Spirit ajaran Islam yang berpihak pada kaum disabilitas semestinya membuat kita lebih terbuka akan realitas ini. Allah telah menciptakan manusia (anak-anak Adam) sebagai ciptaan-Nya yang mulia. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. “ (QS. Al Isra : 70)
Allah swt. juga tidak menjadikan penampilan dan keadaan fisik sebagai ukuran untuk menilai keshalihan hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah dan bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) dan perbuatan kalian. (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. sendiri pernah mendapatkan teguran oleh Allah swt. melalui malaikat-Nya ketika beliau pernah mengabaikan orang buta sebagaimana terekam dalam kisah turunnya Surah Abasa ayat 1-2 :
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى (2)
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS. Abasa 1-2)
Menurut riwayat, pada suatu ketika Rasulullah saw. menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah saw. membacakan kepadanya ayat-ayat Alquran yang telah diturunkan Allah. Tetapi Rasulullah saw. bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap Ibnu Ummi Maktum itu.
Selain larangan untuk melakukan diskriminasi, sesungguhnya Islam juga telah memberikan contoh untuk memenuhi hak aksesibilitas para penyandang disabilitas. Menurut Nyai Hj. Shinta Nuriyah Wahid, turunnya QS. Al Mujadilah untuk “berlapang-lapang di dalam majelis”, asbabun-nuzulnya terkait dengan respon atas upaya gigih sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud yang rajin mendatangi ceramah Nabi namun seringkali harus duduk di belakang karena tertinggal. Keterbatasan fisik pada kakinya seringkali menghalanginya untuk bisa berjalan dengan cepat, sehingga ia acapkali terlambat datang di majelis Rasul padahal ia sangat ingin menimba ilmu.[i] Oleh karenanya, Allah swt. tetap mendorong manusia untuk menjalani hidup dengan berbuat baik dan beramal saleh, serta beribadah kepada-Nya. Setiap muslim, dikenakan kewajiban untuk mengingat Allah, dalam keadaan apapun terlepas ia dalam keadaan sehat ataupun sakit. Ia dibebani kewajiban sesuai dengan kadar kesanggupannya dan senantiasa mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam QS. Ali Imran ayat 191 Allah berfirman yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Sebagaimana seseorang yang sedang sakit dan tidak diwajibkan berwudhu ketika akan menunaikan shalat, bagi mereka yang mengalami gangguan atau keterbatasan fisik tetap diwajibkan untuk menjalankan ibadah, tidak selalu dalam keadaan berdiri, namun juga saat ia hanya bisa berbaring. Dalam konteks kehidupan sosial, mereka juga berhak untuk mengoptimalkan potensi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, bahkan bagi kemanusiaan dalam belahan dunia manapun.
Oleh karenanya, tak heran bila kita menonton televisi yang sedang menyiarkan liputan tentang Haji, kita akan mendapatkan tayangan mereka yang tengah thawaf dari Shafa ke Marwa ada yang melaksanakannya dengan duduk di kursi roda. Para tuna netra pun kini juga mudah untuk membaca Alquran karena mushaf Alquran bisa diakses melalui huruf Braille.
Perkembangan Fiqh Disabilitas memang dirasa lamban bila dibandingkan dengan perkembangan dalam persoalan yang lain. Namun, ada salah satu contoh ijtihad yang progresif adalah fatwa Syaikh Tantawi (almarhum) yang saat akhir hidupnya menjadi Syaikh Besar Universitas Al Azhar, Kairo, pada tahun 2000 yang mengharuskan adanya petugas bahasa isyarat di samping khatib untuk menerjemahkan khutbah bagi jamaah yang tuna rungu. Fatwa Tantawi membatalkan fatwa yang lebih lama yang melarang penerjemah bahasa isyarat karena akan menganggu kekhusyukan jamaah non tuna rungu. Pada akhirnya, fatwa Tantawi sukses dilaksanakan dan jamaah tuna rungu begitu terharu karena untuk pertama kali dalam hidupnya mereka bisa mengetahui isi khutbah.[ii]
Baca Juga:
Fokus 1: Mengenal dan Memahami Lebih Jauh Orang dengan Disabilitas
Fokus 2: Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia
Fokus 3: Problematika Perempuan Penyandang Disabilitas
Fokus 5: Berbagai Ikhtiar Memberdayakan dan Memenuhi Hak-hak Disabilitas
[i] Lihat wawancara dengan Shinta Nuriyah Wahid pada rubrik Opini Swara Rahima edisi 45 tahun 2014 ini
[ii] Lihat tulisan Arif Maftuchin, MAg. MA, Difabilitas dalam Fiqh, dalam Seri Kajian Difabilitas PSLD UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tahun 2011 yang diterbitkan PSLD sebagaimana dikutip dari situs http://www.academia.edu/4447571/Fiqsos_11_Fiqih_Difabilitas; yang diakses Senin, 12 Mei 201).