Babakan, begitulah nama kampung ini. Kampung  yang dulunya hanya berupa hutan liar dan semak belukar. Hutan yang kemudian ‘dibabak’ oleh seorang ulama kharismatik KH Hasanuddin (1127 H/1715 M) menjadi sebuah bilik tempat mengaji. Seiring waktu, tempat tersebut makin ramai dijadikan permukiman oleh masyarakat hingga sekarang.

Kali pertama menginjakkan kaki di kampung ini, kita akan disuguhi pepohonan Jati yang menjulang tinggi di sepanjang jalan. Pepohonan yang meneduhkan teriknya sengatan matahari. Keberadaan pepohonan Jati itu menyimpan filosofi kehidupan yang bermakna dalam. Filosofi yang mengajarkan agar memiliki spirit yang dinamis-menjulang tinggi ke atas dalam menyongsong perubahan zaman. Dan juga sekaligus memiliki spirit tradisi yang mengakar ke bawah dalam meneguhkan jati diri. Boleh jadi filosofi pohon Jati itulah yang besar kemungkinan menjadikan pendiri pesantren Babakan Ciwaringin, KH Hasanuddin dijuluki Kiai Jatira (Jati Dua/Dua Jati).

Patut diketahui, sejarah awal mula pesantren Babakan Ciwaringin diawali dengan berdirinya pesantren Raudlatut Tholibin yang berjuluk “Pondok Gede”. Sejak tahun 1715 M sampai kini beradaannya masih lestari. Hingga tahun 2014 sekarang ini, terdapat lebih dari 30-an pesantren mampu bertahan dan berdiri kokoh dengan keunikannya masing-masing.

Seiring transformasi zaman yang begitu cepat, pesantren Babakan Ciwaringin tumbuh menjadi lembaga pendidikan khas Indonesia yang dinamis. Hal itu terbukti dengan berdirinya berbagai lembaga pendidikan berbagai tingkatan di kampung Babakan. Mulai tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi.

Namun arus transformasi (modernisasi dan globalisasi) tak selamanya membawa dampak positif. Itu artinya dampak negatif menjadi niscaya. Dan dampak negatif paling kentara adalah saat isu pembangunan jalan tol trans Jawa (salah satunya tol Cikapa) kembali menyeruak. Sebuah mega proyek jalan tol Cikampek-Palimanan yang akan ‘membelah’ dan menggusur keberadaan bumi berkah pesantren Babakan Ciwaringin?

Kronologi Singkat

Jika dirunut dari akar sejarah lampau, isu mega proyek tol trans Jawa (salah satunya; tol Cikapa) ini nampaknya senada dengan mega proyek pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang 1.000 km (terbentang dari Anyer, Banten, sampai Panarukan, Jawa Timur) pada tahun 1810-1825 silam dengan Jenderal WH Daendels sebagai komandonya.

Konon, jalur mega proyek tersebut akan melintas dan menggusur pesantren Babakan Ciwaringin. Kiai Jatira pun tak tinggal diam, ia langsung mengerahkan para santri untuk melawan, hingga berujung pada Perang Kedongdong (1816-1818). Salah satu penyebab pecahnya Perang Kedongdong adalah karena Kiai Jatira bersama para santri dan masyarakat memindahkan patok-patok pengukur jalan. Perjuangan getir itu akhirnya membuahkan hasil. Proyek tersebut berhasil digeser ke arah utara yang kini menjadi jalan utama Cirebon-Bandung.

Ya, berawal pada tahun 1990-an pemerintah ternyata kembali mencanangkan mega proyek pembangunan jalan tol trans Jawa. Ironisnya, proyek itu dicanangkan tanpa melibatkan pesantren dan masyarakat, salah satu buktinya adalah bahwa para pengasuh dan masyarakat baru mengetahui rencana itu enam tahun kemudian, sekitar tahun 1996.

Tak lama setelah mengetahui rencana ‘busuk’ pemerintah, para kiai di pesantren Babakan Ciwaringin dan didukung oleh para kiai se-wilayah III Cirebon menginisiasi forum musyawarah yang bertujuan untuk menggalang kekuatan dalam menolak proyek tol membelah bumi pesantren.

Masyarakat pesantren Babakan Ciwaringin sempat bernafas lega, karena ternyata mega proyek itu urung terealiasi lantaran Indonesia digempur krisis moneter 1998. Namun begitu, pada tahun 2006, rencana mega proyek itu kembali menyeruak. Ada dua versi trase dalam peristiwa ini; trase 1996 dan 2006. Dan ini yang sesungguhnya menjadi biang polemik. Yang dianggap fatal oleh masyarakat pesantren adalah trase 2006, trase yang benar-benar akan menggusur pesantren Babakan.

Puncak kemarahan kiai, santri, dan masyarakat Babakan Ciwaringin memuntah pada 26 Agustus 2007. Ketika Menteri Koperasi dan UKM, Surya Dharma Ali, berkunjung menghadiri Imtihan Akhirussanah Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS), para santri menggelar demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah yang tidak popular itu. Tidak itu saja, mereka juga memobilisasi tanda tangan penolakan untuk dikirim ke pemerintah pusat. Sekitar 10.000 tanda tangan terkumpul dalam aksi itu (Republika, 26/08/07). Disusul dengan aksi-aksi unjuk rasa lainnya; demonstrasi serupa, festival kebudayaan, dan lain sejenisnya.

Pada prinsipnya, penolakan masyarakat pesantren Babakan Ciwaringin adalah bukan menolak proyek jalan tol Cikapa, melainkan  hanya meminta kebijaksanaan pemerintah agar proyek tersebut tidak menyentuh bumi Babakan. Sebab hal tersebut berbenturan dengan amanat leluhur, yakni agar bumi Babakan diperuntukan hanya untuk kepentingan pendidikan.

Alhamdulillah, setelah melalui proses perjuangan yang panjang, rupanya permintaan masyarakat pesantren Babakan-Ciwaringin membuahkan hasil. Isu ‘panas’ ini tak lagi menjadi masalah, sebab proyek tol Cikapa ini digeser (dibelokkan) lebih jauh ke arah selatan. Proses pembangunannya hingga kini masih sedang berjalan.

Babakan Saat Ini

Pesantren Babakan-Ciwaringin menjadi tiang penyangga dan peletari Islam dan kebudayaan Cirebon, sebagaimana pesantren Kempek, Buntet, Arjawinangun, dan lainnya. Perkembangannya semakin pesat, dari segi kuantitas dan kualitas pendidikannya. Jumlah santri terus bertambah, ghirah intelektual khas pesantrennya terus menggeliat.

Di tengah keberadaan pesantren dan sekolah umum, beberapa organisasi seperti Komunitas Seniman Santri (KSS), Melek Bengi-bengi (MB2), Lajnah Kreativitas Pesantren (LKP), dll juga telah terbentuk. Itu tidak lain untuk menampung segala kreativitas para santri dalam bidang tulis-menulis, kebudayaan, dan kesenian. Belum lama ini juga telah terbit sebuah buku sejarah pesantren Babakan, berjudul ‘Baban Kana’ (2014). Buku itu merekam ulang jejak pesantren Babakan lampau, terutama peristiwa perang Kedongdong. Buku ini ditulis oleh KH. Zamzami Amin.

Pesantren Babakan Ciwaringin juga, sejauh amatan penulis, betul-betul mengilhami kaidah ‘Al-Muhafazhatu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah’ (melestarikan tradisi, membangun dinamisasi). Arus teknologi dan informasi dibiarkan mengalir masuk, tetapi proteksi melalui tradisi dan akhlakul karimah makin diintensifkan. Wallahua’lam bi al-Shawab. {} Mamang M. Haerudin, Khadim al-Ma’had di pesantren Raudlatut Tholibin Babakan-Ciwaringin-Kab. Cirebon dan Peserta Program  Rahima tentang Penguatan  Kapasitas Tokoh Agama untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here