Manusia mempunyai kecenderungan untuk menyikapi orang lain berdasarkan status sosialnya. Jenis kelamin, suku, dan bangsa merupakan beberapa dasar penentuan status sosial seseorang di mana ketiganya mempunyai ciri fisik yang kuat. Demikian halnya apakah seseorang itu difabel atau tidak.Status sosial orang atau masyarakat dengan ciri fisik tertentu, dipandang direndahkan sementara lainnya dimuliakan. Padahal tidak satu orang pun memilih jenis kelamin, suku, dan bangsa. Demikian pula tidak satu orang pun yang ingin lahir atau menjalani hidup sebagai difabel. Oleh karena itu, memandang rendah seseorang karena jenis kelamin, suku, bangsa, dan kondisi difabel adalah tidak adil.

Dalam Qs. Al-Hujurat/49:13 Allah Swt menegaskan bahwa kondisi fisik seseorang yang menjadi acuan status sosial di hadapan manusia itu sama sekali tifak penting karena Allah Swt mengukur kualitas hamba-Nya berdasarkan pada ketaqwaan:

يَاأَيُّهَاالنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَاكُمْمِنْذَكَرٍوَأُنْثَىوَجَعَلْنَاكُمْشُعُوبًاوَقَبَائِلَلِتَعَارَفُواإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ

 

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Menurut ath-Thabari (224-310 H) orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling menjalankan apa yang diperintahkan Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, bukan yang paling megah rumahnya dan bukan  pula paling banyak anggota keluarganya.[1]Sementara itu Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan penghinaan sahabat pada Bilal ketika dia adzan di Ka’bah karena Bilal adalah budak hitam. Setelah ayat ini turun Rasulullah Saw memberikan peringatan untuk tidak berprilaku sombong karena keturunan (nasab) dan kekayaan, dan tidak menghina orang faqir.[2]

Taqwa secara sederhana dapat dipahami sebagai menjaga hubungan baik dengan Allah Swt (iman) yang terjalin berkelindan dengan prilaku baik (amal shaleh) pada sesama manusia dan alam semesta raya. Iman memang di dalam hati dan tidak terukur tetapi indikator keimanan adalah prilaku yang tentu saja dapat dilihat sehingga terukur. Allah tidak hanya memerintahkan beribadah dengan baik, tetapi juga berbuat baik pada sesama makhluknya. Oleh karena itu, seseorang yang shalatnya rajin, puasanya lengkap, bahkan ibadah hajinya berkali-kali namun gemar menghina orang lain, melakukan bisnis dengan cara merusak alam, adalah orang imannya mempunyai masalah.

Difabilitas seseorang tidak mengurangi sedikit pun kualitasnya sebagai hamba sepanjang ia tetap berusaha menjadi hamba yang baik kepada Allah dan kenapa sesama mahluknya. Tidak sedikit orang-orang difabel di dunia ini yang karyanya mempunyai manfaat sangat besar. Misalnya musisi dunia Bethoven yang mengalami kehilangan pendengarannya, dan ahli fisika Stephen Hawking yang nyaris seluruh fisiknya berada dalam kondisi khusus.Di kalangan Muslim pun kita mengenal tokoh yang menjadi rujukan pemikiran Islam seperti Thaha Husein dari Mesir dan Mahmud Ayub dari Libanon. Keduanya mempunyai gangguan pada fungsi penglihatan. Allah Swt tidak melihat bentuk fisik seseorang melainkan pada hati dan prilaku, sebagai disebutkan dalam sebuah hadis:

 

عنأبيهريرة،قال : قالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم : « إناللهلاينظرإلىصوركموأموالكم،ولكنينظرإلىقلوبكموأعمالكم

 

Dari Abi Hurairah berkata; Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk fisikmu dan hartamu, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatanmu” (HR. Muslim).[3]

Jadi pada prinsipnya, nilai seseorang dalam Islam tidak ditentukan oleh sesuatu yang bersifat fisik, melainkan oleh ketakwaan yang tercermin melalui hati dan prilaku yang baik. Seorang difabel yang bertakwa, berhati baik, dan prilakunya memberi manfaat pada orang lain, lebih mulia di sisi Allah daripada siapa pun yang tidak bertakwa yang tercermin dari kaburukan hati dan prilakunya. Wallahu A’lam!

 

Baca Juga:

Kajian Tafsir 1: Bukan Fisik, Melainkan Ketaqwaan

 

 

[1]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan di Ta’wil al-Qur’an (t.p: Muassasah ar-Risalah, t.th), j.2, h. 312.

[2]Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir fi al-Qidah wa asy-Syariah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1418), j. 26, h. 250.

[3]Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, j.12, h. 427.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here