Jika melihat konteks sejarah hadis di atas, pertimbangan jenis kelamin sesungguhnya tidak memperoleh tempat untuk menggugat kepemimpinan perempuan. Aisyah diminta memimpin dan sudah memimpin. Bahkan, dalam banyak kasus yang tercatat di berbagai teks hadis lain, justru peran perempuan yang mampu memberikan alternatif di masa perang, konflik, dan termasuk perdebatan kecil di kalangan masyarakat. Perempuan seringkali lebih leluasa, lebih bijak, dan mampu memberikan jalan tengah bagi kelompok-kelompok yang bertikai. Bisa jadi karena lebih sering menjadi pihak yang terkena dampak dari konflik, perempuan juga banyak berperan menyuarakan perdamaian.
Umm al-Fadl ra, bercerita: pada saat Haji Wada’ ada pertikaian kecil di kalangan sahabat. Satu kelompok menganggap harus puasa pada hari Arafah, karena mendengar kabar: Nabi saw. berpuasa di hari itu. Kelompok lain menolak karena mendengar kabar lain: Nabi saw. justru tidak berpuasa pada hari Arafah. Anehnya, tidak ada satupun dari kedua kelompok ini yang berpikir untuk datang menemui Nabi Saw. daripada terus bertengkar. Mungkin karena suasana sedang khusyu’ ibadah, dan Nabi saw.. pun bisa jadi sedang berdoa saat wuquf Arafah. Umm al-Fadl punya inisiatif. Ketika melihat Nabi saw. berdiri, ia langsung mengirim semangkok susu. Lalu Nabi saw. meminumnya di hadapan khalayak (Sahih Bukhari, Kitab ash-Shaum, bab Shaum Yaum ‘Arafah, no. 2027).
Kisah Umm Salamah ra yang menyampaikan penyelesaian bagi Nabi saw. dan para Sahabat, paska perjanjian damai Hudaibiyah adalah amat terkenal. Perjanjian damai antara Nabi saw. dan orang Quraisy ini tidak diterima oleh sebagian besar Sahabat. Mereka menerima hanya karena Nabi Saw. meminta mereka menerimanya. Mereka teramat gundah dan sedih, karena di antara klausul perjanjian itu: mereka tidak diperbolehkan haji tahun itu dan harus pulang ke Madinah. Padahal sudah berpakaian ihram dan sudah mendekat ke pintu masuk Kota Mekah.
Para Sahabat, di antaranya Umar bin Khattab ra, sesungguhnya memilih melawan dan perang. Tetapi Nabi saw. memilih tawaran damai yang diajukan orang Quraish. Karena batal haji, Nabi saw. meminta para Sahabat untuk menyembelih korban dan mencukur rambut sebagai tanda niat haji berakhir. Tetapi tidak satupun dari mereka yang mengikuti perintah. Tiga kali Nabi saw. mengumumkan dengan suara lantang. Para Sahabat tetap tidak bergeming. Nabi saw. gundah dan masuk tenda Umm Salamah ra. “Nabi, gak usah pakai perintah, mereka memang sedang bersedih. Keluar saja dari tenda, potong hewan sendiri, lalu panggil tukang cukur, minta dia mencukur rambut di depan mereka. Nanti juga, mereka akan ikut”, kata Umm Salamah ra. Nabi Saw. mengikuti saran ini, dan para Sahabat akhirnya mengikuti Nabi Saw. (Sahih Bukhari, Kitab asy-Syurut, no. 2770).
Jika masa Nabi saw. di Mekah dianggap sebagai masa-masa kritis yang penuh dengan konflik di antara kerabat dan keluarga, maka yang berperan banyak untuk menangani hal-hal ini adalah perempuan. Khadijah ra. yang menenangkan Nabi saw. ketika masih ragu dengan wahyu yang pertama kali turun. Khadijah mengajak Nabi saw. menemui seorang pendeta Kristen, Waraqah bin Naufal, untuk memastikan wahyu yang diterimanya itu. Bahkan, ia mendermakan seluruh hartanya untuk umat Islam ketika mereka diboikot orang-orang Quraisy dari seluruh aktifitas perekonomian.
Fatimah az-Zahra ra yang menghalau orang-orang Quraish yang menimpuki Nabi Saw. dengan kotoran ketika sedang sujud di Ka’bah. Fathimah bin al-Khattab ra yang menenangkan kakaknya, Umar bin Khattab ketika marah dan hendak menghunus pedang pada orang-orang Islam, saat dia belum masuk Islam. Asma bint Abu Bakr yang menanggung segala urusan logistik ketika Nabi saw. dan Abu Bakr ra berhijrah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Bahkan dia juga yang memastikan agar jalan yang dilalui Nabi Saw. tidak terendus orang Quraisy.
Pada saat perang Uhud, di saat semua laki-laki lari menyelamatkan diri, adalah Nusaibah bint Ka’ab ra, seorang diri, yang tetap berdiri melindungi Nabi Saw. dari serangan-serangan musuh. Dan hampir dipastikan, setiap habis perang, seluruh jasa pelayanan dilakukan perempuan. Merawat dan mengobati pasukan yang terluka. Rufaidah ra adalah sahabat yang selalu menafkahkan hartanya untuk urusan ini. Dia membikin tenda di depan masjid dan melakukan pemulihan para pasukan paska perang. Tentu, yang pasti, para perempuan janda akan merawat dan mendidik anak-anak yang ditinggal mati ayah mereka, yang terbunuh di medan perang. Banyak sekali tanggung jawab yang harus diemban perempuan paska konflik, terutama ekonomi dan sosial.
Aisyah ra bercerita di hadapan Nabi saw. tentang seorang ibu yang menanggung beban mengurus dua orang anak perempuan. Dia datang bersama kedua anaknya ke Aisyah meminta sesuatu yang bisa mereka makan. Kebetulan hanya ada satu biji kurma di rumah Aisyah. Sebiji kurma itu diberikan pada perempuan. Oleh sang ibu, kurma itu dibelah dua agar bisa dimakan kedua anaknya. Nabi saw. merespon: “Barangsiapa yang mengurus anak perempuan dengan baik, maka ia akan menjadi penghalang dari api neraka” (Sahih Bukhari, Kitab az-Zakah, no. 1459).
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik: Otoritas, Efektifitas, dan Perspektif Kemanusiaan
Dirasah Hadis 2: Otoritas Kepemimpinan Perempuan
Dirasah Hadis 4: Perspektif Kemanusiaan