Perjuangan untuk menuju lokasi pesantren Sabilul Huda yang cukup melelahkan berakhir sudah. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari Matanair, Rubaru, Sumenep, dengan diboncengkan sepeda motor oleh Raudlatun -salah seorang mitra Rahima di Madura- dan beberapa kali bertanya pada penduduk, sampailah kami ke pesantren Bu Nyai yang satu ini. Lokasi pesantren yang ditinggali Nyi Mae, begitu masyarakat setempat memanggilnya memang cukup jauh dari kota, kurang lebih 5 km dari kecamatan Ganding.
Nyai Hj. Maesaroh, yang lahir di Gadu Barat, Ganding, Sumenep, 27 Desember 1962 merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Semenjak menikah dengan H. Zaeni seorang lelaki yang berusia 12 tahun lebih tua darinya, Nyi Mae -begitu masyarakat biasa memanggil beliau- memang bertekad untuk mengikuti jejak sang suami untuk bersama-sama mengasuh pesantren putri Sabilul Huda yang berlokasi di Kedu Barat Ganding, Sumenep. Ada sekitar 90-an santri yang bermukim di pondoknya. Sementara, pesantren putra diasuh oleh sang adik, H.Ridwan Hadi.
Dari pernikahan tersebut Nyi Mae dikaruniai 5 orang anak. 4 orang putra yaitu Muhammad Rafiq, Ahmad Altuq, Muhammad Musaeni, dan Insan Muttaqin. Sementara si bungsu Alimatun Musyainah adalah satu-satunya anak perempuan yang kini masih kuliah di Yogyakarta. Berhubung putra pertama hingga ketiganya telah menikah dan ada yang telah memiliki keturunan, maka keluarga Nyi Mae sekarang merupakan keluarga besar yang ia harapkan dapat menjadi generasi penerus pesantren.
Mengawali Kiprah sebagai Juru Dakwah
Sang suamilah yang mendukungnya untuk berkiprah di masyarakat. Awalnya, Nyi Mae memulai aktivitasnya dalam pengajian bersama di perkampungan dan di desa-desa. Pada tahun 1985, ia mulai berkiprah dalam berbagai kegiatan di masjid. Dan tahun 1999 tergabung sebagai ‘juru dakwah’ di lingkungan kepengurusan Fatayat Cabang Sumenep. Tahun 2003 bersama 5 orang rekannya, Nyi Mae diangkat sebagai pengurus anak cabang Fatayat dan menjadi pengurus bidang dakwah dan budaya. Akan tetapi di antara mereka berlima, ada 2 da’i favorit yaitu Maesaroh sendiri bersama sahabatnya Zaenab yang kini menjadi istri dari Ki Fayyad, pimpinan pesantren Al Karawi , Ganding, Sumenep.
Kegiatan dakwah Nyi Mae masih berlangsung hingga kini. Baik semenjak menjabat sebagai Ketua Muslimat NU Anak Cabang (Ancab) Ganding, yang sekaligus menjadi pengurus bidang dakwah Muslimat NU cabang Sumenep. Ada hal menarik yang sempat diceritakannya saat beliau aktif berdakwah. Kendala transportasi pernah menjadi tantangan tersendiri baginya. Mengingat Nyi Mae tidak bisa mengendarai sepeda motor dan juga tidak berkenan untuk boncengan, situasi itu sempat menjadi concern tersendiri bagi Pak Camat setempat yang memang sangat mendukung kegiatan Muslimat. Pak Camat menawarkan agar Nyi Mae berkenan memakai kendaraan yang beliau sediakan, sebab Bu Camat juga senang mengikuti pengajian. Bahkan, karena setiap hendak ada pengajian Nyi Mae selalu diminta mengabarkannya pada Pak Camat, sempat muncul gosip bahwa beliau berpacaran dengan Pak Camat. Saat menceritakan soal gosip yang memang tidak terbukti itu, Nyi Mae kembali tertawa gelak.
Ulama yang Peka pada Situasi Sosial
Perkenalannya dengan Rahima dalam program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) I Jawa Timur, dimulai ketika beliau bersama 3 orang rekannya dari Sumenep yang lain diminta hadir untuk mengikuti wawancara di Surabaya. Nyi Mae yang sebelumnya jarang bepergian jauh kecuali ketika mengantar rombongan jama’ah haji ini, sempat grogi menanti giliran. Apalagi rekan-rekannya membawa setumpuk kitab kuning dan bahkan kitab Tafsir segala.
Tiba giliran Nyi Mae, Bang Helmi, salah seorang anggota tim rekrutmen waktu itu menanyakan apa pendapatnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Pucuk dicinta ulam tiba. , kebetulan sebelum berangkat ke Surabaya, salah seorang tetangga Nyi Mae datang kepadanya karena ada masalah. Suaminya ingin berpoligami, namun sang istri tidak setuju sehingga ia ditampar. Sebelumnya, memang si istri menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual sehingga ia dipukuli. Pada si korban, Nyi Mae mengatakan “Cepatlah lapor. Masa perempuan dipukuli begitu. Perempuan tidak boleh dipukul dan dipoligami. “ Nyi Mae juga membeberkan argumen terkait dengan teks-teks Alquran yang memiliki nuansa pembelaan pada hak-hak perempuan. Refleksi dan penjelasan itu tampaknya membuat Bang Helmi terkesan, sehingga 2 minggu setelah seleksi itu bersama salah satu rekannya Ida Arrayani, Nyi Mae berkesempatan untuk mengikuti serial Tadarus Pengkaderan Ulama Perempuan.
Keprihatinannya yang lain menyangkut soal banyaknya perempuan yang menjadi TKI di luar negeri maupun kasus pernikahan dini yang terjadi di sekitarnya. Dulu, beliau masih sering mendapati santri yang usianya masih kecil hendak ditunangkan bahkan dinikahkan oleh orang tuanya. Bahkan, ada perempuan yang sudah dijodohkan semenjak dia masih berada di dalam kandungan. Mereka beranggapan bila anak tidak segera dinikahkan akan sulit jodohnya. Bahkan, di Pulau Giliyang yang masih berada di wilayah Sumenep (sebuah Pulau yang dinilai paling tinggi kadar oksigennya), menurut Nyi Mae pariwisata di kawasan tersebut juga menyumbang angka pernikahan dini yang masih terjadi. Anak-anak kecil yang dinikahkan seringkali tak menyadari nasib buruk mereka. Oleh karenanya mereka nampak berbahagia saat difoto dengan berpose di atas kuda. Menelaah fenomena tersebut, melalui berbagai forum pengajian maupun nasihat yang dimintakan kepadanya, Nyi Mae senantiasa meluruskan pendapat masyarakat bahwa jodoh berada di tangan Tuhan. Dan pernikahan dini lebih banyak madharat dibandingkan manfaatnya. Salah satu contoh perubahan cara pandang itu dapat dirasakan oleh salah seorang santrinya yang tidak jadi ditunangkan dengan sepupunya. Bahkan, mereka berdua kini tengah menempuh kuliah di perguruan tinggi.
Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Masyarakat
Bu Nyai yang sempat mengenyam pendidikan formal hingga Madrasah Aliyah ini mengaku menyesal tidak sempat melanjutkan kuliah. Karena faktor usia, Nyi Mae akhirnya terpaksa menyerah. Namun, belajar dari pengalaman itu beliau mendorong putra maupun putrinya untuk menimba ilmu setinggi mungkin.
Saat ini, memang Nyi Mae tak lagi banyak mengajar di kelas-kelas madrasah yang ada di lingkungan pesantrennya. Akan tetapi, bukan berarti Bu Nyai yang satu ini sepi dari aktivitas. Rutinitasnya cukup banyak. Menjadi Ketua Muslimat NU Ancab Ganding, pengurus bidang dakwah Muslimat NU cabang Sumenep, mengasuh majelis taklim yang anggotanya sekitar 100-200 orang, mengisi pengajian di kampung-kampung baik yang rutin maupun terkait acara pernikahan maupun selamatan, nujuh-bulanan, dan lahiran. Di Muslimat, kegiatan-kegiatan yang ada diarahkan pada pemberdayaan ekonomi (termasuk simpan-pinjam) dan kesehatan. Belakangan, Bu Nyai juga aktif mengurus Koperasi Lansia maupun biro perjalanan haji dan umrah yang dimiliki oleh pesantrennya.
Demikianlah sekelumit profil Nyai Hajjah Maesaroh atau Nyi Mae. Seorang ulama perempuan dari sebuah pelosok desa di Madura yang ingin membangun masyarakatnya. “Khairunnaasi anfa’uhum linnaas”. Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Kesadaran itulah yang antara lain ingin selalu diwujudkannya. {}AD. Kusumaningtyas