Rasulullah saw. sebagai pemimpin agama dan negara telah menyampaikan ajaran-ajaran penting terkait lingkungan hidup, baik dalam konteks beragama, maupun dalam konteks bernegara.Ajaran Nabi tentang lingkungan hidup terdapat dalam beragam tema, mulai akidah, ibadah, muamalah, akhlak, hingga soal peperangan.
- Lingkungan Hidup dalam Akidah
Dalam khazanah hadis kita dapati bahwa aktivitas melestarikan lingkungan hidup adalah ibadah. Siapa yang melakukannya, akan ada pahala di sisi Allah. Demikian pula sebaliknya.Menanam pohon merupakan hal yang sangat dianjurkan.
عَنْ جَابِرٍ مَرْفُؤعًا مَامِنْ مُسْلِمِ يَغْرُسُ غَرْسًااِلاَّمَااُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَاسُرِقْ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ , وَمَااَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَلَهُ صَدَقَةٌ ، وَلاَيَرْزَءُؤهُ – اَى يَنْقُصُهُ وَيَأْخُذُمِنْهُ – اَحدْ اِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ . – اِلى يَؤمِ الْقِيَامَةِ
Artinya :
“ Rasulullah saw, bersabda, “Seorang muslim tidak menanam tanaman kecuali apa yang dimakan dari tanaman itu menjadi sedekah baginya. Apa yang dicuri dari tanaman itu menjadi sedekah baginya. Apa yang dimakan binatang buas menjadi sedekah baginya. Apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya. Dan tidaklah orang lain mengambil manfaat (dari pohon iti) kecuali menjadi sedekah bagi (penanam)nya.……..”(HR Muslim dari Ibnu Numair).
Hadis ini menekankan pentingnya menanam, bukan semata menikmati hasilnya. Para penanam pohon adalah para penyedekah dengan pahala yang mengalir, sadar atau tidak.
Berdasarkan hadis-hadis Nabi, Imam as-Suyuthi menggubah syair tentang 10 amal yang pahalanya terus mengalir kepada orang yang sudah meninggal, yakni : ilmu yang disebarluaskan, doa anak saleh, menanam pohon, sedekah jariyah, mewariskan mushaf, membangun tempat untuk fakir miskin, menggali sumur/ mengalirkan air, membuat rumah singgah, membangun tempat zikir, mengajarkan Alquran.[1]
Dari 10 amal di atas, tampak bahwa aktivitas melestarikan lingkungan hidup menjadi amal jariyah, yakni menanam pohon dan menyediakan air yang dibutuhkan.Syair ini tentu tidak untuk dimaknai bahwa hanya itu perbuatan amal jariyah manusia, karena semua yang berdampak positif dan bermanfaat jangka panjang pada dasarnya adalah amal yang pahalanya terus mengalir (jariyah).
Hari kehancuran dunia (as-sa’ah)juga terkait langsung dengan kerusakan alam.Sangat banyak hadis Nabi yang menginformasikan tanda-tanda hari kehancuran dunia dan hari kiamat (kebangkitan) dengan fenomena alam yang berjalan di luar kebiasaan.Salah satunya adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Khaitsamah yang menjelaskan 10 tanda as-sa’ah segera terjadi, yakni ada ad-dukhan (asap tebal), Dajjal, binatang melata raksasa yang keluar dari lautan, matahari terbit dari barat, Nabi Isa as. turun, Ya’juj Ma’juj, gerhana bulan di 3 penjuru bumi yang berbeda yakni Timur, Barat, dan Jazirah Arab, dan keluarnya api dari Yaman.[2]
Sementara dalam hadis lain juga dinyatakan : ِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
“Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah”
Berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, dapat dinyatakan bahwa perusakan lingkungan hidup yang terus terjadi tanpa terkendali menjadi faktor penyebab langsung kehacuran bumi.
2. Lingkungan Hidup dalam Ibadah
Tema thaharah dan haji sangat terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.Dalam thaharah, air mendapat perhatian yang sangat besar.Berwudhu, mandi wajib, istinja’ dan menyucikan benda yang terkena najis mensyaratkan adanya air yang suci dan menyucikan.
Penggunaan air dalam ibadah menjadi perhatian serius Nabi. Beliau sangat menekankan perlunya penggunaan air secara efisien.Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas ra.disebutkan bahwa Nabi berwudhu menggunakan 1 mud air (setara 6 ons, kurang dari satu liter) dan mandi 1 sha’(setara 2,4 kg, sekitar 5 liter).[3]Sangat hemat, tidak tabdzir (sia-sia) dan tidak israf (berlebihan). Nabi sangat menyadari bahwa air adalah karunia Allah yang harus diperlakukan secara benar dan bijak sesuai tuntunan sang pemberi karunia.
Karena air adalah karunia Allah, maka setiap memulai menggunakannya setiap muslim hendaknya ingat Allah. Dengan mengucapkan “bismillahirrahmanirrahiim” setiap kali hendak minum, berwudhu dan mandi, konsumsi air akan bernilai ibadah dan berdimensi spiritual karena ucapan basmalah adalah penghubung antara perbuatan manusia dengan Allah swt ., Rasulullah mengajarkan dan mencontohkan hal itu.
Dalam thaharah juga diatur dengan jelas tempat-tempat terlarang buang hajat. Semua demi kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan kelestarian lingkungan hidup.Air, tanah, dan udara harus bebas dari polusi.Dalam beberapa hadis Rasulullah saw. melarang buang air besar dan kecil di jalan, di tempat berteduh, di bawah pohon yang berbuah, di sumber air, tempat pertemuan air, pinggiran sungai, di liang-liang tanah di mana binatang tinggal, dan di air yang tidak mengalir. Rasulullah menyebut perbuatan buang hajat sembarangan sebagai hal yang dilaknat.[4] Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. menyebutkan :
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِم الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“Janganlah seseorang dari kalian kencing di dalam air yang diam, yang tidak mengalir, kemudian mandi darinya.”Rasulullah mengajarkan bahwa pepohonan dan satwa juga mesti dilindungi demi kelestarian ekosistem. Simbol perlindungan terhadap keduanya sangat jelas diajarkan dalam haji dan umrah.Membunuh binatang buruan saat ihram menjadikan orang yang sedang ihram harus membayar denda (QS al-Maidah/5:95). Demikian pula memotong pepohonan yang tumbuh di tanah Haram. Khutbah Nabi saat Fathu Makkah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah[5] menjadi dalil haramnya memotong pepohonan saat ihram dan wajibnya membayar denda jika melanggar.
3. Lingkungan Hidup dalam Muamalah
Pemanfaatan lahan untuk kepentingan ekonomis tanpa merusaknya adalah hal yang dianjurkan dan mendapat perhatian khusus dari Rasulullah saw. Beliau melarang penggalian tanah secara spekulatif untuk mendapatkan sesuatu, sekalipun tanah itu milik pribadi.Sebagai gantinya, Rasulullah memerintahkan agar tanah itu ditanami.[6]
Terhadap tanah mati yang tak ada pemiliknya, tidak ada air, tidak ada bangunan, dan belum pernah ada yang memanfaatkan,[7]dianjurkan agar tanah tersebut dihidupkan dengan ditanami atau dimanfaatkan dengan seizin pemerintah yang berwenang. Dalam kitab-kitab hadis hal ini disebut ihya’ul mawat.Negara berhak menguasai tanah mati ini dengan menjadikannya milik umum yang pemanfaatannya diserahkan kepada semua rakyat.[8] Orang yang menghidupkan tanah mati ini lebih berhak atas tanah tersebut. Demikian dinyatakan dalam hadis riwayat Bukhari dari Urwah dari Aisyah ra.[9]
Khalifah atau pemerintah memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan lahan demi kepentingan kemaslahatan umum dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam hadis, ada dua istilah yang biasa digunakan, yakni al-Hima dan al-Iqtha’. Oleh fikih klasik, Al-Hima didefinisikan sebagai lahan dari bumi mati di mana kepala negara melarang orang-orang menggembala di situ. Khalifah Umar bin Khattab membuat tanah Syaraf dan Ribdzah sebagai hima.[10]Dalam konteks sekarang al-hima bisa dimaknai hutan lindung dan daerah konservasi. Adapun al-Iqtha’ didefinisikan sebagai pengkhususan kepala negara kepada seorang rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah untuk kemaslahatan umum dalam jangka waktu tertentu[11]Rasulullah saw. pernah memberikan hak iqtha’ kepada Wail di Hadramaut .[12]Dalam konteks saat ini al-iqtha’ bisa dianalogikan dengan hak penggunaan lahan/ hutan.
Demi kesejahteraan umum, sumberdaya strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki perorangan atau dikomersialisasikan oleh korporasi. Rasulullah saw. bersabda,” Manusia bersekutu dalam tiga hal; air, api (energi) dan hutan.” (HR Ahmad dan Abu Dawud )[13].Berdasarkan hadis ini tiga sumberdaya alam pemberian Allah yang vital dan strategis ini adalah milik umum yang harus dimanfatkan untuk semua secara adil. Secara tidak langsung hadis ini menekankan perlunya negara melakukan pengelolaan agar semua orang dapat terjamin aksesnya secara adil atas ketiga SDA tersebut. Sabda Nabi ini senafas dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kalau sampai hari ini ternyata amanat konstitusi dan spirit Islam itu belum terwujud, bahkan lebih bergerak ke arah privatisasi, itu adalah tantangan kita sebagai muslim Indonesia.
4. Lingkungan Hidup dalam Akhlak
Akhlak Islam terhadap lingkungan hidup menunjukkan peradaban yang tinggi.Lingkungan hidup tidak hanya wajib dipelihara dan diambil manfaatnya, tetapi juga wajib dilindungi dan dilestarikan dalam berbagai situasi, termasuk dalam situasi perang, di mana manusia pada umumnya tidak beradab, bahkan kanibal.
Akhlak yang sangat tinggi ini diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah saw. yang hidup di masa di mana peperangan adalah tradisi politik seluruh bangsa dan suku di dunia saat itu. Pada saat penaklukan Mekkah, tidak terjadi pertumpahan darah. Bahkan satwa dan pepohonan pun dilarang untuk dibunuh dan dimusnahkan oleh Rasulullah saw. Khutbah Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan hal itu.[14]Jika dalam situasi perang saja seperti itu, bagaimana saat damai? Tentu flora dan fauna semestinya dilindungi sebagai implementasi akhlak Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dirasah Hadis 2: Lingkungan Hidup dalam Perspektif Hadis
Dirasah Hadis 3: Peran Perempuan
[1]Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, Tahqiq al-Aamaal fi Maa Yanfa’u al-Mayyitu min al-A’maal, Maktabah Dar Jawami’, Cairo, tth.h 13-15.
[2]Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, hadis ke 2901, Dar al-Fikr, tth.
[3]Ibnu Hajar al-Asqallani, Bulugh al-Maram, bab al-Wudhu’, hadis ke-61.
[4]Lihat Ibnu Hajar, Ibid, bab Adab Qadha’ al-Hajat, hadis- no 97-100
[5]Ibid.,Bab al-Ihram wa Ma Yata’allaqu Bihi, hadis no 756.
[6]Muslim bin Hajjaj, ibid, bab Kira’ al-Ardhi, hadis no 1047 dan 1048.
[7]Ini adalah definisi Madzhab Hanbali. Madzhab yang lain kurang lebih sama, perbedaan hanya pada syarat. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Juz V, bab Ahkam al-Aradhi, h.426.
[8] Muhammad Rawwas Qal’ahJ, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab, (terj.), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h.172.
[9] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, babMan Ahya Ardhan Mawatan…., lihat juga Ibnu Hajar dalamBulugh al-Maram bab Ihya’ al-Mawat, hadis no 941.
[10]Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Ibid, h. 154.
[11]Ibid, h. 216
[12]Ibnu Hajar, Ibid, hadis no 948.
[13] Ibid, hadis no 950
[14]Ibid, hadis no 756.