“Sejak kecil saya terbiasa melihat Ibu sibuk di luar rumah. Memang lah itu sesuatu yang tak lazim pada jaman itu. Apalagi terjadi di sebuah desa dimana masyarakatnya masih sangat patriarki. Tetapi, karena Ibu tak tahan dengan kondisi masyarakat yang masih sangat kuat dengan perilaku ‘molimo’-nya: madat, madon, mabuk, maling, dan main, maka Ibu memilih melakukan perubahan di masyarakat.“
Pernyataan di atas disampaikan oleh Khotimatul Husna, kelahiran Bojonegoro, 27 Maret 1976, pada awal wawancara kami. Lalu, dengan nada bangga anak keenam dari delapan bersaudara yang dikenal dengan nama panggilan Khotim ini menambahkan, “Ibu memulainya dengan menginisiasi sebuah pengajian anak-anak di mushalla. Bapak yang lulusan Pendidikan Guru Agama, mengajar mereka. “Orang tua Khotim, Bapak (Anwar Daud) dan Ibu (Siti Maskanah) memang memiliki darah syiar agama yang kuat dari leluhur mereka.”
Dari pengajian anak-anak itu, Ibu Maskanah lalu mengembangkan pengajian ibu-ibu yang kemudian dikenal dengan nama pengajian ‘Ahad Sore’. Tempatnya bergantian di rumah anggota. Ibu Maskanah yang mengisi pengajian itu. Tujuannya hanya satu, ingin mengenalkan Islam. “Hingga saat ini, Pengajian ‘Ahad Sore’ masih berjalan. Mbakyu saya yang kebetulan menjadi Ketua PC Fatayat NU Bojonegoro (2010-2014) yang melanjutkannya. Pengajian anak-anak kemudian berkembang menjadi madrasah diniyah. Sekolah formal juga akhirnya dibentuk, mulai dari tingkat PAUD hingga MTs dan juga Pondok Pesantren di bawah Yayasan Keluarga ‘Ulul Albab’,” terang perempuan yang menghabiskan masa MTs dan MA-nya di PP Attanwir, Talun, Bojonegoro atas keinginan Ibundanya itu.
Tak hanya pengajian, Ibu Maskanah juga aktif di Muslimat NU dan berbagai kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan berbagai aktivitasnya, beliau berdagang di pasar kecamatan. Hal itu membuat Ibu Maskanah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. “Sebagian masyarakat, bahkan keluarga besar sering ngrasani Ibu. Padahal kami, delapan anaknya terurus dengan baik karena masing-masing dijaga oleh pengasuh. Kami berdelapan juga berpendidikan lebih baik dibandingkan anak-anak lain di desa kami. Mungkin, karena terpengaruh perkataan tetangga atau saudara, bapak menjadi sering marah kepada ibu. Kami sering mendengar bapak melakukan kekerasan verbal ketika Ibu pulang malam. Padahal, ibu dalam keadaan lelah,” urai perempuan yang sempat ‘mampir sejenak’ di IIQ Jakarta dan PP Langitan Tuban sebelum akhirnya ‘terdampar’ di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1996.
*****
Di kota Pendidikan, Khotim menimba ilmu di Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam). Di kampus, Khotim tak hanya tekun kuliah, tetapi juga aktif berorganisasi. Setidaknya ada dua organisasi yang ditekuninya, LDK (Lembaga Dakwah Kampus) Kordiska dan PMII. Di Kordiska, Khotim aktif hingga pernah menduduki posisi Wakil Ketua. “Ketuanya Irpan Mutaqin, kakak kelas dua tahun di atas saya,” kata perempuan yang mengenal isu gender pertama kali melalui Eman Hermawan.
Di masa kuliah ini juga bakat menulis Khotim tumbuh dan berkembang. Ia menyalurkan bakat menulisnya melalui majalah Fakultas ‘Advokasia’ dan leaflets PMII yang dibentuk oleh Perempuan Rayon Fakultas Syariah, LEPPAS, Lembaga Perempuan Peduli Keadilan dan Kesetaraan. “Leaflets-nya terbit setiap bulan. Kebanyakan isinya mengkritisi kebijakan di Fakultas.”
Lulus kuliah tahun 2000, Khotim bekerja sebagai Editor di sebuah penerbitan hingga ia menikah pada 2002 dengan mantan ketuanya di Kordiska yang asli Tasikmalaya, Irpan Mutaqin. Bekerja tetap dilakoni Khotim setelah si sulung, Ratu Sheba Sofie Ahimsa lahir pada 2003. Tak lama kemudian Irpan pindah ke Malang. Khotim dan Ratu tetap bertahan di Yogya. Ia bahkan masih sempat pindah kerja ke dua penerbitan lain sebelum akhirnya Khotim dan Ratu menyusul Irpan ke Malang. “Ratu memanggil Ayah kepada tukang mainan yang lewat di depan rumah,” Khotim menyebut alasan mengapa ia akhirnya memutuskan berhenti bekerja dan menyusul suaminya.
Di Malang, Khotim malah makin produktif menulis. Ia berhasil menulis dua buku pesanan ‘Etika Berbisnis ala Nabi’ dan ‘Toleransi Beragama’; dan menulis opini di berbagai media, seperti KOMPAS, Jawa Pos, rubrik Swara Kompas, Koran Tempo, Seputar Indonesia, dll. Rata-rata isi opininya terkait isu perempuan, seperti: ‘(film) Ayat-ayat Cinta: Pro atau Anti Perempuan?’, ‘Spiritualitas Perempuan dalam Perspektif Agama-agama’, ‘Jilbab, Tubuh dan Seksualitas’, dll. Begitu juga dengan berbagai resensi buku yang ditulisnya, seperti buku tentang marital rape yang diberinya judul ‘Suami Perkosa Istri’, atau novel Snow Flower diresensi dengan judul ‘Mendamba Kecantikan dan Pengakuan dengan Penderitaan’. Selama tiga tahun di kota apel itu, Khotim juga bekerja sebagai editor ‘jarak jauh’-nya LKiS.
*****
Keterlibatan Khotim di komunitas, dimulai di Malang. “Ketika itu, saya dan suami mulai merasakan adanya gerakan fundamentalisme di lingkungan kami tinggal. Kami lalu berdiskusi. Akhirnya, muncul ide untuk membentuk pengajian anak-anak. Pengajian itu kemudian berkembang menjadi pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Alhamdulillah, sampai sekarang semua pengajian itu masih aktif berjalan, meskipun kami sudah kembali ke Kota Gudeg pada 2008,” Khotim menjelaskan.
Di tempat tinggal yang baru di di daerah Kepanjen, Banguntapan, Bantul, Khotim dan Irpan juga terpanggil untuk melibatkan diri dengan komunitas. Kali ini dimulai dari kelompok remaja. ”Kaum remaja di sekitar kami rupanya sedang menghadapi tantangan di dunianya. Ada yang ikut trek-trekan motor, bahkan salah satunya, pelajar SMP, sampe meninggal. Yang lain ada yang terkena narkoba.”
Karena koleksi buku khotim dan Irpan lumayan banyak, mereka lalu membuka taman baca di rumahnya yang buka setiap hari, dan diberi nama ‘Kandank Ilmu’. Ketika awal berdiri, ada sekitar 50 remaja yang terdaftar. Mereka boleh mengakses buku-buku yang ada. “Tetapi yang aktif hanya 30. Ternyata mereka masih lebih suka membaca buku-buku ringan seperti KKPK (Kecil Kecil Punya Karya). Tetapi yang penting, mereka punya keinginan membaca.” Strategi lalu dibuat, dibentuklah forum diskusi ‘review buku’ satu bulan sekali Setiap remaja bergantian berbagi tentang buku yang dibacanya,” terang perempuan yang menambah kegiatan remaja dengan kegiatan spiritual seperti diba’an dan memperingati hari-hari besar Islam ini.
Tahun lalu, Khotim menginisiasi berdirinya PAUD Flamboyan. Juga di rumahnya. “Ini berangkat dari keprihatinan atas aktivitas anak-anak balita yang dibawa ibunya ngrumpi di setiap waktu luang mereka.” Setelah ngobrol dengan ibu-ibu dan kepala dukuh, akhirnya PAUD berdiri. “Jumlah siswa yang terdaftar 42. Tetapi yang aktif 30. Mereka masuk dari Senin sampai Kamis, selama satu setengah jam. Per kedatangannya, siswa diharapkan berkontribusi 1000 rupiah ke ‘Kotak Senyum’.” Uang Rp. 1.000 itu lalu dibagi dua, yang Rp. 500 untuk snack (tradisional) siswa, dan selebihnya lagi untuk administrasi. “Alhamdulillah hingga saat ini ada 7 relawan guru dari warga sekitar,” terang perempuan yang menutup toko mungilnya ketika PAUD atau diskusi buku sedang berlangsung. ”Agar anak-anak bisa konsen belajar,” alasan perempuan yang sejak Oktober lalu mendapat honor bulanan dari Pemkab Bantul. Besarnya Rp. 100.000/bulan, diambil setiap tiga bulan sekali. “Honor pertama sebesar Rp. 300.000 digunakan untuk membeli seragam guru.”
Ternyata, Khotim yang selama di Yogya telah menambah dua ‘ratu’ lain selain si sulung, yakni, Queen Aisha Permata Ahimsa dan Malika Kimya Mutia Ahimsa ini, masih menyediakan waktu untuk melatih anak TK dan SD membaca secara gratis. Lagi-lagi di rumahnya. “Saya prihatin karena banyak anak SD yang belum lancar membaca. Di antara mereka bahkan ada yang tidak naik kelas,” terang satu di antara empat peserta perempuan yang diundang ikut Musrenbangdes beberapa hari lalu itu.
Bersama ibu-ibu di Kepanjen, Khotim menginisiasi pengajian. “Ada dua kelompok pengajian. Yang satu pengajian “Malam Senin (Seninan)” di tingkat RT, pesertanya berkultur sama, Nahdliyin. Cikal bakal pengajian ini lebih fokus ke arisan dan simpan pinjam serta amaliah Yasinan biasa. Kemudian diperbarui dengan metode yasinan, berzanji, lalu ceramah.” Khotim berusaha menghubungkan kelompok pengajian ini dengan pengurus Fatayat Kota Yogyakarta, agar bersedia mengisi ceramahnya. Fatayat menjadi wadah kegiatan Khotim yang lain sekembalinya dari Malang. Di PC Fatayat ini, ia menjabat Sekretaris periode 2010-2014. “Adapun anggota kelompok pengajian yang kedua adalah ibu-ibu dengan kultur keagamaan beragam. Banyak tantangannya. Jadi harus pintar-pintar menjaga sana-sini,“ terang ustadzah yang mengambil bahan ceramah dari berbagai sumber di antaranya Swara Rahima.
Dengan berbagai ikhtiar dan aktivitas tersebut, Khotim ‘hanya’ punya satu hari dalam seminggu yang digunakannya full untuk keluarga, Jumat. Tetapi, itu pun jika tidak ada jadwal tadarus Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) Angkatan Keempat Rahima. “Mengapa masih mau bergabung dengan PUP?” tanya saya. “Ada banyak alasan, di antaranya PUP membuat saya menjadi lebih percaya diri – saya mulai mau mengisi acara di PMII, sesuatu yang selalu saya tolak sebelumnya–, PUP menghargai kearifan lokal dengan cara melakukan serial tadarusnya di berbagai pondok pesantren. Dari situ saya melihat Rahima sangat menghargai pesantren. Terakhir, ini yang penting bagi saya, Rahima menyampaikan pesan-pesan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang menjadi rahmat bagi semuanya, Islam yang tanpa kekerasan,” Khotim menutup wawancara kami. [dani]
*****
Similar Posts:
- Nyai Khotimatul Husna: Menguatkan Ekonomi Komunitas Melalui Majelis Taklim Nurul Huda, Bantul
- Bangga Menjadi Bagian Dari Tumbuh Kembang Anak
- Mereka pun Perempuan: Pengalaman Bersama Perempuan Fundamentalis
- Nyai Hj. A’izzah Amin: Penggerak Perempuan Desa
- Mendampingi Istri Narapidana Teroris Melalui Literasi