Beberapa data di atas menunjukkan, bahwa pencemaran lingkungan telah membawa dampak pada kehidupan reproduksi perempuan yakni tercemarnya ASI dan lebih jauh adalah menurunnya kualitas hidup generasi mendatang. Namun bila kita telaah lebih dalam lagi, bencana seringkali juga berwajah perempuan. Mengapa? Di tenda-tenda pengungsian penuh berisi perempuan, lansia, dan anak-anak mereka. Ketika banjir tiba, banyak perempuan masih tertinggal di rumah-rumah mereka karena harus menjaga harta benda keluarga dan anak-anak mereka, maupun karena tengah mengalami kesulitan terkait dengan tugas reproduksinya. Banyak perempuan yang tengah hamil tua, mengalami kesulitan naik perahu karet saat dievakuasi. Begitupun para Ibu yang memiliki bayi, selain mesti berjuang untuk menyelamatkan dirinya, harus memastikan bahwa anaknya benar-benar dapat terselamatkan dari derasnya air maupun cuaca yang dingin.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar pada saat memberikan sambutan pada Perayaan Hari Internasional Anak Perempuan tahun 2003 di Jakarta, menuturkan bahwa dalam kondisi bencana perempuan dan anak perempuan sangat rentan menjadi korban sebab mereka tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Dalam kondisi bencana yang kerap terjadi di Indonesia tak jarang anak perempuan harus membantu keluarga mengurus dapur, misalnya mencari air dan memasak, sehingga membuat mereka tak sempat ikut belajar dalam tenda pengungsian. Dalam kondisi biasa saja mereka terdiskriminasi apalagi dalam kondisi bencana. [i]
Analisis serupa juga diungkapkan dalam tulisan salah seorang delegasi dari Down to Earth yang sempat mengikuti konferensi ke-3 Perempuan dalam Politik dan Tata Pemerintahan yang mengambil tema “Gender dan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana” di Manila tahun 2008. Dalam konferensi tersebut diungkapkan bahwa dari tahun 1975 – 2006 bencana alam semakin sering terjadi dan diduga 80% dari bencana tersebut seperti, banjir, kekeringan, badai, dan sebagainya berkaitan langsung dengan perubahan iklim. Perubahan iklim akan berbeda dampaknya di setiap negara, wilayah, generasi, kelas masyarakat, pekerjaan, jenis kelamin, usia, dan pendapatan. Dari tahun 1975 – 2006 bencana alam terbanyak terjadi di benua Asia. Dari kelompok yang rentan terhadap bencana 3,4 juta orang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan rentan, seperti anak-anak, masyarakat adat, petani dan nelayan. Pada setiap bencana, baik akibat dari perubahan iklim atau tidak, ternyata menelan korban perempuan yang jumlahnya lebih besar daripada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Hasil analisis yang dilakukan London School of Economics (LSE) terhadap bencana yang terjadi di 141 negara membuktikan bahwa perbedaan jumlah korban akibat bencana alam berkaitan erat dengan hak ekonomi dan sosial perempuan. Ketika hak perempuan tidak mendapatkan perlindungan, maka jumlah korban perempuan akan lebih besar daripada laki-laki. [ii]
Baca Juga:
Fokus 1: Belajar dari Perempuan ‘tuk Bersahabat dan Selamatkan Alam
Fokus 3: Memahami Konsep Ekofeminisme
Fokus 4: Para Perempuan Pembawa Inspirasi
Fokus 5: Spirit Islam tentang Pengelolaan dan Penyelamatan Lingkungan
[i] Sebagaimana disarikan oleh Hasan Ramadhan dari harian Kompas, Sabtu 12 Oktober 2013, yang dikutip dari sumber http://www.jurnalperempuan.org/perempuan-dan-anak-belum-jadi-prioritas.html, diakses pada hari Senin 20 Januarwi 2014 pukul 16.142.
[ii] Lihat artikel berjudul Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana, yang bersumber pada situs : http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/gender-dalam-adaptasi-perubahan-iklim-dan-pengurangan-resiko-bencana
Similar Posts:
- Belajar dari Perempuan ‘tuk Bersahabat dan Selamatkan Alam
- Memaknai Baligh; Cukupkah Diukur dari Sebatas Kematangan Biologis?
- Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik
- Korban Kekerasan Seksual Membutuhkan Perlindungan
- Kekerasan di Pesantren: dampak Kesetraan yang Tidak Diajarkan dalam Pendidikan Berbasis Agama