Tentu saja ada motivasi beragam yang mendorong seorang perempuan untuk memilih mengenakan atau tidak mengenakan jilbab. Penelitian yang dilakukan oleh Desi Erawati di kalangan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyebutkan setidaknya ada 5 motivasi yang melatarbelakangi seseorang mengenakan jilbab. Yaitu: 1). Kesadaran untuk menjalankan agama dan memperoleh ridha Allah swt. 2). Demi keamanan dan menjaga diri, 3). Mematuhi peraturan yang berlaku. 4). Alasan etika dan estetika, dan 5). Untuk mengontrol tingkah laku.[i]
Hasil penelitian tersebut senada dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Budiastuti di Jakarta yang menyebutkan bahwa beragam motivasi atau alasan perempuan untuk berjilbab di antaranya adalah 1). Praktik agama, 2). Perasaan (psikologis), 3). Penampilan (estetika atau mode), dan 4) Sosiologis (interaksi dan relasi sosial). Di antara hal-hal yang dimaknai dengan praktik keagamaan adalah karena seseorang telah memiliki pengetahuan keagamaan tentang isu jilbab yang dalam praktik mereka berbeda bentuk pilihannya karena pemahaman yang beragam soal ‘aurat’, merasa telah mendapatkan penjelasan melalui kelompok pengajian, maupun telah menunaikan ibadah haji. Sementara, alasan psikologis di antaranya adalah takut pada guru ngaji, khawatir tentang kemungkinan terjadinya pelecehan seksual, tidak merasa nyaman dalam lingkungan yang mayoritas mengenakan jilbab, atau karena alasan lain seperti tradisi maupun nadzar karena telah sembuh dari sakit. Adapun alasan estetika atau mode, di antaranya adalah supaya terlihat cantik, menarik, namun praktis sehingga tidak perlu sering pergi ke salon, tidak perlu sering menyisir rambut atau untuk menutupi uban. Dan alasan sosiologis di antaranya adalah karena solidaritas sosial mengikuti teman-teman yang telah berjilbab, karena posisi sebagai Ketua Majelis Taklim, maupun adanya tekanan sosial yang memaksa mereka untuk mengenakan jilbab.[ii]
Di berbagai negara, termasuk dimana muslim adalah minoritas, jilbab merupakan ekpresi atas politik identitas maupun alat negosiasi politik. Di Iran, pada masa-masa awal penggulingan rezim Shah Iran dan hadirnya gerakan revolusi menuju Republik Islam Iran jilbab digunakan untuk mengidentifikasi siapa pihak-pihak yang pro status quo dan pro revolusi. Awal kehadirannya, jilbab menjadi simbol untuk melawan hegemoni penguasa. Namun, dalam perkembangan berikutnya, jilbab yang akhirnya menjadi sedemikian masif berubah menjadi pembatasan terhadap dunia luar, sehingga banyak pihak merasa tak lagi leluasa untuk berdiskusi secara terbuka ataukah sekedar untuk membincang karya sastra.[iii] Di Turki, bahkan kalangan feminis muslim mengenakan jilbab untuk melawan pemaksaan sekularisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun untuk mencairkan ketegangan hubungan antara barat dengan Islam. Jilbab di Turki juga sempat mengundang pro-kontra karena Ibu Negara Hayrunnisa Gul, istri Presiden Turki serta Emine Erdogan, istri Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan juga mengenakan jilbab. Namun banyak aktivis yang memilih untuk berjilbab atau setidaknya mendukungnya menggunakan jilbab untuk melawan hegemoni pandangan keagamaan yang tidak membebaskan yang selama ini dianut oleh negara. Tak hanya dengan jilbab, mereka bahkan menolak donasi dari lembaga-lembaga dari luar negeri dan hanya menerima dari apa yang mereka kumpulkan secara mandiri maupun donasi dari para suami mereka. Pilihan-pilihan ini mereka anggap penting untuk menghindarkan tudingan bahwa ada kepentingan asing di balik aktivisme yang mereka lakukan. Sementara itu, di Belanda jilbab banyak dipakai oleh perempuan muslim yang merupakan imigran yang berasal dari Maroko yang mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang di tempat itu. Adapun ketegangan hubungan antara ’negara’ dan komunitas muslim sempat muncul pelarangan jilbab sempat terjadi di Jerman dan Perancis karena jilbab adalah identitas yang paling kentara. Namun sesungguhnya hal ini tidak serta merta bisa dipahami sebagai fenomena Islamophobia. Ketegangan ini hadir karena idealisasi mereka tentang ’welfare state’ yang telah mereka rancang melalui sistem kesejahteraan (termasuk dalam hal pembatasan jumlah anak) harus bertubrukan dengan nilai-nilai yang dibangun oleh pendatang (muslim yang berasal dari Timur Tengah seperti Maroko) yang dianggap beranak pinak ’seenaknya’ di negeri yang dibangun oleh nenek moyang mereka. [iv]
Dalam perkembangan terakhir, jilbab dipandang sebagai isu hak asasi manusia; terutama terkait dengan hak atas otonomi tubuh maupun hak untuk mengekspresikan identitas keagamaan. Oleh karenanya, berjilbab atau tidak berjilbab merupakan pilihan pribadi seseorang yang harus dihormati dan mendapatkan ruang untuk diekspresikan secara terbuka. Dengan demikian, sesungguhnya kewajiban negara adalah memastikan bahwa perempuan bisa mengekspresikan pilihan individunya tanpa tekanan, apakah dia akan berjilbab atau tidak. Negara juga tidak perlu mengintervensi pilihan itu, atau bahkan membebankan hal tersebut menjadi urusan negara. Seperti misalnya, terkait dengan seragam Polwan (polisi wanita) mau berjilbab atau tidak, serahkan saja pada individu yang bersangkutan, negara tidak perlu repot-repot turun tangan untuk pengadaan busana muslim sebagai bentuk seragam baru Polwan. Mengingat, bila hal ini terjadi tidak menutup kemungkinan bahwa suatu hari muncul ekspresi identitas keagamaan baru (seperti pengadaan salib/rosario ataupun baju model bikhuni) yang juga harus difasilitasi oleh negara.[v]
Memahami beragam motivasi perempuan mengenakan jilbab sebagaimana disebutkan dalam bagian tulisan di atas, dimana salah satunya adalah ”mengikuti peraturan” sepertinya kita perlu mengkritisi beragam Perda dan Kebijakan tentang busana muslim yang berkembang hingga saat ini. Dalam situasi dimana aturan publik tentang berjilbab berkembang sedemikian massif, dalam range yang beragam mulai dari himbauan, ajakan, seruan, pewajiban, pengenaan sanksi -meskipun awalnya hanya dalam bentuk sanksi sosial-; benarkah yang dilakukan oleh perempuan genuine merupakan suara hatinya sendiri? Hal ini karena pemakaian jilbab di era pasca Orde Baru, sangat kompleks dimulai dari pilihan sadar individu hingga karena tekanan sosial yang berkembang dalam arena sosial politik yang sangat luas. Oleh karenanya, boleh saja kalau kita kembali bertanya apakah itu karena pilihan pribadi atau kewajiban sosial.[vi] Apapun pilihan itu, baik berjilbab atau tidak berjilbab, janganlah membuat diri kita merasa sebagai ”yang paling benar” dan ”yang paling saleh” dibandingkan orang lain, menghakimi mereka yang berbeda pilihan tentu bukanlah sikap yang bijaksana, apalagi menjadikannya sebagai justifikasi untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesama hamba Tuhan.
Baca Juga:
Fokus 1: Metamorfosa Jilbab
Fokus 2: Beragam Praktik Pemakaian Jilbab dan Kerudung dalam Masyarakat
Fokus 3: Dinamika Pemakaian Jilbab di Indonesia: Kontrol atas Tubuh Perempuan
Fokus 5: Teks Jilbab dalam Beragam Interpretasi Ulama dan Pemikir Muslim
[i] Lihat dalam tulisan Desi Erawati, Fenomena Berjilbab di Kalangan Mahasiswi (Studi Tentang Pemahaman, Motivasi dan Pola Interaksi Sosial Mahasiswi Beriilbab di Universitas Muhammadiyah Malang, yang diterbitkan oleh Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume 2 Desember 2005, sebagaimana diunduh dari situs http://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/fenomena-berjilbab-di-kalangan-mahasiswi.pdf, diakses pada Rabu, 2 September 2014 pk. 11.50.
[ii] Lihat tulisan Budiastuti berjudul Jilbab dalam Perspektif Sosiologi : Studi Pemaknaan Jilbab di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang merupakan tesis S-2 nya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Pascasarjana Sosiologi , Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, halaman 111.
[iii] Kisah tentang bagaimana “jilbab” menjadi bagian penting dari revolusi Islam Iram, dapat dibaca dalam karya Azar Nafisi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pesona Jilbab di Teheran.
[iv] Disarikan dari wawancara Swara Rahima dengan Yunianti Chudzaifah, Senin 1 September 2014.
[v] Lihat kembali wawancara Swara Rahima dengan Yunianti Chudzaifah
[vi] Lihat tulisan Eve Warburton, Private Choice or Public Obligation? : Institutional and Social Regimes of Veiling in Contemporary Indonesia, tesis dalam upaya memperoleh Gelar Master pada Department of Indonesian Studies, The University of Sydney, Sydney-Australia, 2006