Oleh: Anirotul Munawaroh
Di antara kelompok marginal yang ada di masyarakat kita adalah penyandang disabilitas. Istilah lain yang digunakan oleh UU No. 4 tahun 1997 adalah Penyandang cacat. Menurut UU itu Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.
Penyebutan “kelainan” yang dimiliki penyandang disabilitas sebenarnya kurang tepat karena seringkali berimplikasi pada pandangan merendahkan atau setidaknya memunculkan anggapan negatif. Kelainan seringkali disinonimkan dengan tidak normal, sehingga mereka seringkali dianggap tidak normal. Meskipun penyebutan “kelainan” dengan “berbeda” hampir sama tetapi bisa memunculkan pemahaman yang berbeda, namun sejatinya penyandang disabilitas hanya berbeda pada beberapa bagian fisik maupun non fisik sementara bagian-bagian yang lainnya sama. Para penyandang disabilitas juga sangat beragam, berbeda antara satu dengan yang lain, dari yang memiliki perbedaan sedikit hingga yang total.
Penyandang disabilitas berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam, dari ekonomi atas hingga ekonomi bawah. Namun secara umum mereka mengalami permasalahan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Stigma sosial acapkali mengangap mereka seperti orang sakit yang lemah dan tidak bisa melakukan aktifitas seperti orang sehat pada umumnya, sehingga memandang mereka sebagai beban. Oleh karenanya, mereka sering dipandang sebagai aib keluarga, sehingga terkadang disembunyikan oleh anggota keluarga lainnya yang justru enggan memberdayakan dan membaurkan mereka dengan masyarakat. Situasi ini turut andil dalam melemahkan mental dan eksistensi para penyandang disabilitas.
Diskriminasi kerap mereka alami, baik di lingkungan tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja bahkan di lingkungan keluarga dan tak mudah dihilangkan. Orang-orang maupun lembaga yang dianggap sebagai pihak yang diharapkan bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakat (seperti tokoh agama, sekolah, bahkan perguruan tinggi), acapkali juga masih bersikap diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Di lingkungan sekolah, siswa dengan disabilitas banyak yang tidak mendapatkan akses yang luas untuk mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan kecenderungan maupun kemampuannya apalagi pendampingan dan motivasi dari guru BP untuk kemajuan mereka. Mereka seringkali justru mengalami tekanan mental akibat dari sikap dan perlakuan yang seringkali didapatkannya. Di satu sisi, hal ini bisa memicu mereka untuk menunjukkan eksistensi, namun banyak pula yang akhirnya semakin menutup diri.
Mayoritas bursa kerja, akan lebih memilih orang tanpa disabilitas. Bahkan ada yang benar-benar menutup akses bagi penyandang disabilitas. Padahal apabila dilihat dari pekerjaan dan tanggung jawabnya, banyak penyandang disabilitas yang memungkinkan bisa bekerja dengan baik di lembaga atau perusahaan tersebut. Di dunia kerja, masih banyak penyandang disabilitas yang harus “berjuang ekstra” untuk memperoleh kepercayaan setara dengan orang lain. Mereka acapkali juga harus mengalami perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan hanya karena dia penyandang disabilitas.
Upaya utama dalam rangka memenuhi hak-hak penyandang disabilitas adalah menghilangkan stigma negatif masyarakat kepada mereka. Penyandang disabilitas bukan orang sakit, tetapi hanya memiliki perbedaan pada kondisi-kondisi tertentu. Kemampuan mereka justru harus diasah dan diberdayakan secara optimal sehingga menjadi kelebihan sehingga melengkapi situasi perbedaan fisik mereka. Semestinya, hal ini justru mendorong negara untuk affirmasi kebijakan publik agar lebih ramah dan melindungi hak-hak dasar mereka.{}
*) Penulis adalah Peserta Program PUP Angkatan III, Wilayah Jawa Tengah