“Kesehatan reproduksi dan seksualitas itu nggak usah dipelajari. Nanti kalau sudah menikah, kan tahu sendiri.”

Betapa sering kita mendengar ungkapan di atas, yang menganggap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) hanya membahas tentang hubungan seksual atau malah menuduh PKRS sebagai biang kerusakan moral. Akan tetapi, terungkapnya banyak kasus pelecehan seksual pada anak seperti yang dilakukan oleh ‘Emon’ di Sukabumi, maupun yang menimpa siswa TK di Jakarta Internasional School (JIS) Jakarta ini membuka mata masyarakat (terutama orang tua dan guru) untuk mulai membincang hal ini. Selain membincang soal tubuh, mereka juga menganggap penting untuk memberikan informasi pada anak dan remaja tentang kekuasaan mereka atas tubuh mereka sendiri. Informasi yang tepat, benar, dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi penting diberikan pada anak atau remaja untuk menghindarkan dan mencegah mereka dari tindak pelecehan seksual. Termasuk bahwa tubuh merupakan area privasi yang hanya diri mereka sendirilah yang berhak untuk mengambil keputusan mengenainya. .

Pada 2012, Rahima memulai upaya pemberian informasi yang komprehensif mengenai PKRS bagi remaja dan guru di sekolah-sekolah berbasis Agama di Jawa Timur. Hal itu didasari hasil need assessment yang dilakukan oleh Rahima di 4 kabupaten yaitu Jombang, Lamongan, Kediri, dan Banyuwangi yang menyebutkan bahwa  30,2%  subjek penelitian menghendaki agar PKRS dipelajari secara formal di sekolah. Kegiatan itu kemudian dilaksanakan di empat kabupaten  tersebut. Upaya Rahima dalam melaksanakan PKRS sangat bergantung pada peran aktif guru dan peserta didik yang mengikuti progam. Betapa tidak, karena salah satu ujung tombak  advokasi di akar rumput bertumpu pada kedua aktor tersebut. Oleh karenanya, kepada para siswa diberikan pendidikan pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi pendidik sebaya bagi sesama  remaja. Sedangkan guru berperan penting dalam upaya mengintegrasikan PKRS secara komprehensif dalam proses belajar mengajar. Para aktor tersebut melakukan advokasi yang oleh Mansour Fakih didefinisikan sebagai sebuah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Upaya itu dilakukan baik secara individu maupun kelembagaan. Tahun ini, beberapa sekolah dampingan Rahima mulai memasukkan PKRS sebagai materi ajar. Bentuknya beragam, mulai dari pelajaran di kelas, ekstrakulikuler, kajian mingguan, hingga menjadi arena berbagi cerita antar remaja.

Di sisi lain, di tingkat nasional Rahima yang bergabung dalam jaringan kerja SEPERLIMA bersama Pamflet, PKBI, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, dan Hivos juga melakukan upaya lain untuk advokasi. Yaitu tengah mempersiapkan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 37 yang terkait dengan kewajiban mata pelajaran di sekolah. Setidaknya ada 10 materi wajib yang harus ada dalam kurikulum, di antaranya pada poin h yang menyebut pendidikan jasmani dan kesehatan (Penjaskes). Pada pemaknaan poin h itulah nantinya SEPERLIMA akan mengajukan penafsiran ulang dengan memasukan PKRS menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Penjaskes.

Upaya JR ini merupakan salah satu ikhtiar untuk mendorong pemerintah agar melaksanakan kewajiban negara dalam memberikan PKRS pada anak dan remaja. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan  pada pasal 137 poin 1 dinyatakan “Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.”{} Nur Khayati Aida

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here