Ditemui Swara Rahima di sela-sela kesibukannya menyelenggarakan Peringatan Hari Kartini 2014 di Panti Sosial Bina Rungu Wicara di Bambu Apus, Jakarta Timur akhir April lalu, perempuan yang mengalami disabilitas fisik karena kecelakaan saat mengikuti ayahnya  bertugas di Papua ini tetap energik. Ia, Maulani Agustia Rotinsulu, lahir di Jakarta 13 Agustus 1961. Maulani  menyelesaikan jenjang pendidikan TK-nya di Papua. Sementara  SD, SMP, dan SMA diselesaikannya di Jakarta hingga kuliah di Akademi Bahasa Asing (ABA) atas dorongan orang tua  yang sangat memahami bakat anaknya. Maulani telah aktif di organisasi penyandang disabilitas sejak  SMA. Saat itu, ia telah memiliki keberanian untuk menulis surat kepada Walikota Jakarta Utara agar memberikan kesempatan belajar olahraga renang bagi penyandang disabilitas. Tak dinyana, Pak Walikota merespon baik suratnya dan memintanya untuk mengumpulkan teman-temannya  sesama penyandang disabilitas yang ingin belajar olah raga renang.  Itu adalah awal kiprah Maulani dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Selanjutnya ia aktif di berbagai organisasi, seperti Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia (FKPCTI), Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), Yayasan Bina Karya, dan Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia (HWPCI) yang kini berubah nama menjadi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Di lembaga terakhir ini, istri dari Jefri, dan  ibu dari 2 anak ini terpilih menjadi Ketua untuk masa jabatan 2011-2016. Berikut sajian hasil wawancara Swara Rahima dengannya.  

Apa  pengertian disabilitas?

Disabilitas menurut konvensi hak-hak Disabilitas yang dikenal dengan Convention of the People with Disabilities (CRPD) adalah sebuah konsep bagi orang-orang yang mempunyai keterbatasan, dan bagaimana caranya mendukung mereka agar kesetaraan dan kesempatan bisa diakses oleh meraka. Disabilitas tidak terbatas pada cacat yang kita kenal, namun mencakup semua orang-orang yang mengalami keterbatasan dikarenakan sikap lingkungan, fasilitas negara yang terbatas, juga sikap masyarakat.

Oleh karenanya, merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan sebuah sistem lingkungan yang dapat mendukung atau meningkatkan aksesibilitas  bagi penyandang disabilitas agar memperoleh kemudahan baik secara fisik maupun psikis.

Perilaku dan sikap masyarakat secara luas juga masih under-estimate dan belum memahami dengan benar, sehingga masih memandang disabilitas  adalah orang-orang yang tidak berpotensi. Cara pandang ini agak sulit dirubah. Nah, CRPD ini membawa nilai-nilai baru, dimana keterbatasan kami ini merupakan bagian dari keberagaman manusia.

Disabilitas meliputi apa saja?

Disabilitas dikategorikan ke dalam beberapa: a). Dalam hal fisik. Misalnya salah satu geraknya, atau fisik badannya tidak sempurna. Jadi ini terkait dengan syaraf sensorik yang berhubungan dengan indra (mata, hidung, telinga, dll). b). Dalam hal mental. Ini terkait dengan perilaku dan emosional seseorang. Biasanya di dunia kesehatan keterbatasan ini disebut gangguan berkembang atau dalam kondisi yang tidak semestinya. Jadi, ada dua, keterbatasan fisik, dan mental baik sensorik maupun intelektual.

Manusia yang mempunyai keterbatasan dari perkembangan yang semestinya, dikategorikan sebagai disabilitas atau impairment. Termasuk dalam kelompok ini adalah  seseorang yang mempunyai keterbatasan sehingga tidak bisa berinteraksi dengan orang lain, atau tidak bisa mengakses bangunan, ataupun mereka yang  karena keterbatasan aktivitasnya menghalangi mereka untuk setara berdasarkan hak-hak mereka.

Apakah istilah disabilitas merupakan istilah baru? Adakah perbedaan antara  disabilitas dengan cacat?

Sangat berbeda, karena disabilitas adalah konsep untuk menangani orang-orang dengan gangguan atau keterbatasan fisik yang disebabkan karena penyakit, cedera atau  kelainan dari lahir. Dalam UU No. 4 tahun 1997, kata cacat itu dialamatkan kepada kami orang yang mengalami keterbatasan seperti saya sebut tadi. Kalau disabilitas itu meliputi faktor eksternal untuk ikut bertanggung jawab kepada pembangunan disabilitas. Tanggung jawab itu diarahkan kepada Negara, jadi bagaimana cara Negara membangun penyandang cacat. Selain Negara, bagaimana lingkungan dan sikap masyarakat yang berinteraksi dengan kami. Jadi ada faktor internal dan faktor eksternalnya.

Apa penyebab disabilitas? Bagaimana dampaknya?

Penyebabnya macam-macam. Dua penyebab terbesar karena kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas. Yang lain karena bencana alam. Tahun 2004 ada isu anak-anak dijual keluar negeri dengan alasan karena disabilitas. Secara psikologis, yang namanya kehilangan anggota tubuh pasti menyebabkan kita merasa asing karena menjadi tampil lain di mata orang. Melihat pandangan kasihan dari mata orang membuat kami down. Sikap orang lain yang berlebihan membantu juga membuat kami depresi. Waktu saya masih kecil, saat bermain lalu dikata-katain (bully, red.) membuat kami juga down. Hal-hal itu membentuk mental kami menjadi defensif terhadap anak anak lain, atau teman-teman lain sehingga membuat kami tidak mau keluar bermain.

Berapa jumlah orang dengan disabilitas yang ada di Indonesia?

Secara angka kami belum punya patokan yang jelas. Tahun 1981, Dinas Sosial pernah mendata namun terbatas pada internal (orang-orang yang mendapat layanan mereka) yang berjumlah 3,11 %. Tahun 1997 saat kami me-launching UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, DPR mengatakan jumlahnya ada 5 %.  Menurut Sensus Penduduk mencapai sekitar 2,9 % dari jumlah penduduk. Jadi angkanya turun naik. Kami sangat tidak punya pegangan data. Sebenarnya, kami organisasi masyarakat melakukan pendataan. Namun data yang kami punya terbatas pada catatan data dari teman-teman atau anggota-anggota tersentuh pelayanan maupun registrasi dari kami.

Kalau angka secara internasional, beberapa waktu lalu, WHO menyatakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 10%, dari jumlah penduduk dan setelah konvensi diratifikasi mereka mengatakan  penyandang disabilitas 15 %.

Dengan jumlah yang demikian itu, seberapa besar Negara telah memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas?

Setelah UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disahkan, kemudian ada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, lalu ada lagi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada bangunan Gedung dan Lingkungan. Jadi, ada lumayan kelihatan hasil gerakan penyandang disabilitas yang terkait dengan aksesibilitas (fisik).

Aturan mengenai aksesibilitas di tahun 1998 itu dimulai pada tahun 1981 oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu yang mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 1981 tentang akses bagi penyandang cacat. Aturan itu mengatur bagaimana perkantoran, perumahan, jalan, memberikan akses bagi penyandang disabilitas termasuk desainnya. Pemda DKI Jakarta mengadaptasi dari aturan internasional. Isi dari SK Gubernur DKI Jakarta itu cukup lengkap untuk digunakan oleh berbagai sektor Kementerian maupun masyarakat dalam membangun gerakan-gerakan untuk mengadvokasi hal tersebut.

Bagaimana implementasinya?

Dulu di hotel berbintang lima, Mall-mall, dan berbagai penerbangan lebih memahaminya sebagai pendampingan karena dalam Peraturan Menteri PU lebih ditekankan pada hal yang terkait dengan pendampingan. Padahal pengertian fasilitas dan aksesibilitas itu meliputi 4 asas yaitu keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian. Pendampingan itu bukan bagian dari aksesibilitas. Aksesibilitas itu terkait bagaimana menciptakan lingkungan yang mudah untuk bisa digunakan, sehingga hal ini kondusif untuk kemandirian disabilitas.

Sekarang, fasilitas dan aksesibilitas penerbangan cukup baik, tetapi tetap saja perlu ditingkatkan. Seperti di Garbarata, ada akses yang nyaman bagi masyarakat umum maupun untuk penyandang disabilitas. Misalkan, adanya display pemberangkatan  adalah salah satu akses yang sangat membantu disabilitas tuna rungu. Permasalahannya adalah jika terlepas dari akses itu misalnya ada perubahan waktu yang diumumkan melalui suara, maka disabilitas tuna rungu menjadi tidak bisa mengakses informasi. Fasilitas akses lainnya di bandara adalah toilet. Di Bandara Soekarno Hatta sudah disediakan akses toilet duduk yang di dindingnya ada pegangannya, sehingga ini memudahkan mereka yang mengalami gangguan motorik atau kaki mereka tidak bisa menggunakan toilet jongkok.

Bagaimana upaya advokasi dalam memperjuangkan aksesibilitas ini?

Sebelum tahun 2000, di terminal domestik tidak ada toilet duduk. Bahkan semuanya membahayakan, baik lantai dan WC nya semua flat (datar). Ini sangat membahayakan, orang bisa kepeleset. Tahun 1999, kami mencoba melakukan survey tentang hal itu. Lalu pada tahun 2000, kami bersama Presiden Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah mengadvokasi hal itu. Ibu Shinta sangat mendukung advokasi soal akses, sehingga ada deklarasi aksesibilitas di tempat umum. Cuma setelahnya hal itu tidak ter-maintain dengan baik. Kami berupaya melakukan satu gerakan untuk memicu kepedulian pemerintah agar bisa melanjutkannya. Karena tidak mungkin hal ini dilakukan oleh kita sebagai kelompok masyarakat secara terus menerus, karena tidak ada sumber pendanaannya. Kebijakan di negara ini tergantung pada orang yang melaksanakannya.

Aksesibilitas yang diadvokasi apakah hanya menyangkut layanan publik yang bersifat fisik?

Jika menyangkut fasilitas fisik, yang kita katakan umum dan dibutuhkan oleh semua, bisa digunakan oleh semua, disebut dengan istilah aksesibilitas. Kalau menyentuh kebutuhan yang bersifat pribadi, diistilahkan dengan reasonable accommodation (akomodasi yang layak). Bila masuk dalam ranah pendidikan, maka sekolah membutuhkan akses ibilitas di sekolah: dia harus punya Risk Evaluation and Mitigation Strategies (REMS), dia harus punya guru-guru yang memahami jenis disabilitas dan cara untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Ketika guru bertemu dengan anak tuna netra, maka guru harus tahu bahwa anak ini membutuhkan riglet untuk alat tulisnya. Itu kami sebut dengan istilah reasonable accommodation (akomodasi yang cocok) untuk dia. Hak-hak itu berkaitan dengan hal-hal yang terlihat.

Aksesibilitas bagi pelayanan publik tidak hanya terkait dengan hal-hal yang terlihat, tetapi juga sikap dan perilaku para pengada pelayanan untuk memahami si penyandang disibilitas itu sendiri. Seperti pada tahun 2000, kami memberikan pelatihan kepada petugas di Stasiun KA Gambir mengenai bagaimana orientasi mobilitas dan cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Waktu itu HWDI dan FKPCTI memang bicara tentang fisik, karena kebanyakan teman-teman cacat tubuh membutuhkan  itu.

Adakah bentuk diskriminasi lain?

Diskriminasi masih ada, karena kebanyakan orang memandang kami sebagai orang-orang yang tidak mampu. Terjadinya diskriminasi yang lebih banyak lagi  karena orang tidak memahami bagaimana cara berinteraksi dengan kami penyandang disabilitas.

Dulu sikap institusi pendidikan tidak sedramatis sekarang. Dulu, cara teman-teman berinteraksi (teman-teman sejak di SD) berjalan dengan mudah. Buktinya banyak teman-teman penyandang disabilitas yang menjadi lulusan universitas ternama dengan nilai yang cukup baik dan tanpa ada masalah apa-apa. Makin kesini, ketika sudah ada konvensi, masih ada sikap defensif pada  penyandang disabilitas. Ini karena mereka hanya memiliki sebagian pemahaman tentang konvensi atau menangkapnya baru separuh, sehingga kesannya diskriminasi. Dulu perguruan tinggi  pernah protes terhadap adanya diskriminasi. Namun justru sekarang  sikap diskriminatifnya muncul  sehingga diprotes oleh teman-teman. Itu saya rasa karena pemahaman mereka tidak lengkap.

Ada organisasi disabilitas yang mencoba mengadvokasi, namun karena pemahaman mereka tentang disabilitas tidak komprehensif, hanya dilihat dari satu bidang disabilitas; sehingga ketika menerangkan kebutuhan disabilitas dan bagaimana aksesibilitas mereka atas pendidikan maupun pada hal-hal lainnya tidak tersampaikan. Ini  karena pemahaman mereka tentang disabilitas masih separuh-separuh.

Adakah sikap diskriminatif di ranah keluarga?

Ada. Dari orang tua kepada anaknya. Anak-anak tidak diberi kesempatan, lalu dikirim ke panti. Yang saya amati, orang tua tidak tahu cara menyikapi dan memperlakukan anak. Bila ia mendengarkan pendapat atau memahami anaknya, anak bisa ditangani dengan benar dan bisa berpotensi menjadi pelaku pembangunan. Anak bisa menjadi bagian dari masyarakat yang bisa hidup secara layak. Biasanya, ketika masyarakat melihat anak cacat langsung ketakutan. Ketika saya datang ke beberapa daerah, masih banyak orang yang melihat anaknya menyandang disabilitas, kemudian timbul kekhawatiran. Kekhawatiran ini menimbulkan sikap diskriminatif. Mindset penerimaan terhadap keluarga disabilitas itu yang menimbulkan diskriminasi.

Bagaimana cara mengatasinya?

Faktor keluarga yang utama. Bagaimana orang-orang di dalam keluarga memperlakukan kami, penyandang disabilitas sedari kecil, itu yang membangun mental kami hingga saat dewasa. Hal ini sangat mengambil peran. Justru teman-teman yang tidak tinggal di panti bisa lebih survive karena mereka berbaur. Setidaknya ada tantangan, dibiasakan untuk menghadapi bagaimana orang bersikap, berusaha, berinteraksi dengan orang. Sedari kecil mereka menghadapi tantangan ini, sehingga mentalnya lebih teruji dibanding anak-anak yang dimasukkan di panti. Jadi sangat tergantung pada lingkungan, dan terkait dengan peraturan-peraturan dan kebijakan di masyarakat. Bukan hanya peraturan-peraturan secara fisik, tetapi kebijakan-kebijakan juga perlu sangat mendukung.

Bagaimana hak-hak informasi, pendidikan, kesehatan reproduksi, dan politik penyandang disabilitas?

Terkait dengan hak atas informasi, teman-teman Tuna Wicara masih merasa kurang. Bukan hanya dari fasilitas Negara, tetapi dari proses tumbuh kembang di keluarga. Bagaimana keluarga menyikapi anak-anak disabilitas ini? Beberapa kali saya mendampingi anak-anak tuna wicara yang mengalami kekerasan seksual karena tidak ada informasi yang mereka terimasama sekali. Mereka tidak pernah belajar, tidak pernah keluar rumah, orang tuanya menutup diri, dan tidak tahu cara berkomunikasi dengan mereka. Orang tua berkomunikasi sehari-hari hanya dengan memberi makan. Jadi menanamkan sesuatu kepada anak tuna wicara tidak bisa, dan tidak tahu caranya. Termasuk menanamkan nilai-nilai kepada mereka pun orang tua tidak tahu. Parah sekali.

Kemarin ada salah seorang ibu datang menemui saya, mengeluh bahwa ada komunitas tuna rungu melakukan seks bebas, narkoba, dilakukan tanpa ada perasaan apa-apa. Kemudian ada lagi seseorang yang datang dari Jakarta Barat, ia mengatakan teman-teman kita tidak punya rasa self belonging (rasa memiliki). Rasa kepedulian seperti itulah yang ingin kita bangun. Maka, sebagai pejuang disabilitas kita berkewajiban mencari cara agar mereka (penyandang disabilitas) menyerap sesuatu dengan baik. Karena akan menjadi beban mental (merasa ikut bertanggung jawab, red) kita juga jika sudah menyentuh hal-hal yang dasar dan spiritual.

Ikhtiar apa yang pernah dilakukan dalam pendidikan kesehatan reproduksi.

Sudah ada kajian tentang kespro tahun 2010. Saat itu, kami mencoba membuat pendidikan kespro bagi teman-teman disabilitas. Temuan tentang situasi mereka sangat mengejutkan kami sendiri. Misalnya, adik-adik yang Tuna Netra sejak lahir, mereka tidak bisa mengenal alat reproduksi lawan jenisnya maupun berbagai hal lain terkait penglihatan fisik. Juga teman-teman Tuna Rungu mereka seringkali menangkap secara harfiah  informasi yang kita sampaikan melalui istilah-istilah/perumpamaan. Istilah atau perumpamaan itu yang digunakan adalah yang dipahami oleh dia. Dulu kami memperkenalkan bagaimana cara menggunakan kondom . Kami biasanya mempraktikkannya dengan memakai jari. Mereka menangkapnya seperti apa yang disampaikan. Nah, cara memberikan pemahaman seperti ini sangat riskan.

Dalam instrumen-instrumen yang dikembangkan oleh BKKBN seperti Kesehatan reproduksi menyangkut berbagai pengenalan HIV/AIDS, kami sungguh harus mencari cara yang tepat. Karena, biasanya kita berpikir bahwa media yang ada sudah cukup membantu penangkapan dan pemahaman mereka. Padahal tidak. Oleh karenanya, harus dibuat sangat spesifik.

Pada suatu kesempatan kami datang ke sebuah sekolah SLB, guru-gurunya minta tolong kami untuk menyampaikan modul. Bagi tuna netra yang sudah dewasa dan bisa memahami, modul ini tepat sasaran. Namun bagi anak-anak tuna rungu, saya sendiri secara pribadi bingung harus menyampaikannya dengan cara seperti apa. Bila materi itu tidak disampaikan, maka kasihan sekali anak-anak remaja seperti itu.

Penanganan dalam hal pendidikan sendiri bagaimana?

Selama ini pendidikan kita selalu menanamkan bahwa pendidikan itu kesegaraman. Pendidikan mengajarkan sesuatu secara masal, sehingga agak sulit untuk memasukkan konsep tentang disabilitas yang punya perspektif keberagaman. Sekarang sistem pendidikannya sudah berbeda. Bila kita sudah bisa secara perlahan menanamkan pemahaman tentang inklusifitas itu sendiri, saya pikir di sekolah manapun orang dengan disabilitas bisa berpartisipasi.

Selama ini orang tua selalu menyampaikan kekhawatirannya kalau anak-anak mereka yang menyandang disabilitas berada di lingkungan sekolah yang berbaur, khawatir anak-anaknya akan diejek. Untuk menghilangkan kekhawatiran, maka 3 lingkaran aspek harus sama-sama berjalan. Pertama, lingkungan; kedua, sikap  masyarakat; dan ketiga, kesiapan kemandirian. Terkait lingkungan, adalah bagaimana kita mengkomunikasikan upaya ini kepada anak-anak non disabilitas dan orang tua, ini masih menjadi kendala.  Kalau di SD, orang tua  masih suka datang ke sekolah, itu salah satu tantangan tersendiri. Seringkali mereka memandang dengan pandangan keberatan, kok  anak-anaknya dicampur dengan anak-anak disabilitas yang dianggap marginal. Sehingga timbul di pemikiran mereka ini sekolah apa? Kena juga sekolahnya, karena anak mereka sekolah disini dan mereka tidak memahami urgensi anak-anak mereka dicampurkan dengan anak-anak disabilitas.

Apakah pendidikan inklusi itu?

Praktik pendidikan inklusi yang saya lihat di beberapa Negara memang agak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di sini kesannya segala sesuatunya dipaksakan. Anak-anak dengan disabilitas mental dan intelektual dimasukkan di kelas yang sama. Semua dipaksakan untuk sama, akan tetapi diberikan fasilitas. Di beberapa Negara lain, anak yang memang sama sekali tidak bisa dicampur, maka untuk mereka diberikan kelas tersendiri, namun mereka difasilitasi  di sekolah umum, sekolah yang terbuka. Bukan sekolah khusus. Treatment-nya beda, namun dia tetap ada di satu sekolah yang terbuka yang disana ada anak-anak pelajar non disabilitas. Mereka mengadakan kelas persiapan, mereka mempersiapkan kelas untuk anak-anak disabilitas sehingga bisa berbaur dengan anak-anak non disabilitas.  Ketika  masih dianggap mereka belum siap masuk ke kelas berbaur ini (sekitar usia 8-9 tahun)  mereka masih di kelas persiapan itu.

Yang saya dengar dari presentasi dari sekolah-sekolah inklusi di sini, mereka mencoba memaksakan bahwa anak-anak ini harus duduk di dalam satu kelas. Namun mereka tidak melakukan persiapan, apakah anak-anak ini sudah siap atau belum. Persiapan itu di luar SLB-SLB yang ada. Misalnya, mereka dimasukkan saja di dalam satu kompleks perguruan, dimana ada SLB ada di dalam kompleks itu. Walaupun mereka tidak sekelas, namun mereka akan berinteraksi karena setiap hari ketemu.

Nah, seperti di panti ini, seharusnya bisa menerima anak-anak non disabilitas untuk mengikuti pelatihan-pelatihan. Mereka diperkenankan masuk kesini, nantinya interaksi antara disabilitas dan non disabilitasnya akan berjalan.

Bagaimana hak-hak politik penyandang disabilitas?

Persoalannya lebih kepada fasilitas. Partisipasi kami terhadap proses pemilu lebih kepada fasilitas yang bisa diakses. Dan yang paling membutuhkan itu supaya haknya tidak dilanggar adalah Tuna Netra. Kalau yang lain bisa terbantu. Banyak mekanisme yang dibuat oleh KPU memberikan hak kepada disabilitas, akan tetapi begitu sampai ke disabilitas Tuna Netra, itu menjadi riskan terutama jika pendampingnya menyalahgunakan suara disabilitas Tuna Netra tadi.

Hak politik penyandang disabilitas untuk masuk partai-partai atau menjadi calon-calon legislatif harusnya lebih efektif lagi diperjuangkan. Seperti perjuangan perempuan akan adanya 30% affirmative action bagi  keterwakilan perempuan.

Bicara hak-hak politik, kita tidak bisa melihat hanya dari proses pemilunya saja. Akan tetapi juga menyangangkut administrasi kependudukan seperti, apakah anak-anak administrasinya juga diurus oleh orang tua? Saat ke catatan sipil untuk mengurus administrasi, adakah sikap-sikap diskriminasinya? Misalnya, “Ah, anak-anak ini tidak berpotensi ke depan, sehingga tidak usah diurus surat-suratnya.” Lalu ketika dia dewasa dan harus punya KTP, dia jadi tidak punya KTP. Yang namanya KTP kelihatannya sepele, tetapi banyak teman-teman disabilitas yang tidak memiliki KTP. Jadi, kalau berbicara  hak politik harus dimulai dari hak sipil mereka. Sebagai contoh, tahun 2009 di berbagai panti tidak tersentuh oleh pendaftaran pemilihan sehingga mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih.

Adakah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada perempuan dengan disabilitas?

Banyak sekali perempuan dengan disabilitas menjadi single parent, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Kami memang belum pernah melakukan kajian mendalam mengenai bagaimana situasi seperti itu terjadi. Tetapi hal-hal itu terjadi bisa juga karena peraturan Negara melegalkan sikap-sikap diskriminatif. Misalnya berkaitan dengan kehidupan berkeluarga. Di dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan mengenai pasal 39 ayat e yang menyebutkan bahwa di antara alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian adalah “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.” Kami mencoba menelusuri apakah hal itu yang menyebabkan suami-suami meninggalkan istri mereka. Orang-orang tidak mengakui hal itu. Tetapi faktanya istri-istri yang ditinggalkan banyak sekali. Jadi rasa menghormati suami kepada istri rendah. Suami  lebih mudah melecehkan istri. Suami menganggap tidak setara dengan istri. Situasi itu dihadapi baik oleh menyandang disabilitas setelah menikah, ataupun jauh sebelum berkeluarga.

Bentuk kekerasan yang lainnya?

Yang lain masih banyak terutama di bidang ketenagakerjaan dimana banyak kekerasan yang menyebabkan perempuan mengalami disabilitas karena kecelakaan kerja. Banyak kasus yang tidak ditangani negara. Jadi, banyak sekali kekerasan yang dialami oleh orang dengan disabilitas ini. Dari mereka  yang  baru mau mulai mengalami kehidupan, hingga sampai mereka mau meninggal. Dan mereka berada di strata sosial yang beragam, mulai dari yang ekonominya pas-pasan hingga strata ekonomi yang menengah ke atas. Semua menjadi permasalahan ketika dia mempunyai disabilitas.

Tadi, saya melihat ada kegiatan peringatan Hari Kartini diikuti oleh para penyandang disabilitas. Kegiatannya semarak. Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan melalui momen ini?

Peringatan hari Kartini dilakukan karena kami perlu media untuk mengekspresikan diri. Ketika kami berjuang hanya di dalam, maka kami secara eksklusif tidak laku. Kami harus mencari momen, misalnya Pemilu. Momen itu menjadi salah satu pintu sehingga disabilitas dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Sebelum Pemilu 2004 kami masuk dan berbicara tentang hak politik  dalam pemilu. Kini pemahaman masyarakat luas terhadap penyandang disabilitas agak mendingan.  Masyarakat bisa sedikit melihat bahwa mereka bisa bersuara. Kami sebagai penggerak harus bersuara dan mencari momen itu. Berkaitan dengan Kartini, saya pikir yang kita pelajari dari Kartini adalah kita harus mengekspresikan diri kita. Kalau kita tidak mengekspresikan diri, maka tidak ada yang tahu kemampuan kita sehingga akan tetap sulit untuk mencoba setara untuk mengangkat diri dan martabat kita. {} AD. Kusumaningtyas

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here