“Barangkali di sana ada jawabnya
mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang…”

(Berita Kepada Kawan, Ebiet G. Ade)

Sebait refrain lagu legendaris karya Musisi Ebiet G.Ade tersebut masih sangat popular  dan reflektif di benak banyak orang. Apalagi kalau kita menyaksikan beragam bencana  dan kerusakan alam yang hadir di sekitar kita. Sebagian orang melihatnya sebagai Takdir Tuhan. Namun, di sisi lain banyak pandangan melihat hal ini sebagai sebagai kesalahan manusia sendiri, yang sistemik sifatnya.

Situasi lingkungan hidup kita belakangan ini semakin mengerikan. Pemerintahan telah silih berganti, namun beragam pula cara mereka melihat persoalan bumi tempat kita berpijak ini. Banjir datang hampir setiap tahun bahkan merendam ibukota,  namun banyak pejabat dan petinggi partai justru menjadikannya komodifikasi politik dengan beragam bantuan sesaat dan disorot kilatan cahaya kamera maupun televisi. Di sisi lain, pemberitaan dan infotaintment acapkali menyebutkan bahwa Tokoh A terlibat pembalakan liar (illegal logging),  tokoh B terlibat jual beli Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tokoh C menjadi dalang suatu aksi usaha penambangan tak berizin dan membahayakan publik. Munculnya semburan lumpur panas di kawasan Sidoarjo Jawa Timur yang dikaitkan dengan usaha milik salah seorang petinggi partai,  sempat menimbulkan polemik di media mengenai apakah situasi ini muncul karena ‘kelalaian’ dalam mengelola lingkungan, ataukah situasi ini hadir sebagai sebuah bentuk baru bencana alam. Sehingga muncullah istilah Lumpur Lapindo, Lumpur Sidoarjo, atau yang berkembang dalam polemik ini. Bahkan belakangan, di bagian wilayah lain fenomena semburan lumpur panas juga terjadi di wilayah penambangan panas bumi (geothermal) di desa Mataloko, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT.

Sesungguhnya, fenomena perubahan lingkungan hidup dan alam sekitar kita adalah sesuatu yang niscaya adanya. Namun, yang perlu menjadi pertanyaan adalah seberapa besar upaya manusia dalam mengelola dan melestarikannya atau seberapa jauh dia turut andil dalam menyebabkan kerusakan itu? Bagaimana filosofi hidup manusia dalam memperlakukan alam semesta? Bagaimana pola relasi yang dibangun antara manusia yang berjenis kelamin lelaki dan perempuan ini turut mencerminkan keseimbangan dengan alam? Bagaimana bila terjadi perubahan ekosistem dan pola hidup? Nilai-nilai apa sajakah yang telah bergeser dan bagaimana mereka mengatasi hal ini? Adakah hal ini berdampak dalam relasi mereka satu sama lain sekaligus relasi mereka dengan alam? Dan siapa yang paling menerima dampak kerusakan yang paling berat?

Fenomena Kerusakan Alam Kini

Di tengah musim hujan kini,  melalui pemberitaan di berbagai stasiun televisi hampir setiap hari kita disuguhi dengan beragam pemberitaan mengenai soal bencana. Sebutlah soal erupsi gunung berapi di Sinabung, Sumatera Utara,  maupun banjir yang melanda DKI dan daerah sekitarnya seperti Tangerang dan Bekasi, maupun di daerah-daerah lain seperti Manado, Tomohon, Subang, Karawang, Indramayu, Pati, dan daerah-daerah lainnya. Menjawab pertanyaan kenapa di Jakarta sering terjadi banjir. Spontan kita akan mendapai beragam jawaban seperti “curah hujan yang tinggi”, “banjir kiriman dari Bogor.” Namun marilah kita amati secara lebih jujur, hingga saat ini kita masih banyak orang yang memperparah situasi itu dengan perilaku membuang sampah di kali. Di  tempat-tempat lain, mungkin ada situasi serupa. Namun alih fungsi lahan, longsor,  naiknya air pasang (rob) di  sepanjang pesisir pantai juga dapat menjadi penyebab utama.  Di samping itu, para pejabat berwenang seringkali melanggar aturan mengenai tata ruang dengan gampangnya pemberian izin bagi pengembang yang membangun mal-mal di perkotaan, hotel, maupun apartemen yang selain seringkali tidak dilengkapi dengan pembangunan sistem drainase yang layak,  juga mengambil tempat di tepi bantaran kali.

Di bagian hulu, seperti di daerah Puncak, Bogor betapa mudahnya villa-villa, hotel,  resort,  maupun perumahan mewah didirikan dengan mengabaikan sistem pengelolaan lingkungan sekitarnya. Sementara, banjir bandang seperti di Manado disebabkan hilangnya hutan dan sungai-sungai kecil di sekitar wilayah tersebut serta rusaknya daerah resapan akibat pembangunan kota yang serampangan menyebabkan sejumlah sungai di daerah itu tak mampu lagi menahan debit air hujan dan diperparah karena air laut sedang pasang. [i]

Sesungguhnya,  hadirnya banjir di musim hujan, maupun kekeringan di musim kemarau, juga  acapkali dikaitkan dengan soal perubahan iklim (climate changes). Perubahan iklim berarti perubahan yang signifikan pada iklim, seperti suhu udara atau curah hujan, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih.  Jika iklim berubah, maka rata-rata selama 30 tahun suhu udara, atau curah hujan, atau jumlah hari matahari bersinar, pun akan berubah.[ii] Perubahan iklim sekarang disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti ekstraksi bahan bakar fosil skala besar (batubara, minyak bumi dan gas alam), perubahan pemanfaatan lahan (pembukaan lahan untuk penebangan kayu, peternakan dan pertanian) serta konsumerisme.[iii] Perubahan iklim itu juga dipicu oleh  apa yang disebut dengan “pemanasan global” (global warming), yaitu kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas. Kenaikan suhu ini merubah iklim, menyebabkan berubahnya pola cuaca yang dapat meimbulkan peningkatan curah hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya angin dan badai bahkan terjadinya bencana alam yang memakan banyak korban. [iv]

Secara fisik, kita melihat bahwa saat ini hutan kian gundul, sungai-sungai banyak tercemar, lahan sawah telah berubah menjadi pemukiman,  polusi udara akibat  emisi karbon sangat banyak terjadi terutama di kota besar yang selain sarat dengan kemacetan juga  disesaki dengan udara yang kotor. Plastik mencemari tanah,  sementara sayur-sayuran tak lagi bagus kualitasnya karena banyak mengandung pestisida.  Dan rusaknya alam ini juga berimbas pada menurunnya kualitas hidup manusia.

Mungkin tak pernah terbayangkan di benak kita,  bahwa lingkungan yang tercemar juga mencemari asupan makanan kita, bahkan ASI yang dikonsumsi oleh bayi. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta sempat mengadakan studi pada 2001 yang menyatakan bahwa ibu-ibu di pinggiran kota memiliki ASI berkadar timbel 10 -30 ug per kilogram. Bukan janin dalam kandungan saja yang ikut terancam kehilangan kualitas kecerdasan, tapi juga anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Timbel alias timah hitam ikut mencemari sayur dan buah-buahan yang dikonsumsi anak-anak. Beberapa tahun yang lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) telah menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Bisa dibayangkan betapa parahnya ancaman polutan emisi gas buang di metropolitan ini. [v]  Sementara itu, kisah lain dituturkan oleh Ni Luh Kartini, peneliti pada Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Denpasar pada tahun 1998,  setahun  setelah ia meraih gelar doktor di Universitas Padjajaran  Bandung.  Kartini yang semasa kecilnya sering bermain di sawah dan meminum air pematang ini  ketika mengandung anaknya yang ketiga, sengaja memeriksakan sebagian air susunya untuk dites di laboratorium. Ternyata ada polutan (residu pestisida) di air susunya, meski tidak sampai 20%. Kerisauan akan bahaya pestisida tehadap ASI dikumandangkan lagi pada saat rembuk publik di Wantilan DPRD Bali, Denpasar. Rembuk itu digelar bersamaan dengan Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim yang digelar di Nusa Dua, awal hingga pertengahan bulan ini. Ahli mikrobiologi pertanian Universitas Udayana, Denpasar, ini menengarai beberapa ASI di seluruh dunia sudah tercemar pestisida. Di dunia, laporan adanya pencemaran pestisida di dalam ASI sudah banyak. Pada 1990-an, misalnya, ditemukan 83% sampel ASI tercemar dieldrin. Lalu 61% ASI mengandung pestisida heptochlor epoxide. Oleh karenanya  untuk menghindarkan bayi dari ASI yang terkontaminasi oleh pestisida, maka ia meminta agar sistem pertanian yang ramah lingkungan dan bebas pestisida harus diprioritaskan. [vi]

Kerusakan lingkungan juga dipengaruhi oleh gaya hidup. Salah satunya adalah kebiasaan  menggunakan tisu toilet setelah buang air kecil atau air besar, yang memberikan pengaruh buruk bagi lingkungan. Sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah Tissue World edisi Juni-Juli 2010 lalu, menyatakan bahwa menggunakan air ternyata lebih baik dari pada tisu. Penulis artikel ini yang juga adalah seorang aktivis lingkungan hidup Amerika, Noelle Robbins, dalam tulisannya yang berjudul “Cleaning with Water, A Better Alternative Flushing Forest”, menyebutkan bahwa gaya hidup orang Amerika yang selalu menggunakan tisu menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem hutan dunia. Berdasarkan hasil sebuah riset, 54 juta batang pohon dari hutan-hutan di negara berkembang ditebang untuk memproduksi 3,2 juta ton tisu toilet. Ia juga menegaskan bahwa cara cebok orang Asia malah lebih ramah lingkungan. Pendapat yang ia ungkapkan berdasarkan sebuah fakta bahwa proses pembuatan setiap rol tisu membutuhkan sebanyak 140 liter air atau 37 galon. Setiap hari orang Amerika menghabiskan 57 lembar tisu toilet yang sama dengan 3,7 galon perhari. Hal ini kemudian dibandingkan dengan kebiasaan cebok orang Asia yang menggunakan air. Sekali cebok biasanya hanya membutuhkan 0,03 galon air saja. Jumlah ini tentu saja jauh bila dibandingkan dengan proses pembuatan tisu toilet. [vii]

Baca Juga:

Fokus 2:  Dampak Kerusakan Lingkungan : Siapa Lebih Banyak Jadi Korban?

Fokus 3: Memahami Konsep Ekofeminisme

Fokus 4: Para Perempuan Pembawa Inspirasi

Fokus 5: Spirit Islam tentang Pengelolaan dan Penyelamatan Lingkungan

 

 

Catatan Belakang /End Notes :

[i] Lihat tulisan berjudul  Banjir Manado 2014, sebagaimana dikutip dari situs http: //id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Manado_2014

[ii]  Lihat dalam  http://id.climate4classrooms.org/content/apa-yang-dimaksud-dengan-perubahan-iklim, diakses  20 Januari 2014,  pukul 14.55 WIB )

[iii] Lihat dalam http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/apa-itu-perubahan-iklim/mengapa-perubahan-iklim-terjadi/ diakses 20 Januari 2014, pukul 15.00 WIB.

[iv] Sumber diambil dari  situs http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/ kampanye/powerswitch/spt_iklim/, diakses 20 Januari 2014 pukul 15.15. WIB.

[v] Lihat artikel berjudul Pencemaran Udara Ancam IQ Anak yang diposting oleh Tosca Green, sebagaimana diakses dari situs http://tosca-green.blogspot.com/2009/03/pencemaran-udara-ancam-iq-anak.html, diakses 20 Januari 20142 pukul 15.30 WIB.

[vi] Lihat artikel berjudul Bila ASI Tercemar Pestisida, yang ditulis oleh Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati dalam rubrik Kesehatan, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 27 Desember 2007, sebagaimana diunduh dari situs https://groups.google.com/forum/#!msg/milis-mediacare/NxtAWT19LMY/Oieqw_-3CXsJ., diakses 20 Januari 20142 pukul 15.38 WIB.

[vii] Lihat artikel berjudul Air vs Tissu Toilet, Pakai yang Mana?, sebagaimana dikutip dari situs  http://ciricara.com/2012/07/04/air-tissu-toilet-pakai-yang-mana/, yang diakses pada Senin 20 Januari 2014, pukul 16.10 WIB.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here