Mamah Dedeh kah? Begitu kesan awal penulis kali pertama bertemu dengan Ibu Aah Siti Rohmatul Asiah sewaktu pelatihan yang diadakan oleh Rahima di Tasikmalaya tahun 2013 silam. Maklum saja, intonasi, artikulasi dan gaya bicara yang ceplas-ceplos dalam berbicara di publik mengingatkan pada sosok Mamah Dedeh, pendakwah yang populer di layar kaca lewat acara Curhat Bersama Mamah Dedeh di Indosiar setiap pagi.
Setelah berbicara dengan perempuan kelahiran Tasikmalaya ini, ternyata bukan penulis yang punya kesan demikian. Dia bilang memang ada begitu banyak orang yang mengutarakan kemiripannya itu sewaktu dirinya berdakwah maupun bertugas. Namun demikian, ia santai saja menanggapinya. Ketika ada yang bilang, “Mamah Dedeh yah?”, ia menjawab dengan bergurau, “Bukan! Tapi ini Mamah Aah, Mamah Dedeh dari Tasikmalaya,” kata perempuan yang humoris ini.
Dia bercerita, ‘miripisasi’ kepada dirinya itu mulai menggejala seiring pamor Mamah Dedeh yang booming sekitar tahun 2007-an. Tapi asal tahu saja, jauh sebelum itu Aah sesungguhnya telah saban kali berceramah dan berdakwah, baik itu melalui majlis taklim, hari besar Islam, penyuluhan agama, hingga di beberapa media radio dan televisi lokal.
Minat Dakwah
Terlepas dari persoalan kemiripannya dengan Mamah Dedeh, sosok perempuan yang lahir 12 Januari 1966 ini sejatinya adalah sosok yang peduli dengan dunia dakwah dan isu perempuan. Ketertarikan putri pasangan alm. Padil dan Siti Lomrah ini pada dunia dakwah terpupuk sejak usia muda kala nyantri di pesantren Bahrul Ulum Awipari Cibereum Tasikmalaya. Sang pengasuh, Nyai Hj. Idah Mus`idah adalah orang yang menginpirasi dirinya untuk terjun ke dunia dakwah. Selain bisa mengajar, Sang Ibu Nyai ini ternyata juga mahir berceramah.
Minat perempuan dari 8 bersaudara ini pada dunia dakwah semakin terlihat kala dirinya berhasil menyabet juara pertama lomba dakwah antar-SMPtingkat kota Tasikmalaya. Sejak itu, Aah selalu dipilih untuk mewakili pesantren di berbagai ajang lomba dakwah/pidato kala itu. Bakatnya itu membuatnya kerapkali diminta oleh Hj. Idah Mus`idah untuk menggantikan dirinya berceramah di acara undangan. Ia mulai ditunjuk menjadi badal sejak duduk di bangku kelas dua Madrasah Aliyah.
Selesai mondok, Aah ingin serius menekuni dunia dakwah. Ia pun mantap memilih pendidikan tingginya di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunang Gunung Djati, Bandung. Tidak berhenti di situ saja, program pascasarjananya di tempat yang sama juga ia tempuh dengan konsentrasi bidang pendidikan yang sama, yakni dakwah. Dia juga berhasil lulus dengan nilai cumlaude.
Perjuangannya untuk menekuni bidang dakwah tak selalu mulus. Pernah sewaktu lulus S1 tahun 1991 ia sempat mengalami kejadian yang tak terlupakan olehnya kala berceramah sewaktu menjalani tugas pengembangan dakwah di daerah Purwakarta. Sedang asyik berceramah mengenai kepemimpinan, tiba-tiba dengan garang seorang ibu kepala desa memintanya berhenti ceramah dan turun dari panggung. Ibu kepala desa itu ternyata merasa tersinggung dengan contoh-contoh kepemimpinan yang dipaparkan oleh Aah. Meski sempat shock, kejadian itu justru menjadi motivasi baginya dalam mengembangkan diri dan materi dakwahnya.
Kisah Perempuan
Dalam materi-materi dakwahnya, Aah tak pernah lupa untuk mengangkat isu-isu perempuan. Berbekal berbagai pengetahuan dan pengalamannya mengikuti pelatihan dalam program Penguatan Hak-hak Perempuan dalam Perspektif Islam pada tahun 2002, dan Penguatan Kapasitas Tokoh Agama Islam Jawa Barat tahun 2013 kemarin, ia banyak memperoleh asupan pengetahuan mengenai isu-isu perempuan. Tentunya dengan perspektif yang adil gender. Selanjutnya, Bu Aah seringkali melakukan sosialisasi atas pengetahuan barunya ini kepada jamaah, bersama rekannya Ibu Djudju Zubaidah yang kini telah berpulang ke hadirat Allah swt.
Kepada para jemaah dan pendengarnya, Aah tidak lupa mengutarakan kepada mereka mengenai pentingnya relasi yang adil gender, khususnya relasi suami-istri dalam konteks kekinian. Ia berusaha menjelaskan dan menafsirkan kembali pemahaman mengenai relasi yang seimbang dan lebih adil gender.
Disamping itu, dalam materi-materi dakwahnya Aah juga kerapkali mengangkat dan menceritakan mengenai kisah-kisah sukses perempuan dalam Alquran seperti kisah Siti Maryam. Tidak lupa ia juga sering menceritakan mengenai peran perempuan di zaman Rasulullah seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah dan lain-lain. Dalam pandangannya, cerita-cerita sukses dan peran perempuan merupakan sesuatu yang penting untuk menggugah kesadaran para jemaahnya yang mayoritas kaum perempuan.
Dosen STAINU Tasikmalaya ini tidak pernah lelah kalau bicara soal urusan untuk memajukan dan mengangkat martabat kaum perempuan. Ia tidak gentar dan bahkan siap menantang siapa saja yang merendahkan kaum perempuan. Misalnya, pada sidang paripurna DPRD pembahasan Rencana Strategis Kota Tasikmalaya, ia dengan lantang menolak aturan diskriminatif dalam Perda No 07 Tahun 2005 yang hanya mengatur dan menindak para perempuan pekerja seks komersial, namun tidak menjerat hukum para laki-laki hidung belang.
Untuk itulah, bagi istri dari Drs. Mahmudin, M Si. yang menjadi rekan seangkatan Abdul Moqsith Ghazali pada Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) ini perempuan harus maju, berilmu dan berdaya. Agar bisa mencapai harapan itu, ilmu pengetahuan menjadi hal penting bagi perempuan untuk bisa mengambil peranan penting di masyarakat. Selain menjadi pendakwah, ibu dari 4 orang anak Muhammad Fikri Rijalul Muttaqinusia (19 th.), Muhammad Fahmi Shihab (15 th.), Muhammad Faqih Fajrurrahman (11 th), dan Farha Fadila Amalia (9 th.) Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kemenag Kota Tasikmalaya ini selain aktif mengisi di beberapa majelis taklim, Aah juga aktif di PC Muslimat NU kota Tasikmalaya, dan masih banyak seabrek aktivitas lainnya.
Semua aktivitas kesibukan itu disyukurinya karena telah memberinya ruang untuk berdakwah dan mentransfer ilmu pengetahuan. Demikian kisah Mamah Aah. {} Mawardi