Hadis-hadis berikut menjadi contoh praktis betapa Islam sangat menghargai kemanusiaan manusia, bukan fisik, pangkat, dan status sosial-budaya. Nabi saw. memiliki saudara sepupu dari Siti Khadijah ra. yaitu Waraqah ibn Naufal yang memiliki keterbatasan penglihatan setelah memasuki usia senja. Namun beliau memiliki kelebihan memahami Kitab Injil dan menulis dalam bahasa Ibrani. Ketika Nabi saw. menerima wahyu pertama sempat berkonsultasi dengan saudara sepupu dari Khadijah tersebut. Ini menunjukkan bahwa keterbatasan penglihatan tidak mengurangi hormat Nabi dan menjadikan beliau sebagai orang yang diajak konsultasi. Hal ini dijelaskan dalam hadis di bagian awal Kitab Sahih Bukhari.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul-mukminin ra. bahwa ketika Nabi saw. menerima wahyu yang pertama di Gua Hira’, beliau merasa berat dan takut. Kemudian dihibur oleh Istri beliau, Khadijah ra. Dalam riwayat Imam Bukhari tersebut dinyatakan:
فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلاَّ وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ
. وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
Artinya:
Khadijah ra. berkata: “Tidak perlu berat dan takut, Demi Allah, Allah tidak akan merendahkan engkau selamanya, (karena) sungguh engkau senantiasa menyambung kasih sayang (silaturrahim), menanggung beban berat orang lain, memberi pekerjaan bagi yang menganggur (memberdayakan yang tuna), menghormati tetamu, dan menolong orang-orang yang berhak ditolong”. (Lihat HR. Bukhari: 3)
Selanjutnya dijelaskan bahwa Khadijah mengajak Nabi saw. mendatangi rumah Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdil-‘Uzza, anak paman Khadijah yang pandai menulis Kitab Suci dengan bahasa ‘Ibrani. Waraqah menulis sebagian Kitab Injil dengan Bahasa Ibraniah sesuai kehendak Allah ia menulis, padahal beliau adalah seorang yang sudah lanjut usia dan memiliki keterbatasan penglihatan atau buta. Setelah Nabi menceritakan peristiwa turunnya wahyu pertama di Gua Hira, Waraqah memberi penguatan dukungan seraya mengatakan:
هَذَا النَّامُوسُ الَّذِى نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى – صلى الله عليه وسلم – يَا لَيْتَنِى فِيهَا جَذَعًا ، لَيْتَنِى أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوَمُخْرِجِىَّ هُمْ » . قَالَ نَعَمْ ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُودِىَ ، وَإِنْ يُدْرِكْنِى يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا . ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّىَ وَفَتَرَ الْوَحْىُ .
Artinya:
“(Yang menyampaikan wahyu) inilah Namus (Malaikat Jibril) yang juga telah datang menyampaikan wahyu kepada Nabi Musa as. Waraqah menegaskan: “Jika pada saat nanti aku masih ada dan hidup, ketika kaummu mengusirmu (dari negeri Mekah, pasti aku akan menolong engkau Muhammad). Nabi saw. mengatakan: “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah berkata: “Ya, benar, tak satu pun orang yang datang dengan membawa wahyu Allah seperti yang engkau bawa, pasti akan dimusuhi kaumnya. Jika aku masih bertemu dengan hari itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga”. Tidak lama kemudian, Waraqah wafat dan wahyu terhenti sementara. (Lihat HR. Bukhari: 3).
Dalam hadis di atas, dinyatakan bahwa Waraqah bin Naufal yang memiliki keahlian dalam menulis dan memahami Kitab Suci, di samping keterbatasan penglihatan dan fisik, justru didatangi oleh Nabi saw. dan istri beliau untuk mendapatkan nasehat dan masukan. Dapat disimpulkan betapa Nabi memiliki sifat menghargai dan bersedia mendengar pendapat orang yang memiliki pengetahuan lebih dulu.
Selain Waraqah di atas, salah seorang muazin (penyeru azan) Nabi yang khusus mengumandangkan azan Subuh diamanahkan kepada ‘Abdullah ibnu Ummi Maktum yang memiliki keterbatasan penglihatan karena buta. Hal demikian dijelaskan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِىَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ » . ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلاً أَعْمَى لاَ يُنَادِى حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
Artinya:
‘Abdullah bin Maslamah menceritakan hadis kepada kami, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari Abdillah (ibn ‘Umar) ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh Bilal mengumandangkan azan di waktu malam (sebelum masuk subuh), karena itu, makan dan minumlah kalian (sahur hendak puasa), hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan (subuh, berhentilah makan dan minum).” Dan ‘Abdullah bin ‘Umar berkata bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang memiliki keterbatasan penglihatan, tidak azan sehingga dikatakan kepadanya: “Kamu sudah masuk subuh. Kamu sudah masuk subuh.” (HR. Bukhari: 617).
Hadis-hadis di atas menegaskan bahwa Nabi saw. tidak melakukan diskriminasi, tidak membedakan berdasarkan keterbatasan fisik, rasial, dan sebagainya. Nabi dikenal memiliki dua muazin, yaitu Bilal bin Rabah mantan budak berkulit hitam yang telah dimerdekakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq ra. lalu menjadi orang yang dihormati dan dimulikan untuk melakukan pekerjaan mulia menyeru orang shalat, dan kedua, ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang tidak memiliki penglihatan jelas atau buta namun dimuliakan oleh Nabi dan para sahabat. Di awalnya, Nabi bahkan pernah diingatkan oleh Allah swt. untuk memberi perhatian terkait kedatangan ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang hendak masuk Islam, sementara Nabi sedang berbincang-bincang dengan para pembesar kafir Quraisy, sebagaimana dalam asbabun-nuzul surat ‘Abasa. Jika Nabi bukanlah orang yang bertindak diskriminatif, tentu umatnya juga tidak patut melakukannya.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Pembelaan Bagi yang Berkebutuhan Khusus
Dirasah Hadis 3: Pembelaan untuk Para Janda dan Kaum Miskin