Sumber gambar:pexels.com
Oleh : Ziriyanti Sita Resmi
Jika mengingat tujuh tahun yang lalu, ketika masih berada di pesantren yang terletak di pedesaan, muncul pendapat bahwa jilbab merupakan simbol untuk membedakan muslimah yang baik dan tidak baik. Tidak jarang kami (para santri) memandang miring perempuan dewasa yang tidak mengenakan jilbab. Kami secara tidak sadar menjadi menutup diri dari dunia luar, khususnya dengan mereka yang ’kostumnya’ tidak sama dengan yang kami kenakan. Pesantren dengan berbagai doktrin keagamaan yang sangat pantang untuk dilanggar, membentuk pola pikir para santri sehingga menjadi sangat kokoh mengenai jilbab. Jilbab menjadi hal yang ’suci’ dan wajib untuk dikenakan oleh perempuan muslimah yang sudah menginjak aqil-baligh.
Pada waktu itu tidak pernah terfikir oleh kami untuk mempertanyakan kenapa kita harus mengenakan pakaian Islami itu. Padahal kami dengan jelas melihat bagaimana potret sejarah alumni santriwati pesantren kami yang pada zamannya menggunakan model jilbab yang berbeda dengan yang kami kenakan. Kalau era sebelum kami, jilbabnya model selendang yang menutupi rambut tanpa menutupi leher. Di era kami, jilbabnya harus mengenakan peniti/jarum pentul agar bagian leher dan dada tertutupi oleh kerudung.
Setelah lulus dari pesantren saya mulai mempunyai pemikiran yang berbeda. Terutama setelah melihat dunia luar yang penuh dengan berbagai realita kehidupan masyarakat luas. Saya mulai bertemu dengan perempuan-perempuan muslim yang walaupun tanpa mengenakan jilbab mereka sungguh luar biasa dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kesadaraan sosial untuk saling menolong sesama dengan cara-cara yang mulia. Ini membuat saya berpikir bahwa jilbab bukanlah alat untuk mengukur keimanan seseorang. Realitas juga membuka mata saya, bahwa di luar sana banyak orang yang berjilbab melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslimah. Ini juga membuka kesadaran saya bahwa Islam bukan hanya soal cara berpakaian, tapi lebih dari itu.
Ketika saya hijrah ke pesantren di daerah kota, saya menemukan realitas berjilbabyang sangat berbeda jauh dengan pesantren di pedesaan. Berbagai model dan warna jilbab, juga cara mengenakannya banyak saya jumpai. Saya juga menemukan cara berjilbab acapkali digunakan sebagai alat pembeda antar golongan.Misalnya bagi mereka yang belum menutup rapat jilbabnya diasumsikan kurang shaleh sehingga memunculkan persepsi negatif di kalangan pemakai jilbab lainnya. Meskipun dalil yang digunakan untuk berjilbab merujuk pada teks yang sama namun cara penafsiran yang berbeda menjadikan semakin banyak perbedaan cara berjilbab.
Istilah jilbab digunakan dinegeri berpenduduk muslim lain sebagai jenis pakaian dengan penamaan yang berbeda. Di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki charshaf, dan tudung di Malaysia, sementara di negara Arab-Afrika di sebut hijab. Di Indonesia, kata “jilbab” digunakan secara luas sebagai busana kerudung yang menutupi sebagaian kepala perempuan (rambut dan leher) yang dirangkai dengan baju yang menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Kata ini masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada tahun 1990 bersamaan dengan mulai populernya penggunaan jilbab di kalangan muslimah perkotaan. Dalam kosakata bahasa Indonesia menurut KBBI, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai ke dada. Secara umum mereka yang menutupi bagian itu disebut orang yang berjilbab.
Jika menengok sejarah, jilbab di Indonesia mulai marak ketika pada akhir 1980-an ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab dimanapun berada. Bagi mereka, jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya.
Belakangan ini, istilah jilbab semakin ramai dibahas. Muncul juga istilah-istilah lain seperti kerudung, khimar, hijab, dll. Perempuan yang notabenenya adalah pengguna jilbab tentu ikut terseret dalam arus konflik istilah tersebut. Sering kali suatu istilah jilbab menjadi ciri khas golongan tertentu. Berbagai kepentingan golongan yang mengatasnamakan agama kini juga membawa perempuan kembali menjadi alat untuk menjatuhkan golongan agama lain. Setiap golongan berlomba untuk membuat ‘hukum-hukum’ baru tentang cara berjilbab. Perempuan menjadi icon penting untuk melegalkan pergunjingan pada golongan lain. Dengan hal tersebut maka esensi jilbab semakin kabur.
Tak hanya tentang jilbab, busana muslimah pun menjadi trend akhir-akhir ini. Para perancang busana berlomba untuk menciptakan karya agar digandrungi masyarakat. Berbagai model dan corak diciptakan untuk menarik hati para konsumen. Bahkan saking trend nya busana muslim, banyak masyarakat yang dulu dalam keseharian tidak mengenakan busana muslimah kini beramai-ramai mengganti busana mereka. Mereka rela merubah penampilan yang dulunya terbuka menjadi tertutup demi trend fashion yang sedang marak.
Dengan demikian jilbab mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius, terkadang jilbab tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, atau jilbab menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial. Jilbab juga menjadi simbol segregasi gender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran perempuan, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks.
Karena jilbab merupakan simbol umat muslim di Indonesia, tentunya cara berjilbab sangat mempengaruhi pandangan orang tentang agama kita. Pakaian merupakan cerminan dari diri seseorang, maka dari itu sikap bijak dibutuhkan untuk menyikapi cara berbusana pada zaman sekarang. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya. Tetapi menurut saya, hendaknya cara kita berjilbab tidak menghilangkan esensi jilbab yang telah diajarkan oleh agama. {}