Sumber foto: Freepik

Abdul Hakim*

Bunga (nama samaran), perempuan dengan disabilitas yang masih kelas 5 SD diperkosa oleh gurunya. Ketika mencari keadilan, ia ditolak oleh kepolisian setempat karena laporannya dinilai terlambat dan bukti-bukti yang diajukannya tidak kuat. Selain itu, penolakan itu juga dikarenakan Bunga dianggap cacat; sebab ia dianggap termasuk anak yang lambat belajarnya sehingga kesaksiannya tidak bisa dipercaya. Akhirnya kepolisian mengusulkan untuk melakukan tes DNA untuk membuktikan laporannya. Usulan ini tidak dapat dilaksanakan karena korban berasal dari keluarga tidak mampu. Kasus ini ditutup dengan uluran jalan damai dari pemerkosa. (Difabel Perempuan, Keadilan Bagi Perempuan Difabel (Different Ability) Sebuah Harapan, difabelperempuan.blogspot.com)

Bunga merupakan salah satu anak perempuan dengan disabilitas yang mengalami ketidakadilan berupa kekerasan seksual. Tidak hanya Bunga, masih banyak penyandang disabilitas yang lain di negeri ini yang mendapatkan berbagai tindakan kekerasan dan ketidakadilan yang merampas hak asasi mereka sebagai manusia.

Menurut Pusat Data Informasi Nasional (Pusdatin) Kementerian Sosial, (2010), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 11.580.117 orang dengan perincian 3.474.035 adalah tuna netra/penyandang disabilitas penglihatan, 3.010.830 adalah tuna daksa/penyandang disabilitas fisik, 2.547.626 adalah tuna rungu/penyandang disabilitas pendengaran, 1.389.614 adalah tuna grahita/penyandang disabilitas mental dan 1.158.012 adalah penyandang disabilitas kronis.

Berdasarkan data Pusdatin ini jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 4,8 persen dari 240 juta penduduk Indonesia (BKKBN, 2013). Meski pendataan ini berdasarkan survey yang dilakukan seluruh Indonesia, namun belum memilah data berdasarkan jenis kelamin. Sehingga program pemerintah terutama terkait penyandang difabel perempuan masih belum tepat sasaran. Sehingga perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas yang mendapatkan kekerasan seperti Bunga di atas masih sangat lemah.

Terdapat 146 negara penandatangan Konvensi Hak Orang dengan Disabilitas (CRPD), 89 penandatangan Optional Protocol, 90 ratifikasi terhadap Konvensi dan 57 ratifikasi Optional Protocol Namun, sangat disayangkan bahwa Indonesia baru meratifikasi konvensi ini pada Januari 2013. CRPD menyatakan bahwa harus ada perubahan paradigma terkait orang dengan disabilitas. Konsep bahwa orang dengan disabilitas adalah “obyek amal, pengobatan dan perlindungan sosial” menjadi pandangan bahwa orang dengan disabilitas sebagai subyek penyandang hak yang mampu memperjuangkan hak-haknya dan mampu membuat keputusan atas hidupnya berdasarkan kebebasannya sendiri sebagai anggota masyarakat aktif.

Perubahan paradigma ini menurut Setia Adi, seorang tuna netra, yang juga merupakan seorang aktivis yang memperjuangkan keadilan bagi penyandang disabilitas dengan menjadi Direktur di LSM Dria Manunggal Jogjakarta mengatakan bahwa sebutan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang berimplikasi terhadap tindakan atau perilaku diskriminatif tersebut tidak lepas dari paradigma yang bersarang di relung-relung pikir, baik dalam diri penyebutnya maupun pihak yang mendapatkan sebutan. Dari relung pikir inilah lahir tindakan atau perilaku diskriminatif yang merupakan implikasi dari proses penyebutan yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang mudah atau ringan, karena tindakan atau perilaku tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan mengakibatkan terjadinya kerentanan pada kehidupan manusia.

Dengan demikian pikiran manusia membawanya pada pandangan bahwa yang dipikirkannya itu sesuai dengan realitas sehingga hal yang dianggap itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran. Lebih lanjut Setia Adi menulis, penyebutan, pemberian nama atau labelling adalah awal dari proses tindakan dan perilaku. Hal ini pula lah yang mempengaruhi tindakan pemposisian, pengkondisian, dan perlakuan dari pihak yang memberi sebutan. Bisa dipastikan dengan kesesatan pola pikir tersebut, terjadilah implikasi berupa berbagai macam tindakan diskriminatif yang berlangsung di semua sektor kehidupan termasuk yang menyangkut kehidupan pokok seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, akses penggunaan fasilitas umum dan sektor lainnya.

Ironisnya, segala tindakan diskriminatif tersebut, tidak ada kepastian hukum yang melindungi hak asasi para penyandang disabilitas.Meski sudah ada UU No 4 tahun 2007 misalkan dalam pasal 1 yang mengatakan bahwa kesetaraan dan non-diskriminasi merupakan salah satu syarat dari terbukanya berbagai akses bagi orang dengan disabilitas. Juga dalam pasal 6  mengandung berbagai hak terkait penyandang disabilitas, yakni dalam bidang-bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesetaraan dalam pembangunan dan dalam menikmati hasil pembangunan, aksesibilitas, rehabilitasi dan kesejahteraan sosial, serta pengembangan bakat dan kehidupan sosial secara setara.

Bahkan Secara khusus dalam konteks anak, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur hal-hal terkait anak dengan disabilitas yang meliputi: Perlindungan khusus; hak atas pendidikan (baik pendidikan biasa maupun pendidikan luar biasa; kesejahteraan sosial; dan hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Mengenai diskriminasi terhadap anak (secara umum) yang mengakibatkan anak mengalami kerugian fisik ataupun mental sehingga terganggu fungsi sosialnya, Pasal 77 undang-undang ini memberi ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Namun demikian, dalam pelaksanaan, tidak terdapat harmonisasi antara aturan hukum dan implementasi di tingkatan masyarakat dan pemangku kebijakan di tingkat lokal.

Di Indonesia, banyak Undang-undang yang membutuhkan perangkat hukum di bawahnya agar apa yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut dapat dilaksanakan. Hal ini membuat Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, hingga Peraturan Daerah yang menurut urutan perundang-undangan lebih rendah dari Undang-undang menjadi penting. Ketentuan-ketentuan dalam aturan inilah yang menjadi tolak ukur pelaksanaan di tataran lokal dan masyarakat.

Setelah diturunkan dalam Peraturan Daerah pun sebuah Undang Undang tidak mempunyai arti bila pihak yang menjadi korban berada dalam kondisi pendidikan rendah dan ekonomi lemah. Hal ini karena minimnya sosialisasi perlindungan hukum difabel. Perlindungan hukum seolah masih menjadi menara gading bagi masyarakat penyandang disabilitas saat ini. Karena itu sebagai anggota masyarakat yang memiliki kemudahan akses untuk memperoleh informasi atas perlindungan hukum bagi perempuan penyandang difabel, maka kita tidak bisa menutup sebelah mata atau bersikap tidak peduli.

Perempuan penyandang disabilitas merupakan pihak mustadhafin (dipandang lemah dan seringkali dilemahkan) yang wajib dilindungi. Sebagai langkah awal kepedulian itu di antaranya adalah dengan menumbuhkan paradigma keberpihakan yang bisa dilakukan dengan tidak menggunakan labelling negatif seperti kata “cacat” dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang perlindungan hukum perempuan difabel agar penegakan hukum bisa berjalan dengan baik bila ada pengawasan dari seluruh masyarakat.{}

*) Penulis adalah peserta Program Penguatan Tokoh Agama Jawa Barat, yang sehari-hari menjadi Dosen di  Majalengka.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here