Khalisah Khalid, perempuan kelahiran Jakarta, 25 Agustus 1978 ini lebih akrab dipanggil Alin. Oleh rekan-rekannya, di depan namanya ditambahkan kata Mpok.. Ibu berputri satu bernama Jingga Syifa Kanira dari pernikahannya dengan Ade Fadli yang juga seorang aktivis lingkungan ini sudah lama malang melintang di Walhi, organisasi yang dikenalnya semenjak jadi aktivis Mapala tahun 1997. Alin, alumnus Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat (kini UIN). Ia pernah menjabat sebagai Dewan Nasional Walhi selama 1 periode hingga tahun 2012. Saat ini Alin memegang amanat sebagai Kepala Departemen Pengembangan Jaringan dan Sumberdaya. Ketekunannya mempelajari relasi antara perempuan dan lingkungan hidup, membuatnya berkesempatan menimba ilmu dalam sebuah short course tentang Ekologi Politik Feminis di Institute for Social Studies (ISS) di Belanda. Berikut hasil wawancara Swara Rahima dengan perempuan yang juga berkiprah di Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia, yang juga sempat melakukan penelitian tentang perempuan pejuang lingkungan dengan Komnas Perempuan, RMI dan Bina Desa dengan metode penggalian data “tutur perempuan” ini.
Persoalan lingkungan hidup apa saja yang menjadi masalah serius akhir-akhir ini?
Saya ingin share hasil launching “Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2014” pertengahan Januari lalu, dimana kami melihat persoalan lingkungan selama 1 tahun (2013). Persoalan lingkungan hidup dalam 1 dasa warsa sebenarnya memang kompleks, saling berelasi. Bukan saja satu isu dengan isu yang lain seperti hutan dan air, hutan dengan pangan, ditambah banjir yang mengancam pangan di pedesaan, namun juga berelasi dengan persoalan pembangunan sebagai sistem ekonomi politik yang membuat situasi hidup semakin kompleks dan semakin memburuk. Di sisi lain kesadaran kehidupan masyarakat juga terus meningkat, itu catatan kami.
Angka bencana ekologis atau bencana yang ditimbulkan akibat salah urus pengelolaan sumberdaya alam angkanya meningkat sampai 200% lebih. Kebanyakan masyarakat kita dan juga pemerintah masih menganggap bencana itu adalah bencana alam. Memang ada bencana alam seperti gempa, dan erupsi. Namun sebagian besar bencana sebenarnya bukan merupakan kategori bencana alam, akan tetapi bencana ekologis.
Apa sajakah yang dikategorikan ke dalam bencana ekologis itu?
Sebagian besar bencana seperti banjir dan longsor adalah akibat dari salah urus pengelolaan sumberdaya alam. Itu yang kami kategorikan sebagai bencana ekologis. Betul ada stimulusnya, yaitu hujan. Namun di banyak tempat, di Jawa dan terutama di daerah pesisir, pada musim kemarau saja terkadang sudah banjir. Rob. Di daerah pesisir, hampir setiap 3 hari sekali terjadi rob. Menurut kami, faktor utamanya adalah karena daya tampung lingkungan sudah tidak kuat lagi menahan beban dari eksploitasi sumberdaya alam dan dari praktik pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan dan alam.
Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membuat kami agak khawatir, karena RPJM kita jelas-jelas menempatkan sumberdaya alam sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Artinya adalah sumberdaya alam dipandang layak dieksploitasi, dimana sebagian besarnya adalah industri ekstraktif: tambang, kebun-kebun besar kelapa sawit, yang itu mengancam (karena menjadi tulang punggung ekonomi serta menjadi komoditas). Konsekuensinya adalah pada kerusakan lingkungan. Sementara sebagian besar kerusakan lingkungan sampai saat ini tidak ditanggung atau tidak termuat dalam bacaan APBN. Oleh karena itu yang menanggung sebagian besar biaya kerusakan lingkungan adalah masyarakat.
Misalnya, ketika terjadi kebakaran hutan seperti di Sumatera dan sekarang di Kalimantan Barat, akibatnya anak-anak yang terkena ISPA. Siapa yang menanggung biayanya? Kita. Jadi, seperti biaya eksternalitas (biaya terkait kegiatan ekonomi yang memberi dampak pada orang lain) itu tidak termuat atau terbaca di dalam APBN. Dengan demikian, pemerintah merasa tidak ada urusannya dengan konsekeuensi dari pilihan ekonominya mengandalkan sumberdaya alam dengan cara mengeksploitasinya secara besar-besaran. Nah, ini yang kami khawatirkan memicu pada bencana ekologis.
Bila mengacu pada pengalaman kasus banjir bandang di Bahorok pada 2004 yang lalu, kemudian di Wassior pada 2010 dan 2013, itu menunjukkan bahwa banjir, longsor dan kekeringan masuk dalam kategori bencana ekologis. (Dalam kasus Wassior, sebelumnya ada statemen dari Menteri Kehutanan bahwa telah ada kerusakan di Hulu. Tetapi, kemudian pernyataannya berubah menjadi bencana alam). Yang terjadi adalah, tata ruang dan sumberdaya airnya dihancurkan, tata ruangnya tidak memperhatikan daya dukung alam yang terbatas.
Contoh yang lain, di Jakarta. Tempat-tempat parkir air di Jakarta sudah hampir habis untuk pembangunan pemukiman elit dan pusat perbelanjaan, sehingga sekarang hampir tidak ada. Kebijakan sekarang pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk membuat lagi tempat-tempat parkir air. Padahal tata ruang itu seharusnya menjadi instrumen untuk mengendalikan pembangunan yang eksploitatif. Namun sayangnya, di beberapa tempat tata ruang yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian pembangunan yang eksploitatif justru malah menjadi alat untuk menabrak aturan itu sendiri. Misalnya Aceh, kawasan ekosistem Leuser itu sekarang justru dikurangi dalam tata ruang wilayah di Aceh. Alasan pemerintah adalah demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi .
Seberapa besar dan dalam bentuk apa saja kerusakan alam yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi itu ?
Terkait seberapa besar angka bencana ekologis itu kita menemukan ada ratusan orang yang telah meninggal. Harusnya itu sudah bisa disebut dengan darurat bencana ekologis. Negara ini sudah darurat bencana ekologis. Misalnya sekarang di Jakarta banjir kerugiannya sudah mencapai angka trilyunan. Itu angka kerugian yang dapat dihitung.
Belum lagi kerugian masyarakat yang tidak bisa dihitung seperti tidak bisa mencari nafkah. Contoh lain, pada kasus kabut asap di Pontianak. Itu belum dihitung kerugiannya, tetapi anak-anak sudah tidak bisa sekolah. Sebenarnya krisisnya itu sudah luar biasa dan memang sudah sangat parah. Sudah di depan mata. Korbannya juga sudah banyak, tetapi korban ini jadi hanya seperti angka-angka saja. Jadi seperti tidak ada artinya. Itu yang membuat kami khawatir.
Yang spesifik dari persoalan lingkungan adalah : Satu, biaya kerugian lingkungan jadi tidak terasa, karena pindahnya ke kita. Bukan ditanggung oleh negara dan tidak terbaca dalam APBN. Jadi negara merasa bahwa kerugiannya tidak besar karena menganggapnya sebagai emergency biasa. Padahal seperti kasus Lapindo, mestinya itu menjadi tanggung jawab korporasi. Kedua, biasanya kerugian tersebut ditanggung sendiri oleh masyarakat, sehingga menjadi tidak terasa. Kerugian-kerugian lingkungan yang ditanggung sendiri oleh masyarakat itulah yang menjadikannya tidak terlihat, walaupun kerugian akibat kerusakan lingkungan tersebut sangat parah. Dari kejahatan di sektor kehutanan saja, melalui unsur korupsinya negara sudah dirugikan trilyunan rupiah. Dan itu sebagian besar dilakukan oleh industri-industri yang diindikasikan sebagai industri yang merusak, mengingat ia rakus air seperti kelapa sawit, pertambangan, yang juga pencemarannya juga luar biasa.
Apa kaitan antara persoalan kerusakan lingkungan ini dengan perubahan iklim?
Nah, ini yang menarik mengingat isu perubahan iklim ini sebenarnya sudah diikuti oleh Walhi sejak tahun 1990-an. Namun, memang baru booming tahun 2007 ketika Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali. Sebenarnya, salah satu hal yang mengkhawatirkan pada isu lingkungan adalah krisis iklim atau bencana-bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Tetapi krisis perubahan iklim sendiri bukanlah bentuk krisis baru. Perubahan iklim adalah akumulasi krisis akibat kegagalan pembangunan ditambah dengan perubahan iklim. Misalnya industri di sektor kehutanan yang menyumbang emisi yang luar biasa, kebijakan di sektor transportasi yang begitu tinggi juga menyumbang emisi yang luar biasa. Jadi, ini memang dampak kegagalan pembangunan yang rakus pada bahan-bahan baku fosil terutama yang juga menghabiskan praktik-praktik pengetahuan lokal dengan mengatas-namakan pengetahuan modern. Itu juga akumukasi dari praktik ide-ide pembangunan yang menghamba pada sistem ekonomi politik kapitalisme.
Seberapa jauh persoalan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim itu memiliki dampak pada kehidupan perempuan?
Bila dilihat seberapa jauhnya, pasti punya dampak yang khusus pada perempuan. Kami pernah menulis bagaimana dampak perubahan iklim terhadap perempuan, dan bagaimana kebijakan negara dalam konteks penanggulangan perubahan iklim. Kami lihat hal itu masih betul-betul netral gender. Misalnya di sektor pesisir dan laut -karena kebanyakan aktivitas perempuan ada di situ -. Akibat dari iklim yang tidak bisa diprediksi, banyak nelayan laki-laki yang tidak bisa melaut. Tapi jangan berhenti sampai di situ, karena aktivitas nelayan laki-laki yang melaut itu juga berdampak pada aktivitas perempuan berikutnya; karena setelah mendapatkan hasil semua aktivitas kemudian dilakukan oleh perempuan. Dan hal itu berdampak pada ekonomi keluarga. Belum lagi, selama ini banyak perempuan petani yang juga kesulitan karena tidak bisa memprediksi iklim. Namun, di beberapa tempat akibat iklim yang tidak dapat diprediksi itu kemudian disiasati oleh perempuan dengan berbagai upaya agar bisa survive. Hal lain, misalnya apa yang dilakukan oleh perempuan di tengah krisis air. Kita tahu kepentingan perempuan terhadap air pasti lebih khas, lebih khusus, dan lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, karena mereka memiliki perangkat-perangkat khusus reproduksi yang membutuhkan sumber air bersih yang lebih banyak. Krisis air juga tidak berhenti sampai di situ. Karena perempuan tidak bisa mendapatkan air bersih untuk kebutuhan konsumsi dia dan keluarga, maupun untuk kebutuhan reproduksi dia sebagai perempuan, akhirnya juga menambah beban ekonomi keluarga. Mengingat untuk memenuhi itu mereka harus membeli air yang berarti mengurangi anggaran keluarga. Banyak turunan dari krisis yang ditimbulkan akibat dari perubahan iklim ini.
Di sisi lain, dalam konteks kebijakan, banyak yang menganggap persoalan ini sebagai netral gender. Artinya semua laki-laki dan perempuan sama terkena dampak perubahan iklim. Itu yang kemudian menjadi kritik kami terhadap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA), mengingat di dalam proses UNFCCC dimana pemerintah hadir, KPP & PA tidak mengambil peran secara aktif untuk terlibat dalam proses diplomasi internasional ketika ada pembicaraan terkait dengan bagaimana memasukkan ‘gender-justice’ (meskipun kita tahu diplomasi di UNFCCC kembali mundur dengan menggunakan justifikasi krisis iklim). Sekarang ini kata krisis dibajak, digunakan kepada berbagai hal: krisis pangan, krisis air, krisis energi, krisis iklim. Yang membajak adalah korporasi. Ini yang mungkin menjadi tantangan bagi gerakan masyarakat sipil dan gerakan lingkungan, karena ketika di awal berbicara apa itu persoalan lingkungan, perubahannya sangat cepat. Justru krisis-krisis itu kini dibajak oleh korporasi untuk menambah keuntungan buat mereka.
Misalnya, ketika berbicara soal krisis energi karena sebagian besar pembangunan dunia global mengandalkan pada fosil fuel, kini mereka beralih ke bio-fuel atau agro-fuel. Apa dampaknya? Mereka negara-negara industri itu menggunakan agro-fuel, tetapi mereka kan tidak mau menurunkan konsumsi mereka. Mereka tidak mau menurunkan konsumsi, namun mereka beralih ke agro-fuel. Tetap saja yang menjadi sasaran lahan ekspansi dari sumber energi agro-fuel adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia. Apa lagi artinya? Artinya praktik-praktik perampasan tanah semakin kuat. Dan sekarang korporasi atau perusahan-perusahaan sawit sedang giat dan mati-matian mengkampanyekan bahwa sawit adalah hutan. Ini agar mereka mendapat keuntungan, karena basisnya adalah trading, pasar. Dan pengolahan dari industri yang basisnya adalah pasar, akan mendapatkan keuntungan. Nah, trend-trend seperti itu yang begitu cepat berkembang. Masalah-masalah global punya dampak atau implikasi begitu kuat di lapangan, di basis-basis.
Apakah persoalan-persoalan itu juga memiliki dampak langsung pada kesehatan dan fungsi reproduksi perempuan?
Pasti berelasi, karena perempuan punya fungsi dan peran reproduksi yang berbeda dengan laki-laki, misalnya saat menstruasi, perempuan pasti membutuhkan air bersih yang lebih banyak. Dari situ saja sudah bisa terlihat dengan jelas. Oleh karenanya, Walhi memperjuangkan apa yang disebut dengan keadilan ekologis. Keadilan ekologis itu bukan saja berhenti pada hari ini, akan tetapi menyangkut generasi yang akan datang yang kebanyakan terkait langsung dengan perempuan, karena dia punya fungsi-fungsi reproduksi itu. Di banyak tempat seperti kasus Buyat dan Newmont, banyak anak-anak yang lahir dalam situasi yang tidak sehat, atau bayinya meninggal akibat dari paparan pencemaran. Air tercemar, dan PAM juga tercemar. Jadi memang kalau bicara soal keadilan ekologis itu tidak hanya bicara tentang hari ini. Jaminan kehidupan masa depan anak-anak, dan kualitasnya sangat tergantung pada bagaimana situasi lingkungan hari ini. Itu yang khas dari relasi antara lingkungan hidup dengan perempuan.
Upaya-upaya apakah yang telah dilakukan oleh perempuan sendiri dalam menyelamatkan lingkungannya?
Selama ini perempuan sudah melakukan banyak hal sebagai bagian dari upaya mereka memperjuangkan hak hidup yang baik dan sehat. Salah satunya contohnya, ketika ada krisis iklim di Sulawesi Selatan, perempuan segera merubah jenis tanaman yang cocok dengan iklim yang tidak bersahabat itu. Mereka menggunakan plastik untuk menutupi tanamannya. Itu salah satu dari cara perempuan berstrategi.
Di banyak tempat, pengetahuan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam itu sudah sejak zaman dahulu, secara turun temurun masyarakat adat punya pengetahuan yang luar biasa. Di NTT, pengetahuan tentang bibit, kapan menanam, bibit mana yang akan digunakan ada pada perempuan. Di masyarakat adat di Kasepuhan, Lebak juga ada pengetahuan perempuan dalam pengelolaan pertanian. Tapi sebagian besar pengetahuan itu dihancurkan pelan-pelan dengan mengatas-namakan pembangunan dan pengetahuan modern. Dengan kata lain, sebenarnya, pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam mengelola sumber daya alam itu sangat besar, tetapi sebagian besar pengetahuan dan pengalaman itu dihancurkan dari praktik ‘revolusi hijau’.
Industri tambang juga menghancurkan pengetahuan perempuan. Misalnya di Kalimantan Timur, salah satu sumber daya ekonomi perempuan adalah membuat gula merah terbaik, tetapi sekarang hancur oleh tambang batubara. Dulu, di hutan Kalimantan, mereka gilir balik perladangan. Perempuan juga tidak terlalu khawatir karena untuk memenuhi kebutuhan mereka memiliki pertanian di sekitar rumah. Mereka memproduksi gula merah sebagai sumber ekonomi keluarga. Ketika itu hancur karena penambangan batubara, sebenarnya bukan hanya menghancurkan ekonomi perempuan, tetapi juga menghancurkan pengetahuan perempuan dalam memproduksi salah satu sumber pangan, yaitu memproduksi gula merah. Dampaknya yang lain, sekarang ini perempuan menjadi berrgantung secara ekonomi kepada laki-laki.
Di sisi lain, perjuangan perempuan dalam mempertahankan lingkungan juga luar biasa. Mereka mulai merevitalisasi pengetahuan pengetahuan adat. Misalnya, Ibu Werima Mananta, perempuan dari suku Dongi Karonsi’e yang menghadapi dan melawan perusahan tambang nikel dari Inco, di Sulawesi Selatan. Bagaimana dia berjuang? Dia memiliki cara yang khas dalam berjuang, yaitu melakukan revitalisasi pengetahuan-pengetahuan adat yang sudah lama ditinggalkan. Ketika perusahaan tambang sedang diekplorasi, warga sempat mengungsi. Ketika mereka balik lagi, semua sudah nggak ada. Sawah sudah menjadi lapangan golf milik perusahaan. Nama-nama bukit diganti oleh perusahaan. Sumber mata air diganti oleh perusahaan. Nah, Ibu Werima kemudian berjuang, salah satu caranya dengan mengembalikan nama-nama yang dulu dikenal warga. Jadi revitalisasi adat menurutnya adalah cara untuk membangkitkan semangat dan memori warga. Itu yang tidak pernah dipikirkan oleh teman-teman laki-laki karena mungkin dianggap tidak heroik.
Apakah itu lebih karena kesadaran perempuannya atas nilai-nilai adat yang dibangun, ataukah karena ada sebuah konstruksi dalam masyarakat adat sendiri yang membuat perempuan memiliki kesadaran atas nilai-nilai itu?
Kenapa perempuan melakukan itu, satu, karena keterikatan perempuan dengan tanahnya, airnya. Artinya keterikatan perempuan dengan alamnya. Rata-rata para perempuan itu mengatakan bahwa kami berjuang bukan cuma untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Mungkin salah satunya karena ada kesadaran bahwa perempuan memiliki fungsi-fungsi reproduksi sehingga jauh-jauh hari dia juga sudah membayangkan dan memikirkan kepentingan generasi berikutnya. Kedua, masyarakat adat hampir semua mengatakan bahwa alam memiliki simbol-simbol yang identik dengan perempuan. ’Ibu bumi’, itu begitu dekat dengan perempuan. Terutama bagi masyarakat adat, karena memang nilai-nilai spiritualitas masyarakat adat berelasi dengan alam.
Ibu Werima paham betul bahwa keterikatan masyarakat adat akan nilai-nilai spiritualitas dengan alamnya sangat dekat. Sehingga cara dia berjuang salah satunya dengan kembali merevitalisasi pengetahuan adat yang hilang atau dihilangkan. Misalnya nama jalan. Itu bukan hanya nama jalan. Tetapi ada cerita, ada nilai-nilai spiritualitas dibalik nama jalan itu. Hal itu yang dikembalikan oleh Ibu Werima dengan pemasangan plang nama-nama jalan yang lalu.
Selain itu, Ibu Werina juga melakukan demonstrasi, turun ke jalan dan tetap melakukan itu. Tidak kurang dari 50 kali dia melakukan perundingan dengan perusahaan. Tapi sampai dia meninggal tahun 2013 kemarin, dia belum menemukan keadilan.
Apa kaitan pengetahuan perempuan, kedekatan perempuan dengan lingkungan dengan konsep Ekofeminisme?
Ekofeminisme muncul dari kesadaran bahwa ada keterikatan yang begitu kuat antara perempuan dan lingkungan. Yang menarik dari feminisme sebagai sebuah pengetahuan adalah dia menghargai apa yang disebut dengan pengalaman pribadi perempuan. Pengalaman pribadi setiap orang adalah pengetahuan yang valid. Itu yang tidak ada pada pengetahuan yang patriarkhi. Maka dari itu setiap pengalaman perempuan berelasi kuat dengan alamnya, dengan pengelolaan sumber daya alamnya, dengan kearifannya dalam mengelola lingkungan.
Di sisi yang lain, terus berkembang kesadaran bahwa pengetahuan itu dipengaruhi oleh persoalan global. Kalau kita baca dalam konteks ekonomi global, kita memahami bagaimana globalisasi dan kapitalisme mereduksi pengetahuan personal perempuan dan komunitasnya yang terus dimunculkan. Nah, yang menarik dari ekofeminisme adalah dia menyetarakan atau menganalogikan bahwa penghancuran bumi sama dengan menghancurkan kehidupan perempuan. Jadi opresi terhadap alam yang dilakukan oleh corporate, negara, maupun lembaga-lembaga keuangan sama dengan menyetarakan opresi terhadap tubuh perempuan. Kita mendengar istilah praktik industri tambang seperti memperkosa perempuan. Itu sebenarnya penyetaraan opresi perempuan dengan opresi terhadap alam.
Siapa saja tokoh-tokohnya dan nilai-nilai apa saja yang diajarkan?
Kebanyakan kita akan mengacu ke Vandana Shiva dari India. Saya pernah menuliskan refleksi pertemuan saya dengan tokoh-tokoh yang memiliki pengalaman luar biasa di berbagai pelosok Indonesia dalam bentuk opini dengan judul “Ekofeminisme di Indonesia, Apakah Ada?” Sebenarnya saya mau mengungkap ada banyak sekali ekofeminis-ekofeminis dari Indonesia yang tidak dikenal di masyarakat luas. Mereka melakukan perjuangan-perjuangan luar biasa, seperti dipraktikkan oleh Ibu Werima Mananta tadi. Dalam artikel saya, saya mengambil contoh Ibu Werima karena dia sudah mempraktikkan nilai-nilai ekofeminisme sebenarnya. Bagaimana pengetahuan khas perempuan dipraktikkannya sebagai caranya.
Untuk tokoh Indonesia yang banyak membicarakan soal globalisasi dan dampaknya terhadap perempuan dalam berbagai forum dan diskusi adalah Mbak Hira Jhamtani,. Tetapi yang langsung mempraktikkannya banyak sekali. Sayangnya belumbanyak yang terdokumentasikan. Terakhir adalah Mama Aleta Baun dari NTT.
Kalau kita baca cerita tentang Mama Werima dan Mama Aleta, kita bisa lihat perjuangan mereka itu sangat khas. Di banyak tempat juga seperti itu. Oleh karenanya Walhi membukukan bagaimana perempuan berjuang. Itu sebenarnya bagian dari kritik bagi gerakan lingkungan sendiri. Selama ini, sebenarnya kami sudah cukup lama berjibaku dan beririsan antara lingkungan hidup dengan isu-isu perempuan, namun tidak terdokumentasikan dengan baik. Itu merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan perjuangan perempuan.
Ada juga cerita tentang ibu-ibu di Sugapa, di Indorayon, Sumatera Utara, yang begitu luar biasa melakukan perjuangan lingkungan hidup menghadapi perusahaan. Rata-rata perempuan-perempuan itu berjuang menghadapi korporasi besar. Perempuan-perempuan memang cukup militan dalam berjuang. Itu saya alami ketika mendampingi ibu-ibu di Bojong (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu atauTPST Bojong Menteng). Ibu-ibu di sanalah yang kuat melakukan perlawanan.
Dulu polisi, dan tentara masih mikir-mikir kalau mau melakukan kekerasan terhadap perempuan. Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Ibu Nursihah di Sumatera Selatan yang berjuang melawan industri sawit mengalami kekerasan khas perempuan. Dia ditangkap padahal saat itu dia tengah menyusui. Sehingga ketika dia ditangkap, dia jadi sakit dan anaknya juga sakit karena tidak bisa menyusui. Selain corporate, nampaknya para aktor ini juga mengerti bagaimana cara untuk membungkam perempuan. Oleh karenanya, yang diserang adalah fungsi dan peran spesifik perempuan, yakni fungsi reproduksinya.
Di Bengkulu, ada pasangan suami istri yang sangat kuat dalam melawan industri tambang dan sawit. Apa yang dilakukan corporate untuk membungkam perjuangan mereka? Kedua anak gadisnya mengalami kekerasan seksual. Itu yang dilakukan, yakni penyerangan terhadap fungsi reproduksi perempuan. Dan itu yang khas terjadi pada perempuan.
Yang terakhir adalah Eva Bande dari Sulawesi Tengah. Dia ibu beranak tiga, anaknya ada yang masih kecil. Karena perlawanannya, Eva diperkarakan di pengadilan dan diputus 4 tahun penjara.Yang paling memberatkannya adalah karena dia harus meninggalkan 3 anaknya.
Jadi ada fungsi dan peran yang disasar untuk membungkam suara perempuan. Di tahun 2014 ini ada 2 perempuan yang mendapatkan kriminalisasi. Ada ibu rumah tangga yang karena ingin berjuang di persoalan lingkungan juga mendapat kriminalisasi. Dan kabarnya hukumannya lumayan berat, dengan pasal karet seperti “perbuatan tidak menyenangkan”. Itu yang menurut kami memang penting kenapa kita perlu menyuarakan secara lebih kuat soal kekerasan terhadap perempuan pejuang lingkungan dan HAM.
Adakah contoh-contoh budaya yang mengapresiasi peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan?
Budaya itu tidak hanya ritual-ritual yang sifatnya simbolik, akan tetapi pengetahuan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang itu memang merupakan bagian dari sebuah kebudayaan. Selain nyanyian-nyanyian dan cerita-cerita rakyat, banyak yang menceritakan bagaimana keterikatan masyarakat adat terhadap alam, yang itu dilakukan oleh perempuan. Saya mengkatagorikan cerita dan pengetahuan-pengetahuan itu sebagai sebuah kebudayaan.
Misalnya, di Kalimantan masyarakat mempertahankan ritus makam sebagai bagian dari kebudayaan, karena keterikatan tadi. Keterikatan nilai-nilai spiritualitas yang memang dekat dengan alam. Tapi sekarang kelihatannya hal itu menjadi hanya bersifat simbolik. Upacara panen itu masih menggunakan ritual adat, meskipun di beberapa tempat seperti di Kasepuhan akhirnya menjadi bersifat simbolik pada kelembagaan adat, menjadi hanya sebagian yang sedikit tersisa.
Sebenarnya cerita Kasepuhan itu begini. Dalam kebudayaan mereka itu hidup ritual yang berelasi kuat antara alam dengan kebudayaan. Ketika alamnya dihancurkan, kebudayaannya hanya menjadi simbol. Kelembagaannya hanya jadi simbol saja. Ini yang sedang dikerjakan dan diperjuangkan oleh teman-teman, untuk merevitalisasi simbol adat. Sebagian memang dihancurkan sehingga yang ada hanya kelembagaan adat yang simbolik. Di Kalimantan ada Peraturan Gubernur (Pergub) adat, tetapi yang memimpin gubernurnya. Jadi hanya simbolik yang sebenarnya tidak ada artinya bagi masyarakat adat ketika alamnya sudah rusak.
Tantangan-tantangan apa yang dihadapi dalam upaya pengelolaan lingkungan ini?
Saya melihat tantangan itu justru ada di gerakan masyarakat sipil baik di gerakan perempuannya maupun gerakan lingkungannya, karena kita semua masih melihat persoalan ini secara parsial. Padahal persoalan ini saling berelasi kuat. Misalnya kritik terhadap Walhi sendiri, organisasi dimana saya terlibat di dalamnya. Sebenarnya, isu ini telah kami sadari semenjak tahun 1995, dimana ada relasi begitu kuat antara perempuan dengan lingkungan hidup yang hal itu dibawa pada pertemuan Beijing dengan mengangkat contohnya ada tenun ikat dari NTT. Itu kebudayaan. Namun di situ juga ada cerita soal bagaimana perempuan mengelola sumberdaya alam melalui tenun ikat itu.
Namun dalam praktik advokasinya banyak yang netral gender. Perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi korban dari kapitalisme. Belum menelaah secara lebih detail. Padahal di lapangan perempuan selalu di depan dalam melakukan perjuangan. Dan mereka juga tahu dan banyak aktivis juga tahu. Sama dengan bidang agraria juga begitu. Kritik dari pelaku gerakan agraria juga begitu. Banyak kajian tentang reformasi agraria, tetapi tidak banyak yang menceritakan bagaimana perbedaan konteks perempuan terhadap tanah dengan laki-laki terhadap tanah, karena kita tidak bisa melihat komunitas itu homogen. Mestinya ada relasi kelas yang dibaca, relasi gender yang dibaca, relasi etnisitas yang dibaca. Itu gerakan lingkungan dan agraria.
Nah, yang juga menjadi pertanyaan atau gugatan gerakan perempuan bagaimana? Yang menjadi korban kerusakan alam perempuan, yang melakukan perjuangan adalah perempuan. Tetapi gerakan perempuan sendiri masih banyak yang parsial melihat hal itu. Banyak sekali organisasi perempuan yang berbicara soal hak-hak reproduksi. Tetapi menghubungkan hak perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan isu-isu perempuan yang lebih spesifik seperti hak atas kesehatan reproduksi itu juga sedikit. Bagaimana menemukan itu? Saya kira tantangannya di situ. Karena di lapangan, di basis-basis sebenarnya yang berhadapan dengan persoalan itu adalah perempuan dan yang memperjuangkannya juga perempuan.
Jadi strategi untuk mengatasi persoalan itu seperti apa?
Kalau kami di Walhi mencoba mengatasinya dengan memberikan perspektif gender justice pada aktivis-aktivisnya, karena mereka yang akan lebih banyak berinteraksi di komunitas. Memang lebih banyak yang kami lakukan ke dalam dulu, mengingat mau tidak mau strategi kami akan berpengaruh pada gerakan penyelamatan lingkungan di komunitas.
Yang lain memang ada upaya mempengaruhi, salah satunya KPP dan PA. Memang agak berat mempengaruhi mereka di tengah isu lingkungan yang sudah sangat kompleks. Dan mereka bilang kami sudah peduli lingkungan, dengan cara menanam pohon. Menanam pohon memang bagus, tetapi kalau tidak memperhatikan pengrusakan padahal sebenarnya mereka punya keistimewaan bisa mempengaruhi lembaga negara yang lain. Tetapi memang agak berat, karena Kementerian Lingkungan saja sudah tidak berdaya menghadapi Departemen Sektoral Sumber Daya Alam (SDA) di Departemen Kehutanan, ESDM. Apalagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dimana mereka sendiri baru.
Selanjutnya, yang saya kira memang dibutuhkan adalah bersinergi, konsolidasi. Di sini kita sering memanfaatkan momentum. Misalnya di Hari Tani, kita konsolidasi. Tetapi kita juga harus mulai mengkonsolidasikan ide, gagasan, mencoba menemukan itu. Mungkin tantangan besarnya di situ. Tetapi saya kira, pasti bisa. Di tengah fragmentasi gerakan, bukan saja gerakan lingkungan dan gerakan perempuan. Mengingat gerakan perempuan saja fragmentasi gerakannya begitu kuat. Namun, di tengah fragmentasi gerakan, kita kan harus terus mencoba. Seperti di internal kami ada Gender Working Group. Ada kemajuannya dan juga ada kemandegannya, dan mesti didinamisir lagi. Saya kira itu merupakan dinamika gerakan sosial. (AD. Kusumaningtyas)
Similar Posts:
- Langkah Penyelamatan Alam
- Dampak Kerusakan Lingkungan : Siapa Lebih Banyak Jadi Korban?
- KUPI: Momen Tepat di Tengah Kuatnya Interpretasi Maskulinitas
- Membangun Ruang Aman Menumbuhkan Solidaritas: Catatan Training of Facilitator Pengorganisasian Komunitas
- Peran Manusia Sebagai Khalifah adalah untuk Menjaga Kelestarian Alam