Ketika kekerasan berlangsung, kaum perempuan boleh dikatakan merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap segera berhentinya konflik. Kekerasan sangat menganggu keseharian hidup, berfungsi dan berjalannya reproduksi keluarga, mulai dari fungsi reproduksi khusus berkaitan dengan soal kelahiran dan membesarkan anak hingga fungsi reproduksi keluarga dalam arti umum, seperti dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan kehidupan komunitas pada umumnya. Dalam fungsi ini kaum perempuan menempati posisi paling utama. Konflik kekerasan yang terjadi sangat menganggu dan menghambat fungsi reproduksi keluarga dan sosial sehingga bisa dimengerti mengapa kaum perempuan secara genuine kemudian ambil bagian dalam aktivitas perdamaian sebagai bentuk panggilan kebutuhan mempertahan hidup dan melestarikan kehidupan.[17]
Penyelesaian konflik hanyalah salah satu komponen utama dari upaya membangun perdamaian, yang mencakup semua upaya untuk menciptakan perdamaian, mulai dari sebelum terjadinya konflik, di dalam periode konflik, dan pada waktu konflik telah berakhir. Oleh karenanya, upaya membangun perdamaian masih dibutuhkan setelah konflik berakhir. Karena, pada saat konflik berakhir perdamaian tidak dengan sendirinya sudah ada. Bahkan pada saat pihak-pihak yang berperang hadir bersama di meja perundingan dan menyepakati sebuah penyelesaian damai, masih ada banyak hal yang harus dilakukan di lapangan untuk mencegah timbul kembalinya konflik bersenjata. Ada 3 (tiga) komponen utama dari upaya membangun perdamaian, yaitu: 1) Mencegah konflik: mencakup semua upaya untuk mencegah konflik bersenjata yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, dalam etnisitas, dan dalam agama-agama; 2) Penyelesaian konflik: mencakup semua upaya untuk membuat pihak yang saling berperang untuk mau berunding untuk mengakhiri konflik; 3) Pemulihan atau rekonstruksi masyarakat pasca konflik : mencakup semua upaya politik, ekonomi, budaya, dan psikologis untuk menciptakan kembali sebuah komunitas yang bebas dari konflik di masa depan.[18]
Perlu diperhatikan, bahwa terkadang ada sesuatu yang luput dari perhatian semua orang bahwa yang ikut memberi andil besar dalam usaha-usaha penghentian konflik, seperti yang terjadi di Ambon. Hal itu adalah inisiatif-inisiatif lokal melalui relasi dan interaksi kelompok masyarakat pada level yang paling bawah, misalnya supir-supir truk, jibu-jibu (penjual ikan), pedagang kaki lima, mereka berinisiatif membentuk zona-zona khusus untuk berinteraksi (zona baku bae), dan berproses menuju rekonsiliasi. [19]
Upaya-upaya lain juga dilakukan melalui Sekolah Perempuan untuk media belajar bersama terkait dengan perdamaian. Lian Gogali, penerima Coexist Prize dari London, juga mendirikan Sekolah Perempuan yang menjadi wadah pendidikan untuk perempuan-perempuan Poso. Di sekolah itu mata pelajaran yang diajarkan adalah toleransi dan perdamaian, gender dan isu politik hingga pembangunan ekonomi.[20] Sekolah Perempuan untuk Perdamaian juga digagas dan dikembangkan oleh Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia di beberapa daerah seperti Pondok Bambu dan Kampung Sawah (Jakarta), Loji (Bogor), Pamona dan Malei Lage (Poso).[21]
Perempuan sebagai aktor-aktor perdamaian juga perlu untuk saling berbagi pengalaman mengenai bagaimana mereka melakukan transformasi konflik menuju perdamaian. Selain Lian Gogali, kita juga perlu belajar dari Bai Hajar Tualeka, penerima Anugerah Saparinah Sadli 2010 yang gigih menyuarakan perdamaian pasca konflik Ambon[22], maupun Suraiyya Kamaruzzaman, aktivis HAM Aceh penerima N-Peace Award 2012 yang senantiasa mengajak perempuan untuk tegas melawan berbagai tindak kekerasan, seperti yang terjadi di Aceh baik semasa konflik maupun situasi yang menimpa perempuan yang mengatasanamakan ”Syariat Islam” yang masih berlangsung hingga saat ini[23]. Mereka adalah perempuan-perempuan yang senantiasa terinspirasi oleh ajaran agama Islam tentang salam (perdamaian), maupun gagasan Mahatma Gandhi tentang ahimsa (anti kekerasan), serta cinta kasih yang senantiasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari Bunda Theresa.
Baca Juga:
Fokus 1: Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik
Fokus 2: Menggali Sejarah Perempuan dalam Situasi Konflik
Fokus 3: Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Fokus 5: Agama dan Ikhtiar Membangun Perdamaian
Similar Posts:
- Kepemimpinan Perempuan di Wilayah Konflik
- Kepemimpinan Perempuan untuk Perdamaian; Sebuah Refleksi
- Menggali Sejarah Perempuan dalam Situasi Konflik
- Dr. Rumadi Ahmad: Memusuhi Apalagi Menciderai Manusia, Berarti Memusuhi dan Menciderai Penciptanya
- WGWC: Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Pencegahan Ekstremisme