studies (ICRS), juga aktif melakukan berbagai penelitian. Ia juga pernah bergabung di beberapa lembaga seperti Pusat Studi Kependudukan dan Kawasan (PSKK) UGM,  menjadi Pengurus Harian Daerah PKBI DIY, steering committee Komunitas Indonesia untuk Adil dan Setara (KIAS), dan juga tengah menjabat sebagai Direktur Lampu Merapi: Lembaga Studi Islam dan Toleransi  untuk masa bakti 2013-2018. Berikut hasil sajian wawancara  Swara Rahima.

 

Bagaimana Anda melihat fundamentalisme yang berkembang akhir-akhir ini?

Fundamentalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai paham atau aliran yang ingin mengembalikan tatanan sosial yang dipandang sudah tidak sesuai dengan paham keagamaan yang mereka yakini, karena dipandang sebagai tatanan yang dibangun oleh manusia yang bersifat non Ilahiyah (dianggap sebagai sekuler), kepada tatanan yang Ilahiyah. Mereka ingin mengembalikan peran agama dan peran Tuhan dalam kehidupan.

Secara metodologis, fundamentalisme sebagai sebuah aliran atau faham keagamaan memahami teks agama (dalam konteks Islam, Alquran  dan Hadis) secara tekstual, deduktif dan parsial. Bagi kelompok ini teks itu sendiri adalah kebenaran final sehingga kecenderungan pendekatan terhadap teks bersifat teologis-normatif dan mengesampingkan aspek historisitas teks. Mereka biasanya menyandarkan pemahaman agamanya pada pimpinan yang dianggap kharismatik dan memiliki otoritas keagamaan. Tradisi yang berkembangan di kelompok ini dalam proses internalisasi agama adalah tradisi oral (lisan).

 

Mengapa gejala fundamentalisme belakangan ini semakin permisif terhadap bentuk-bentuk kekerasan?

Fundamentalisme sebenarnya tidak menjadi ancaman jika tidak mengarah pada radikalisme, yaitu keinginan dan upaya untuk melakukan perubahan secara menyeluruh tatanan sosial sesuai dengan pemahaman/keyakinan yang dipegang. Radikalisme selanjutnya menjadi persoalan sosial yang berbahaya ketika menggunakan kekerasan atas nama agama. Persoalannya, fundamentalisme di Indonesia dalam batas tertentu akhir-akhir ini mengarah pada radikalisme dan bahkan dalam batas tertentu menggunakan agama sebagai justifikasi melakukan kekerasan. Keinginan kuat dan usaha untuk merubah masyarakat sesuai dengan keyakinan atau paham agama yang diyakini berpotensi memunculkan kekerasan, baik fisik maupun psikologis.

 

Mengapa Anda tertarik untuk mengkaji soal Fundamentalisme dalam Disertasi Anda? Apa tujuannya?

Fundamentalisme menarik untuk dikaji sebab di satu sisi ada kecenderungan munculnya penilaian yang digeneralisasi bahwa fundamentalisme selalu identik dengan kekerasan. Sementara, di sisi lain perempuan seringkali menjadi simbol yang efektif yang menandai anggota sebuah kelompok fundamentalis untuk membedakan dengan mereka atau kelompok di luar mereka yang bukan anggota. Tujuan penelitian saya untuk menunjukkan bahwa fundamentalisme tidak selalu identik dengan kekerasan, karena seseorang bisa saja memiliki pandangan teologis yang fundamentalis atau bahkan radikal, tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari mereka inklusif dan menghargai perbedaan.

Lebih dari itu, saya ingin menunjukkan agensi perempuan yang berada dalam kelompok tersebut. Pandangan umum menganggap perempuan dalam kelompok fundamentalis atau radikal pasif, submissif dan menjadi simbol diskriminasi yang sempurna. Saya ingin melihat dan menunjukkan bahwa perempuan-perempuan yang terlibat di kelompok fundamentalisme dalam batas tertentu aktif, powerful dan memiliki strategi atau cara untuk mengadapi struktur yang patriarkhi di kelompoknya.

 

Seperti apakah gejala-gejala itu muncul? Bisakah dilihat bagaimana tanda-tandanya?

Di antara beberapa karakteristik gerakan atau aliran fundamentalisme adalah: pertama, mendasarkan argumentasinya pada  pemahaman yang literal terhadap teks Islam tanpa banyak perdebatan teologis atau interpretasi; kedua mengagungkan dan mengidealisasikan masa keemasan Islam sebagai model; ketiga menciptakan masyarakat ideal berdasarkan doktrin Islam (sebagaimana yang mereka pahami) dalam konteks realitas kontemporer; keempat, terorganisasi dalam sebuah jaringan dengan seorang pimpinan, biasanya yang dipandang sebagai pimpinan kharismatik, dalam rangka menyebarkan ideologi dan memonitor anggotanya; kelima, menentang secara aktif modernisme dan Barat Modern terutama konsep materialisme, sekularisme dan individualisme; keenam, penolakan dan kebencian terhadap segala sesuatu yang berbau Barat; ketujuh, memiliki tradisi teodisi (pandangan tentang turut campurnya Tuhan dalam menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia) untuk menjelaskan dan menjustifikasi penderitaan atau tantangan yang mereka hadapi. Karakteristik atau gejala lain yang juga nampak adalah identitas kolektif yang kuat, seperti dalam hal pakaian, bahasa, dan eksklusifitas.

Gejala fundamentalisme di Indonesia dapat dilihat dari merebaknya kelompok-kelompok yang memiliki karakteristik di atas, dan terlebih identitas kelompok eksklusif yang nampak di masyarakat. Di antara identitas tersebut adalah pakaian atau penampilan khas yang menandai kelompok tertentu, bahasa yang khas dan berbeda dengan bahasa umum yang digunakan masyarakat, dan berbagai kegiatan serta eskpresi yang menunjukkan eksklusifitas kelompok tersebut.

 

Beragam peraturan dan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan mengatas-namakan agama muncul dimana-mana. Apakah ini juga merupakan gejala fundamentalisme?

Ya. Sejauh fundamentalisme dipahami sebagai paham atau gerakan yang ingin mewujudkan tatasan sosial Ilahiyah sebagaimana yang mereka pahami, maka kebijakan yang mengatasnamakan agama merupakan pertanda fundamentalisme. Dalam konteks ini, pemahaman agama kelompok tertentu diangkat menjadi peraturan atau kebijakan yang berlaku bagi masyarakat luas dan secara politis menjadi strategi untuk menciptakan tatanan sosial yang dianggap religius. Agama, atau lebih tepatnya pemahaman keagamaan kelompok tertentu dan politik menjadi rancu.

Hal berbahaya yang seringkali muncul adalah ketika di satu sisi agama dipersempit menjadi pemahaman sekelompok Muslim yang permisif terhadap kekerasan atas nama penegakkan agama, sementara di sisi lain masyarakat menganggap pemahaman tersebut sebagai agama itu sendiri. Agama Islam dengan nilai-nilai universalnya yang normatif (seperti tauhid, keadilan, kedamaian, musyawarah, anti kekerasan, dst) direduksi menjadi pemahaman sekelompok Muslim yang bersifat parsial, primordial dan lebih bahaya lagi mengatasnamakan agama untuk membenarkan diskriminasi dan melakukan kekerasan.

 

Mengapa kebanyakan aturan yang muncul itu menyasar pada perempuan? Apa dampaknya pada perempuan?

Perempuan seringkali menjadi simbol yang paling efektif untuk membedakan anggota satu kelompok fundamentalis dari orang luar. Identitas kelompok yang ditandai dengan pakaian misalnya, lebih kentara dan mudah dikenali ketika perempuan mengenakan pakaian tertentu, dengan model, ukuran, bahkan warna tertentu yang merupakan representasi identitas kelompok. Selain itu, berabad-abad sejarah perkembangan Islam dan pemahaman keagamaan didominasi oleh kecenderungan androsentrisme, sexis dan patriarkhi. Androsentrisme artinya bahwa tradisi-tradisi agama dikonstruksi, dikembangkan oleh dan dari perspektif laki-laki, dan oleh karenanya yang menjadi fokus utamanya adalah pengalaman laki-laki. Sementara itu, patriarkhi menunjukkan adanya dominasi dan superioritas laki-laki dalam wacana dan sejarah agama.

Agama atau pemahaman (tafsir) agama, pada akhirnya menjadi sexis, artinya pemahaman agama yang dominan memberikan keistimewaan kepada laki-laki dan pengalaman laki-laki serta menempatkan laki-laki sebagai superior, dan pada saat yang sama menempatkan perempuan lebih rendah dan menganggapnya sebagai pihak yang inferior. Oleh karena itulah perempuan seringkali ditempatkan sebagai obyek berbagai aturan.

 

Bagaimana biasanya kelompok fundamentalis ini melihat keberadaan perempuan?

Dalam hegemoni pemahaman dan kultur agama yang androsentris, sexis dan patrarkhi, perempuan biasanya ditempatkan sebagai obyek dan orang kedua yang secara subordinatif berada di bawah laki-laki. Pengalaman dan konstribusi perempuan terhadap agama tidak mendapatkan tempat dalam sejarah dan wacana agama. Perempuan seakan tidak bersuara dan terpingirkan dari proses formulasi doktrin-doktrin dan kepercayaan agama, dan dengan demikian lenyap dari sejarah agama. Paham agama yang patriarkhal, androsentris dan sexis pada gilirannya melahirkan perbedaan gender (gender differentiation), segregasi gender (gender segregation) dan ketidakadilan gender (gender injustice), dimana perempuan pada umumnya didiskriminasikan dan mendapatkan ketidakadilan.

Kelompok fundamentalis melihat keberadaan dan menempatkan perempuan berdasarkan pemahaman dan kultur agama yang demikian. Oleh karena itulah, kelompok ini ditandai dengan pembedaan peran gender dan wilayah kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dipandang tepat dan sudah takdirnya berada di rumah mengerjakan pekerjaan domestik dan melayani anggota keluarga.

Peran utama perempuan menurut kelompok fundamentalis adalah sebagai istri dan ibu yang identik dengan melayani, mengasuh dan menjaga keutuhan keluarga. Pendefinisian peran domestik yang rigid biasanya melahirkan beban ganda ketika pada kenyataannya para perempuan yang ada di dalam kelompok tersebut juga aktif di luar rumah, setidaknya aktif melakukan dakwah di masyarakat.

 

Mengapa selalu ada upaya kontrol atas tubuh perempuan dan pembatasan geraknya di ruang publik?

Perempuan seringkali dipisahkan secara rigid dari dunia laki-laki karena konstruksi seksualitas kelompok fundamentalis yang menempatkan tubuh perempuan sebagai sumber godaan dan segala macam fitnah. Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai sumber godaan seksual berimplikasi pada upaya untuk mengontrol tubuh perempuan dan pembatasan atau peminggiran perempuan di wilayah publik karena tubuh bahkan suara perempuan dianggap aurat.

 

Fenomena terkini, para perempuan juga tak hanya berada di ranah domestik. Mereka seringkali menjadi garda terdepan demonstrasi menggaungkan penerapan Syariat Islam bahkan ada yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Ya, tidak sedikit perempuan dalam gerakan fundamentalis berpartisipasi secara aktif di wilayah publik untuk melakukan agenda dakwah dan mensosialisasikan gagasan domestifikasi perempuan. Idealisme kewajiban melakukan dakwah juga mendorong perempuan, atau agensi perempuan, untuk turut berpartisipasi dalam berbagai aksi dan demonstrasi memperjuangkan agenda kelompok, termasuk agenda penerapan syariat Islam sebagaimana yang mereka pahami.

 

Bagaimana cara mereka melakukan indoktrinasi ini?

Mereka melakukan berbagai upaya indoktrinasi setidaknya melalui tiga lembaga yang paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai, termasuk nilai agama, yaitu lembaga agama (masjid, pesantren, dll), sekolah dan keluarga. {} AD. Kusumaningtyas

 

 

Similar Posts:

Exit mobile version