“Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.” Bunyi peribahasa itu teramat popular, terutama ketika kita tengah belajar peribahasa dalam Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Bila para pemimpin bertikai, maka anak buah atau pun para anggotanya yang nantinya akan cenderung menjadi korban. Rasanya ungkapan itu tak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana situasi konflik, peperangan militer, maupun pertikaian antar kelompok masyarakat selalu bernuansakan kekerasan yang membawa korban di kalangan masyarakat awam, tak terkecuali kaum perempuan dan anak-anak.
Konflik dan Dampaknya pada Perempuan : Sebuah Ilustrasi
Di manapun terjadi konflik bersenjata, bisa dipastikan bahwa di sana angka tindak kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat. Alasannya sederhana. Perempuan dianiaya, diperkosa, karena pelakunya bermaksud merendahkan martabat keluarganya dan sukunya. bahkan negaranya. Sebuah tindakan yang juga membuat cemas pihak-pihak yang bertangungjawab di Dewan Keamanan (DK) PBB, sehingga pada Oktober 2000 DK menetapkan resolusi nomor 1325. Sejak itu, untuk pertama kalinya dunia internasional memperhatikan situasi khusus kaum perempuan dalam konflik bersenjata. Resolusi PBB nomor 1325 itu menetapkan dua hal. Pertama, perempuan seharusnya diikutsertakan secara luas dalam perundingan perdamaian. Kedua, perempuan yang berada dalam konflik bersenjata seharusnya mendapat perlindungan lebih baik.[1]
Selain konflik bersenjata dalam konteks peperangan militer, bentuk konflik lain adalah kekerasan massa maupupun konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. Rekaman kekerasan yang terjadi semenjak berlangsung hingga berakhirnya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, bahkan yang kini menemukan format baru dengan ‘Syariat Islam’-nya, konflik antar komunitas Muslim-Kristen di Ambon dan di Poso, maupun kekerasan bernuansa agama seperti yang terjadi pada komunitas Ahmadiyah di Cikeusik Banten, Manis Lor Kuningan, dan Mataram NTB, atau pada komunitas Syiah di Sampang, maupun dalam konteks minoritas yang menimpa jemaat Kristen HKBP Philadelpina Bekasi maupun GKI Taman Yasmin di Bogor, perempuan juga mengalami diskriminasi dan kekerasan berlapis (double discrimination).
Salah satu bentuk diskriminasi dan kekerasan berlapis itu adalah apa yang sehari-hari menimpa perempuan dan anak-anak di wilayah pengungsian. Masruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyebutkan sebuah contoh bahwa ada 7 (tujuh) anak jamaah Ahmadiyah di wisma Transito Mataram yang tidak bisa sekolah karena tidak memiliki akta kelahiran untuk mendaftar. Orang tua mereka tidak bisa membuat akta kelahiran lantaran tidak memiliki KTP, dan pernikahannya tidak bisa tercatat di Kantor Catatan Sipil. Sekitar 138 jiwa dari 34 keluarga warga Ahmadiyah mengungsi di wisma Transito Mataram sejak terusir dari kampung mereka di dusun Ketapang, desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, pada awal Februari 2006. Hingga kini tercatat sedikitnya 20 bayi lahir dalam masa pengungsian itu.[2]
Pada umumnya bentuk kekerasan yang dialami perempuan di wilayah konflik terjadi saat kerusuhan maupun ketika mereka tengah berada di perjalanan menuju pengungsian (termasuk pengungsian daerah setempat) adalah kekerasan fisik, meliputi: dipukul, ditampar, ditendang, dilempar barang/makanan ke tubuh korban, diinjak, dilukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata. Hal ini seringkali dilakukan oleh pelaku terutama kepada para perempuan yang melawan/membangkang. Sementara kekerasan psikologis, meliputi: berteriak-teriak, mengancam, menyumpah, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan ke orang-orang dekat korban, misalnya keluarga (anak, suami, orang tua, saudara, dan teman dekat).[3]
Tak hanya itu, kekerasan seksual juga mengancam perempuan yang sehari-harinya hidup di tengah situasi konflik. Dalam konteks tersebut, maka perempuan dijadikan sebagai tameng oleh keluarga atau komunitasnya. Dalam situasi konflik perempuan juga menjadi alat teror. Artinya tubuh perempuan dijadikan alat untuk menakuti dan melemahkan pihak lawan dengan melakukan kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual, perkosaan maupun percobaan perkosaan. Pasca konflik biasanya kondisi perekonomian sulit dan kemiskinan meningkat. Saat seperti inilah perempuan yang masih dianggap sebagai komoditi dipaksa menjadi pekerja seks. Dokumentasi Komnas Perempuan tahun 1998-2010 mencatat terdapat 1.503 kasus kekerasan seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998.[4]
Baca Juga:
Fokus 2: Menggali Sejarah Perempuan dalam Situasi Konflik
Fokus 3: Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Fokus 4: Kepemimpinan Perempuan dalam Transformasi Konflik
Fokus 5: Agama dan Ikhtiar Membangun Perdamaian